FATE 43

10.8K 646 47
                                    

Sera turun dari motor Ardana di depan cafe tempatnya bekerja dengan masih mengenakan seragam sekolah.

“Nanti pulangnya aku jemput, ya? Jam sepuluh, kan?” ujar Ardana sambil merapikan rambut Sera.

“Masa sih kamu jadi tukang ojegnya aku,” Sera merengutkan wajahnya tak enak.

Ardana tertawa mendengarnya. “Aku kan cowok kamu, jadi udah seharusnya,” balasnya pelan. “Aku juga gak suka kalo kamu harus pulang sama cowok lain.”

“Cowok lain siapa? Paling juga abang ojol,” tukas Sera cepat.

“Nah itu, kalo abang ojolnya masih muda terus ganteng gimana? Terus dia godain kamu terus kamu kepincut sama dia!” gerutu Ardana bertubi dan malah membuat Sera ketawa.

“Udah ah jangan posesif gitu, seganteng apapun cowok lain aku gak bakalan kepincut karena udah ada kamu,” ujar Sera cepat karena harus segera masuk.

“Bye! Aku kerja dulu!” lanjutnya langsung melambaikan tangan.

Ardana mengangguk dan malah memberikan ciuman jauhnya membuat Sera terkikik saja melihatnya dan membalas ciuman jauhnya itu, Sera menyesal karena dulu lebih memilih Jendra daripada Ardana. Selama berpacaran dengan Jendra, Jendra tak pernah bertingkah manis seperti ini, Sera tidak pernah sadar kalau ternyata dulu Jendra tidak memiliki perasaan spesial padanya dan hanya menjadikannya mainan.

“Seneng banget ya yang punya pacar!” sambut Liam, pemuda yang bekerja sebagai barista di sana.

“Eh, Kak.” Sera hanya nyengir kuda merasa malu.

***

Tak terasa waktu berlalu cepat, sudah jam sepuluh malam, jam kerjanya selesai dan cafe mau tutup. Sera di depan lokernya meregangkan tubuhnya karena lelah.

Perempuan itu sangat bersyukur bisa diterima kerja di sini walaupun kerjaannya itu tidak selalu mulus, yang kadang dia suka dibentak oleh manager karena kerjanya kurang optimal dan dibilang jangan mentang-mentang kenal dengan pemilik Cafe yaitu Tama, belum lagi pelanggan yang harus selalu dilayani seperti raja meskipun pelanggan itu yang salah dan suka memarahinya.

Bekerja apapun itu sepertinya ada enaknya dan ada tidak enaknya, tapi meskipun begitu, Sera tetap menyesal kenapa tidak sedari dulu dirinya kerja seperti ini, apalagi di saat ada mamanya, harusnya Sera bekerja untuk meringankan beban mamanya saat dulu.

“Ra, duluan, ya?” Sherly sesama waitress melambaikan tangannya dengan sebelah tangan lagi mengapit lengan Liam mesra.

“Rupanya mereka pacaran,” cibir Sera melihat kedekatan itu.

Sudah jam setengah sebelas, kenapa Ardana belum menjemputnya? Para karyawan sudah meninggalkannya dan cafe benar-benar tutup, Sera hanya duduk di kursi di depan seorang diri.

Mungkin sebentar lagi, Sera tetap menunggu sambil berkali-kali berusaha menelpon Ardana dan mengirimnya chat.

Untungnya cafe itu terletak di sebrang jalan dan tempatnya begitu strategis, hingga Sera bisa melihat kendaraan yang berlalu-lalang untuk menghilangkan rasa takutnya, bukan takut hantu tapi takut manusia jahat.

Sera yang hanya mengenakan seragam kerjanya yang berlengan pendek itu memeluk dirinya sendiri karena angin malam menyapanya. Sekali lagi ia hubungi Ardana dan masih tidak diangkat.

Marah karena Ardana tak kunjung datang? Tidak, justru Sera khawatir, takut kekasihnya itu kenapa-kenapa.

Suara bising kenalpot menghampirinya, membuatnya merasa lega sekaligus kecewa bersamaan karena ternyata itu bukan Ardana.

Pria itu membuka helm full facenya dan tersentak melihat Sera malam-malam begini.

“Lho, Sera? Kok belum pulang?” tanya pemuda yang ternyata Tama itu.

Fate and PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang