“Apa maksudnya ini, Om?” tanya Ardana begitu Cokro keluar dari ruangan rawat Sera. Ardana memang curiga dari awal Cokro mengajak untuk ke rumah sakit, dan kenyataannya memang ada sesuatu yang sulit ia percaya.
Cokro terkejut, ia mendapati Ardana tengah bersandar ke tembok dengan kedua tangan terlipat di dada, tatapannya begitu dingin.
“Ardana?” Pria itu gelagapan, bahkan ia kesulitan mencari alasan saat ini.
“Sera anak Om? Bagaimana ceritanya?” Ardana mengernyit dengan nada yang begitu putus asa, fakta itu cukup menyakitkan untuknya.
“Jadi, pria yang selama ini selalu Sera nantikan kedatangannya ada di dekatku?”
“Kenapa dulu Om ninggalin dia tanpa pamit? Andai Om tahu, dia selalu berharap papanya datang menjemput, papanya adalah satu-satunya harapan.” Ardana menghela napas beratnya, sekarang ia tahu alasan Sera kenapa meninggalkannya, itu pasti karena papanya, itulah kenapa Sera selalu bilang tidak mau lebih sakit, sekarang Ardana paham semuanya.
Pemuda itu lanjut menunduk, ia tak bisa membayangkan jika menjadi Sera, pasti begitu berat. Pantas saja Sera benar-benar drop dan berimbas pada penyakitnya.
“Tolong jaga Sera, Na,” lirih Cokro begitu pelan.
Ardana menatap tajam, ia tak lagi peduli bahwa pria di hadapannya itu harus ia hormati dan tak selayaknya ia meninggikan suara di depannya. “Aku tanya, kenapa dulu Om niggalin Sera!” tanyanya tertahan dan penuh amarah.
“Benar karena Tante Riana?” tanya Ardana lagi dengan dada begitu bergemuruh.
Cokro memejamkan mata sejenak dan terpaksa mengangguk, membuat Ardana langsung menurunkan bahunya yang tegang dan sedikit mundur. Ia tak percaya ternyata keluarganya yang menghancurkan keluarga Sera.
“Hanya kamu yang bisa Om andalkan sekarang ini, tolong jaga Sera.” Cokro menepuk pundak Ardana pelan dan perlahan melangkah dengan penuh penyesalan, air matanya pun mengalir di sudut matanya. Hatinya begitu hancur, harus kembali meninggalkan putrinya.
Ardana sendiri masih tak mampu berkata-kata, fakta tentang keluarganya yang merebut kebahagiaan Sera begitu menghancurkannya, pantas saja Sera mengakhiri hubungan mereka. Pemuda itu memang sudah bertekad untuk menjaga Sera, namun bukan atas permintaan Cokro.
***
Pagi harinya, kicauan burung menyambut mentari yang begitu cerahnya. Rumah sakit yang awalnya sepi pun kembali ramai dengan lalu-lalang orang-orang.
Sera terduduk di tepi ranjang dan terus menciumi baju rumah sakit yang ia kenakan. Tengah malam ia terbangun dan tidak bisa tidur lagi karena aroma parfum di bajunya. Ia masih ingat dalam lamunannya tentang papanya yang hadir dan memeluknya, baunya persis seperti ini.
Hatinya mengatakan bahwa itu bukanlah khayalan, namun logikanya menyangkal semua, sangat mustahil papanya berada di sini dan datang memeluknya saat dirinya merasakan sakit.
“Sera.” Suara seorang perempuan ketika pintu dibuka langsung menyadarkan Sera.
“Bukannya dimakan malah diliatin aja buburnya,” omel Alea menggerutu langsung mengambil mangkok bubur itu bersiap menyuapinya.
“Al, kemarin ada siapa aja yang ke sini?” tanya Sera begitu saja, mengabaikan sesendok bubur di depan mulutnya.
“Ardana, kan? Ke mana dia sekarang? Dia bilang jagain lo semalaman, makanya gue baru dateng sekarang.” Alea dengan wajah tanpa bersalahnya lanjut memajukan sendoknya lagi, dan Sera lagi-lagi mundur.
Ardana semalaman ada jagain? Sera membatin, tapi pas dirinya bangun tengah malam jelas tidak ada siapa-siapa.
“Makan dulu woy! Biar lo cepet pulih terus bisa bikin keripik lagi sama gue!” cerocos Alea memaksa memasukan sendok itu ke mulut Sera dan mau tak mau Sera pun menerimanya dengan desisan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...