FATE 75

10.2K 545 22
                                    

“Bener apa kata Viola, kita gak usah temenan lagi, gue udah jahat banget sama lo,” ujar Milla sendu, tapi diakhiri dengan senyum tulusnya.

“Tapi, Mill.” Sera menahan tangannya.

“Udah, daripada kita dikatain suka threesome lagi,” ujar Milla tertawa kecil, tapi Sera bisa tahu ada kesedihan dalam tawa itu.

“Gue juga malu, Ser. Malu banget sama lo, kita jadi temen biasa aja, ya? Kita gak musuhan tapi juga gak deket. Mungkin gitu aja baiknya.”

Sera mengusap air matanya cepat mengingat hubungan persahabatannya dengan Milla sudah benar-benar berakhir, padahal selama ini dirinya berusaha memperbaikinya secanggung dan sekacau apa pun kondisinya, karena Sera tidak punya siapa-siapa selain teman-temannya itu.

Ini sudah malam, dan Sera hanya berjalan gontai tanpa arah. Sepulang sekolah ia tidak pulang ke rukonya bersama Alea ataupun ke apartemen papanya. Ia butuh sendiri sekarang ini, tersebarnya video dirinya bersama Ardana meski hanya beberapa detik membuatnya tak percaya diri lagi, Sera benar-benar merasa semua orang hanya memandangnya sebagai sampah saja.

Yang Sera butuhkan saat ini adalah pelarian, tapi pelarian seperti apa?

Suara bising knalpot tiba-tiba terdengar diikuti sebuah cahaya menyentuh tubuhnya dari belakang, Sera terkejut karena motor itu berhenti tepat di belakangnya.

“Sera!” panggil pemuda itu dengan keras.

Sera berbalik dan begitu terkejutnya menyadari siapa orang itu. “Jen, kok bisa temuin gue?” tanya Sera dengan suara bergetar.

“Lo tuh ya? Bikin gue khawatir. Mau ke mana malem-malem gini? Nyusahin aja!” ujar Jendra sewot. Ia lepas helmnya dan berdiri di depan Sera, mungkin nada bicaranya terdengar kesal tapi sebenarnya ia khawatir luar biasa.

Sera awalnya tengah bersedih namun melihat Jendra yang tiba-tiba muncul dengan tengil begini membuat moodnya berubah, ia ikutan kesal. Kenapa gak ada rasa khawatirnya? Pikirnya.

Sera berbalik dan melanjutkan langkahnya, sangat terlihat bahwa dirinya begitu kesal. Melihat itu Jendra menghela napas beratnya dan dengan cepat mengejar dengan langkah-langkah besarnya.

Satu tangannya meraih tangan Sera lalu secepat kilat membalikkan tubuh Sera dan menariknya ke dalam pelukannya dengan erat.

“Jangan bikin khawatir,” bisik Jendra begitu pelan. “Ayo pulang.”

“Pulang ke mana?” tanya Sera sendu.

Jendra melepas pelukannya dan menatap Sera dengan wajah yang pura-pura malas, Jendra tidak boleh semakin mengajak Sera melow. “Terus tujuan lo ini mau ke mana? Mau nyusahin doang?”

Sera langsung menginjak kaki Jendra tanpa segan. “Siapa suruh lo nyusul ke sini! Udah sana pergi lagi!” usirnya begitu sarkas.

“Iya, iya maaf.” Jendra meringis sakit. “Ya udah ayo pulang ke ruko lo sama Alea,” lanjutnya.

Sera masih mengerucutkan bibirnya dan membuang tatapannya ke samping sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Lo tau gue di sini gimana?” tanyanya tak bisa membuang rasa penasarannya.

“Alea lacak lokasi hape lo,” jawab Jendra cepat.

Sera berdecak mendengarnya, dirinya sudah berkali-kali membuat Alea khawatir. Sudah pasti Alea sudah mengantisipasi jika sesuatu terulang lagi padanya, seperti saat ini. Mereka melakukan kerjasama, dengan satu email yang sama ada di ponsel mereka, hal yang sangat mudah untuk Alea melacak keberadaan Sera.

“Dan Alea bilang udah seminggu lo gak tinggal sama dia, bener?” tanya Jendra pelan.

Sera mengangguk samar. “Iya, sama papa. Dan papa besok balik ke Malang. Gue gak mau aja harus melakukan perpisahan, biar papa pergi lagi aja toh udah seharusnya seperti itu.”

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang