FATE 22

17.6K 951 20
                                    

Joe sudah terlelap, Sera pandangi wajah sembab anaknya itu dan hatinya nyeri karenanya. Sera ingin pergi dari rumah ini tapi ia tak sanggup jika harus meninggalkan Joe.

Andai mamanya tidak meninggalkannya, pasti ada harapan dirinya untuk membawa Joe bersamanya dan memilikinya. Jika ia bertekad membawa Joe seorang diri ia takut, takut tidak bisa membesarkannya dengan seharusnya.

Kepalanya pusing, penat dan sakit. Ia mengubah posisi dengan Joe masih di pangkuannya. Namun, maniknya langsung melebar melihat sekeliling kamarnya, rupanya ia baru menyadarinya.

Ada satu boneka beruang besar berwarna ungu terduduk manis di ranjangnya, juga beberapa kado yang masih rapi terbungkus, dan jangan lupakan ada satu tart dengan lilin angka 17 belum dinyalakan.

Apa Jendra yang memberikan ini semua? Batinnya.

Jendra sendiri saat ini berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka, bukan maksud mengintip, tapi ia tak mampu melanjutkan langkahnya lagi setelah mendengar isakan demi isakan Sera yang bicara pada Joe.

Apalagi dengan melihat Joe yang menyusu dengan kuatnya pada Sera, membuat perasaannya semakin tak keruan karena rasa bersalah itu. Ia menyadari pengorbanan Sera sebagai seorang ibu begitu besar, apalagi di usia Sera yang terlalu dini itu.

Iya, dirinya yang salah. Jendra menyadari semuanya. Pertikaian hari inipun dirinya penyebabnya.

Melihat Sera yang memandangi kado-kado darinya dengan bingung, akhirnya ia beranikan diri untuk masuk.

“Selamat ulang tahun, Ser,” ujarnya.

“Aku siapin ini dari kemarin pas pulang sekolah dan semalaman aku nunggu kamu pulang,” lanjutnya pelan. Ia sadar untuk tidak marah-marah terus.

Sera tak merespons apapun, melirik Jendra pun ia enggan. Namun, menyadari dirinya yang acak-acakan dengan cepat ia hendak memindahkan Joe ke atas ranjangnya, tapi sikunya tertahan karena tidak ada bantal punya Joe di sana. Siapa sangka Jendra melipat selimut Joe yang tergeletak di ranjang  itu dan menjadikannya bantal kecil, setelah itu menepuk-nepuknya.

“Tidurin di sini, Ser.” Secara perlahan Sera pun menidurkan bayi mungil itu dibantu Jendra.

Ini menjadi yang pertama kalinya Joe tidur di kamar Sera.

Dan bukannya berganti baju sesuai rencana sebelumnya, Sera malah tiduran meringkuk di samping Joe, memandangi wajah bayi itu dari sisi. Ia tak peduli lagi dengan keadaannya yang acak-acakan.

Jendra memindahkan boneka besar tadi ke bawah karena dirasa tidak lagi penting, beserta kado lainnya yang begitu banyak itu. Entah Jendra memberi Sera apa saja untuk hadiah ulang tahunnya itu sampai begitu banyak.

Setelah itu, Jendra ikut merebahkan diri dan meringkuk di samping kiri Joe. Pemandangan yang cukup tidak biasa. Si bayi yang ditemani tidurnya oleh ayah dan ibu kandungnya, dan itu adalah yang pertama kalinya.

Pemandangan itu bak menunjukkan keluarga utuh dan bahagia, kan?

Kedua remaja itu sama-sama memandang wajah damai anak mereka yang tertidur, begitu lelap karena lelah sehabis menangis hebat.

“Aku merasa bersalah sama Joe,” lirih Jendra pelan. “Gak seharusnya dia lahir dengan situasi seperti ini.”

“Lahir di situasi yang seharusnya pun gak menjamin kebahagiaan seseorang,” balas Sera datar. “Contohnya aku.”

“Papa mamaku saling mencintai dan menikah, lalu mereka memiliki aku.” Sera menjeda kalimatnya.

“Dulu kita bertiga sangat bahagia, setiap hari tertawa.”

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang