Jendra punya keponakan? Dan Sera begitu menyayangi keponakannya itu? Alea menghela napas dalam dan memaksakan untuk tersenyum. Egois jika Alea menjauhi Sera karena Jendra, karena yang dulu meninggalkan Jendra pun adalah dirinya.
“Sesayang itu ya lo sama tu bocil?” tanya Alea mencoba menjadi dirinya seperti biasanya.
“Sayang banget, udah kayak anak sendiri malahan.” Sera tertawa kecil, ia harus bisa mengusir kecanggungan itu dan membuat seolah itu lelucon.
“Anak, ya?” Mata Alea memicing seperti mencurigai sesuatu.
Jika dicocokkan dengan semua yang pernah Sera ceritakan padanya bukan hal mustahil Joe adalah anak Sera. Tentang Sera yang pernah dinodai dan Sera yang diusir mamanya, Joe adalah anak kandung Sera masuk akal, kan? Alea ingin bertanya dan memastikannya, tapi ia mengurungkannya dan biarlah Sera yang bercerita sendiri suatu saat nanti.
Jika asumsinya itu benar, apa menyesakkan buat Alea? Tentu saja. Jendra adalah satu-satunya laki-laki yang pernah ia pacari walaupun usia dirinya di atas Jendra satu tahun. Sampai saat ini Alea tidak mau menjalin hubungan serius dengan laki-laki manapun lagi sekalipun ia sudah merasa nyaman, seperti Joni, misalnya. Bagi Alea sekarang, jika mau serius nanti saja sekalian menikah.
“Lo nangis?” tanya Alea terkejut melihat mata Sera yang menggenang air dan akhirnya jatuh mengalir.
Setelah satu kamar seperti ini memang membuat keduanya lebih dekat dan banyak bercerita sebelum tidur, terutama masalah Milla dan Ardana saat itu.
“Temuin aja lah tu bocil, apalagi besok ulang tahunnya, lo harus temuin dia,” saran Alea cepat, mau anaknya atau bukan kalau ulang tahun baiknya ada untuk merayakan pikir Alea.
***
Dan di hari ulang tahun Joe ini sungguh Sera merasakan hal yang tak biasa, bahagia, haru, sedih juga gelisah ia rasakan. Bahagia dan haru karena masih tak percaya ia sudah melahirkan dan memiliki seorang anak sampai berusia satu tahun, sedih karena tak bisa di sampingnya dan merayakan, dan gelisah tak menentu entah apa yang ia rasa.
Perempuan itu bersama Milla hendak ke kantin, tapi ia memutuskan untuk belok ke toilet dan membiarkan Milla terlebih dulu ke kantin. Mungkin dengan mencuci wajahnya bisa membuat kepalanya segar dan membuang gelisahnya.
Sera yang habis mencuci wajahnya menatap dirinya di cermin tiba-tiba dikejutkan dengan suara tangisan bayi. Ia tidak salah dengar, kan? Kepalanya memang tengah dipenuhi Joe dan tiba-tiba tangisan itu terdengar, ia takut itu adalah ilusi saja.
Namun ternyata siswi di sebelahnya juga mendengarnya dan matanya membulat menatap Sera terkejut.
“Suaranya dari situ, kan, Kak?” tanya adik kelasnya itu menatap pintu salah satu bilik toilet.
Sera mengangguk ragu, dadanya berdetak cepat karena keterkejutannya semakin menjadi. Apalagi kini beberapa orang keluar dari bilik dan memastikan suara tangisan bayi itu. Hingga hanya tersisa salah satu bilik yang tidak terbuka dengan tangisan bayi yang masih terdengar.
“Eh gak mungkin kan di dalam ada yang melahirkan?” tanya salah seorang lagi.
Sera tak bersuara, badannya gemetar tiba-tiba, apalagi tangannya.
“Panggil guru deh mending,” sahut salah satu siswi lagi. “Di dalam gak mau bukain, takutnya kenapa-napa.”
Sera mundur, pintu bilik itu kini terbuka dan dilihatnya Lamia teman sekelasnya tengah menggendong bayi yang masih merah, seragam putihnya dipenuhi bercak darah, wajahnya begitu pucat menatap Sera. Darahpun begitu banyaknya di lantai itu.
Bukan apa-apa, Sera gemetar hanya karena mengingat apa yang telah ia lewati. Sakitnya melahirkan dan perjuangannya, itu juga mengingatkannya di saat dirinya antusias dengan bayinya malah harus dipisahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...