“Jadi gitu, Ser. Please percaya gue,” lirih Milla memohon-mohon sambil memegang tangan Sera.
“Semuanya ulah Lucas, Ardana gak menyepakati taruhan itu dan gak pernah menganggapnya taruhan.”
Sera tersenyum sinis melihat Milla seberusaha ini meyakinkannya, untuk apa? Supaya Sera tidak salah paham pada Ardana katanya.
“Menyepakati atau nggak, semua udah terjadi. Gue udah jadi korbannya,” sinis Sera.
“Lo jangan marah lagi sama Ardana,” cicit Milla menggigit bibir bawah.
“Lo ceritain ini semua disuruh Ardana? Mau-mau aja lo disuruh dia, dapat imbalan apa?” ketus Sera memalingkan wajahnya karena kebetulan Ardana lewat di lapangan sana.
“Gue bukan mau-mau aja, tapi lo harus tau faktanya, Ardana gak sejahat itu sama lo.”
Sera mengangguk-angguk. “Oke, gue percaya. Ardana gak mungkin sejahat itu,” ujarnya dengan nada meremehkan, dan ucapan Sera itu membuat Milla malah tersindir mengingat apa yang telah dia lakukan bersama Ardana dulu.
“Lo masih ada rasa buat Ardana?” tanya Sera kini dengan tajam.
Milla menggeleng samar, tampak jelas sekali ia menjawab dengan tidak jujur ataupun memang ragu.
“Perjuangin aja, Mill. Jangan mikirin gue.” Sera langsung berdiri dan menepuk pundak Milla pelan, setelah itu berlalu begitu saja meninggalkan Milla yang kini terdiam sendiri di koridor kelas mereka.
Di perjalanan Sera terkejut karena tangannya tiba-tiba ditarik seseorang dan membawanya ke belakang sekolah.
“Jendra, apaan sih!” gerutu Sera kesal dan menatap tajam pemuda itu.
“Tega banget nomor gue diblock!” gerutu Jendra mendengus.
“Tega? Lo tau apa itu tega?” decak Sera berkacak pinggang merasa sebal sekali.
“Padahal gue mau nunjukin sesuatu.” Jendra pura-pura tak peduli mencoba memancing rasa penasaran Sera, dan sayangnya Sera sama sekali tidak peduli.
Sebenarnya saat ini Jendra mencoba menerapkan saran dari Alea, untuk tidak terus-menerus mengemis maaf pada Sera, tapi selalu ada di sampingnya, mengusilinya dan mengganggunya.
“Pa–pa, Jen–Jen!” Suara kecil dan imut tiba-tiba mencuri perhatian Sera.
Dilihatnya Joe tengah ceria di layar ponsel Jendra menunjukkan dua giginya. Sera terpukau melihatnya, matanya langsung berbinar. Ia tidak bisa bertingkah sok tidak peduli, karena itu anaknya.
“Joe, giginya udah tumbuh?” tanya Sera benar-benar terharu, sekaligus merasa menyesal karena tidak ada di samping Joe dan melihat pertumbuhannya, meski hanya sebatas tumbuh gigi.
“Iya, udah mau jalan juga, kemarin dua langkah gak dipegangin tapi jatoh lagi,” balas Jendra dengan semangatnya.
“Ih tumbuh gigi sama jalannya barengan.” Sera mengerucutkan bibirnya karena gemas melihat video Joe yang tengah belajar berjalan, ya ponsel Jendra dipegangi Sera saat ini dan melihat video-video lainnya.
Jendra tersenyum lega, ternyata saran Alea sangat manjur. Jika sebuah maaf yang tulus sukar Jendra dapatkan, Jendra harus berusaha mengambil hati Sera. Dan ia lupa bahwa kunci bahagia Sera itu ada padanya, iya Joe anak mereka.
“Beneran manggil papa?” lirih Sera kini melirik Jendra ketika Joe kembali berteriak Papa.
Jendra tersenyum dan mengangguk, lalu berbisik, “Iya, gue racunin. Gak peduli apa kata Kak Alma.”
Senyum Sera yang awalnya merekah perlahan memudar, satu kenyataan kembali mengusiknya, satu fakta tentang bagaimana Joe bisa terlahir.
“Kenapa?” tanya Jendra melihat mata Sera yang berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fate and Pain
Teen FictionHamil dan menjadi orang tua di bangku sekolah. 🔞 Menguras emosi ⚠️ *** Satu tahun menghilang, tidak ada yang tahu bahwa siswi yang kembali ke sekolah yang sama itu kenyataannya telah mengandung dan melahirkan anak dari Jendra Adisaka Bumi, pemuda p...