Kepulangan Sera ke rumah Jendra benar-benar menghantam perasaan pemuda itu. Bagaimana tidak, di hari kedua ia yang khawatir dan tak berhenti mencari Sera malah menerima kenyataan seperti ini. Begitu Jendra pulang ke rumah karena menyerah, ia melihat Sera dan Farah sang mama tengah berpelukan dan keduanya menangis. Mata pemuda itu menajam ketika melihat sebuah koper di dekat mereka.
“Sera,” panggilnya dengan bergetar, ia takut yang ada di pikirannya menjadi kenyataan.
Dua perempuan itu menoleh dengan mata yang sama-sama sembabnya.
“Jen, jagain Mama, ya? Aku gak bisa nemenin Mama lagi sekarang.” Sera memaksakan tersenyum, ia sangat menyayangi Farah seperti mamanya sendiri, Farah tidak pernah menyakitinya sedikitpun.
“Kamu mau ke mana, Ser?” tanya Jendra tak sabaran, napasnya memburu tak beraturan.
“Ke mana aja,” jawab perempuan itu sebiasa mungkin, memaksakan senyumannya. Satu tahun lebih dirinya tinggal di rumah ini tentu menyisakan begitu banyak kenangan.
“Kamu udah ketemu mama kamu?” tanya Jendra lirih, jika iya ia tidak bisa menahannya.
Tapi Sera malah menggeleng, memutuskan harapan Jendra.
“Ini pasti karena Joe, ya? Kamu mau pergi karena gak ada Joe lagi di sini?” tebaknya. “Kalau memang itu alasannya, aku bakal bawa Joe balik lagi ke sini! Aku janji! Asal kamu tetap di sini jangan pergi.”
“Nggak,” tukas Sera cepat. “Jauh dari sebelum Joe dibawa Kak Alma, aku udah pikirin ini matang-matang. Aku memang harus pergi,” lanjutnya diakhiri dengan menghela napas beratnya.
Jendra kembali mengingat sesuatu, tentang dirinya yang telah mengusir Sera dari rumah ini dan mengatainya menumpang hidup, kata-kata menyakitkan yang baru ia sadari sekarang.
“Karena aku pernah ngusir kamu dulu? Ser, aku minta maaf.” Kalang kabut, Jendra tak bisa berpikir apapun lagi sekarang.
“Jendra, gak apa-apa, Nak,” ujar Farah kini berdiri dan menepuk pundak putranya itu.
“Ma, Mama sendiri kan yang bilang aku harus nikahin Sera suatu saat nanti? Kenapa Mama setuju Sera keluar dari rumah ini? Dia calon istriku, Ma.” Jendra mendesah putus asa dan menatap dalam sang mama.
Sedangkan Farah hanya menatap putranya iba, ia tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa memaksa Sera untuk bertahan jika ternyata Sera terpaksa. Wanita itu menghormati keputusan Sera meskipun dengan terpaksa. Air matanya kembali menetes, karena lagi-lagi merasa gagal menjadi orang tua.
“Sera, jangan pergi!” ujar Jendra kini menatap tajam. “Kalau kamu pergi aku gak akan biarin kamu ketemu Joe lagi!” ancamnya dengan mata memerah, berharap ancaman ini sukses.
Sera tersenyum tipis mendengarnya, ia sudah membulatkan tekadnya. “Gak apa-apa,” balasnya dengan suara parau.
Jendra tak habis pikir, matanya semakin tajam. “Kamu udah gila? Joe itu anak kamu, Sera!”
Sera langsung menunduk, sudah cukup selama ini dirinya bertahan dalam kesakitan demi Joe, apa yang bisa ia perjuangkan saat ini? Joe takkan bisa bersamanya lagi.
Sekarang zaman canggih, Sera masih bisa memantau keadaan Joe lewat media sosial. Sera masih bisa melihat tumbuh kembangnya meskipun tidak secara langsung dan dirinya tidak bisa memeluk anaknya itu. Pikirnya.
Mamanya saja segampang itu meninggalkan dirinya yang susah payah ia besarkan seorang diri, harusnya Sera juga bisa melakukannya, kan? Meskipun dengan sangat terpaksa.
“Aku mohon tetap di sini, Sera. Aku akan cari cara supaya Joe di sini lagi,” pinta Jendra benar-benar putus asa. Ia lirik mamanya dengan tatapan memelas seolah minta tolong.
“Maaf, Jen. Sekarang kita benar-benar gak ada hubungan apa-apa lagi, sekalipun sebagai kedua orang tua Joe. Kamu sekarang Omnya Joe dan aku bukan siapa-siapanya Joe, aku ikhlas,” lirihnya semakin melemah di akhir kalimatnya, jika mau tega harus tega sekalian jangan setengah-setengah agar tidak terus menyakiti diri, begitu pikirnya.
“Ka-kamu yakin? Darah lebih kental daripada air, Sera!” suara Jendra bergetar.
Sera mengangguk dan meraih ponselnya. “Aku berangkat sekarang, Ma. Taksinya udah nunggu,” ujarnya memeluk Farah lagi untuk yang terakhir kalinya.
“Mama berat melepas kamu, sayang. Mama mohon sesekali main ke sini temui Mama, kamu sudah seperti anak mama sendiri, kamu sudah seperti bungsunya untuk Mama.”
“Sera juga sayang banget sama Mama. Sera gak bisa janji, Ma. Maaf,” lirihnya karena ia harus memutus segalanya seperti yang diminta oleh Alma.
“Makasih, ya, Ma. Selama tinggal di sini selalu memperlakukan Sera dengan baik, Mama sekalipun gak pernah nyakitin perasaan Sera.” Ia harus secepatnya pergi, karena bisa-bisa Farah membuatnya mengurungkan niatnya untuk pergi.
Jendra mengusap wajahnya kasar dan matanya memerah menahan tangisnya, tak percaya Sera seberani ini untuk pergi dari rumah ini.
“Sera sayang, kamu pasti butuh ini, Mama mohon jangan menolaknya.” Farah dengan tergesa menyelipkan sesuatu ke tangan Sera.
“PINnya tanggal lahir Joe,” bisiknya pelan.
Sera menggeleng cepat, tiba-tiba perkataan Alma terngiang di telinganya. Jika sampai dirinya menerima ini, itu berarti benarlah Sera sudah menjual Joe pada mereka.
“Nggak, Mama. Kebaikan Mama sama Sera sudah lebih dari cukup selama ini, ini aku terima tapi aku titipin buat Joe, ya?” ujarnya cepat dan kembali menyimpan ATM dan credit card itu di tangan Farah.
Akhirnya Sera benar-benar melangkah dengan menggeret kopernya dengan perasaan hampa. Terlalu banyak kenangan di rumah ini, terutama bersama Joe. Mengandung Joe dan melahirkan Joe di sini, susah senang, canda tawa terlewati di rumah ini. Saksi dirinya menjadi orang tua.
Jendra tidak mengejar, dia hanya terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke lantai. Apa dirinya dengan Sera benar-benar berakhir sampai di sini? Tidak ada kesempatan lagi?
Jendra sebenarnya ingin mengejar, namun dia memutuskan membiarkannya dan Sera masih butuh sendiri. Dan pikirnya saat ini Sera pergi ke kosan yang diberikan Ardana.
Sedangkan di sisi lain, Ardana yang masih keleyengan mencari Sera terkejut melihat seseorang mirip Sera yang lewat dalam sebuah taksi, ia yakin dia memang Sera. Tanpa pikir panjang pemuda itu langsung kembali melajukan motornya dan mengejarnya.
Sera turun di sebuah kontrakan sederhana, letaknya saja di pemukiman warga dan menghadap ke lapangan langsung, lapangan tempat bermain anak-anak. Suasananya saja jauh dari kata sunyi, begitu ramai, padahal ini malam hari tapi masih banyak muda mudi dan anak-anak berseliweran main.
Ardana tidak bisa membuntuti Sera sampai kosan itu, tapi diam di ujung lapangan. Mengamati Sera turun dari taksi dan disambut seorang gadis muda yang usianya sepertinya tak jauh darinya.
Siapa perempuan itu? Apa hubungannya dengan Sera?
Ia yakin bahwa Sera pergi dan rumah Jendra, mengingat perempuan itu tidak bisa dihubungi dari kemarin. Dan satu hal yang menghantam keras hati Ardana saat ini, mengapa Sera tidak menjadikannya tempat untuk pulang? Kenapa Sera mengabaikannya? Bukankah selama ini Ardana selalu menawarkan untuk Sera pulang padanya?
Ardana kecewa.
tbc
Bab ini asli bingung mau lanjutnya kayak gimana, makanya tau2 Sera pindah 😄
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...