Bab 2

399 50 3
                                    

"Intinya papa nyuruh aku nyelesain kuliah," lanjut Nola setelah meneguk es jeruknya.

Tory yang sejak tadi mendengarkan curhatan dengan saksama, mengacungkan jari telunjuk seakan meminta waktu sejenak untuk menyelami maksud perkataan Nola barusan.

Laki-laki yang siang ini memakai jumper berwarna hitam dan celana jin itu mengisap rokoknya dalam-dalam. Matanya terpejam menikmati nikotin menggerogoti paru-paru. Meski begitu, ia mengembuskan asapnya ke arah berlawanan dari Nola.

Saat sedang menunggu respons, datang seorang laki-laki yang tanpa basa-basi langsung duduk dan mengambil sebatang dari kotak rokok milik Tory yang tergeletak di meja.


Nola sudah memelotot, hendak bersuara, tetapi Tory lebih dulu membuka mata dan langsung menghitung jumlah rokok dalam kotaknya. Kemudian menoyor kepala seseorang yang ternyata teman sekelasnya di jurusan TI.

Lalu mereka tertawa dan Nola kembali berdiam diri. Melihat itu, Tory langsung mengusir temannya yang baru saja menerima segelas es jeruk dari pelayan kantin yang rupanya sudah dipesan sebelum duduk.

"Jadi, menurutku kamu itu aneh. Siapa sih yang gak mau kuliah? Om Nugi udah bilang dana kuliahmu sudah disisihkan, aman. Jadi apa yang harus dikhawatirkan?" tutur Tory setelah hanya tersisa mereka berdua di meja yang berada di pojok kantin.

"Ya, tapi kan papaku itu sakit, Tor! Aku anak satu-satunya. Aku gak mau lah papaku kenapa-kenapa," kilah Nola.

"Aku juga gak mau kali om Nugi kenapa-kenapa. Tapi sudah ada dokter kan, La? Sudah berobat, setahuku kalau rutin berobat pasti sembuh kok. Lagian dokter juga bilangnya cuma kecapekan. Bentar lagi juga pasti sehat."

Mendengar penuturan Tory, Nola terdiam sejenak. Getaran gawai di atas meja membuatnya cepat menyambar benda pipih itu.


Begitu membaca pesan yang masuk, Nola langsung mendesis dan Tory sudah bisa menebak apa penyebabnya. Gadis yang hari ini mengikat rambutnya seperti ekor kuda itu pun pamit hendak ke kelas.

Baru beberapa langkah meninggalkan meja, Nola dipanggil salah satu pelayan kantin. Dan itu juga refleks membuat Tory menoleh.

"Maaf, Mbak es jeruk punya temennya tadi belum dibayar," ucap pelayan tersebut.

Tory berdiri hendak menuju meja temannya tadi, tetapi Nola memberi isyarat dengan mengibaskan uang lima ribu rupiah, kemudian memberinya ke pelayan kantin.

Sudahlah, cuma lima ribu ini.

"Nuria."

Kavi!

"Nola, saya dipanggil Nola," jawab Nola gugup setelah sepersekian detik terdiam.

Bagaimana tidak gugup, baru saja hendak melesat menuju kelas, orang yang memberikan tugas melalui kating, tiba-tiba hadir.

"Oke. Ikut saya," ucapnya datar dan langsung berjalan ke luar kantin.

Buru-buru Nola mengekor. Memperbesar langkah agar tidak ketinggalan jauh dari Kavi. Rambutnya yang diikat tinggi mengibas ke kiri dan kanan.

Tersisa dua langkah sebelum mencapai pintu keluar, ada seorang perempuan yang mencekalnya. Perempuan berambut pendek se-dagu itu menatap Nola tepat di iris matanya. Cepat-cepat Nola melanjutkan langkah, tetapi tangannya ditarik. Hampir saja terjungkal.

Keadaan kantin menjadi riuh. Nola menatap sekitar, bingung dengan tatapan mahasiswa yang beralih kepadanya.

Tory berlari dari ujung, berdiri di antara Nola dan rombongan "kuda lumping" itu.

"Heh! Bilangin ke cewek kamu ini, ya, jangan kegatelan!" hardiknya cepat sebelum sempat Tory bersuara.

"Kamu panuan? Kudis? Kurap?" bisik Tory yang hanya mendapat gelengan dari Nola.

Dan tiba-tiba mereka serempak menoleh ke arah luar, terlihat satu sosok yang mereka kenali berjalan mendekat. Kavi.

"Jauhi Kavi!" ancamnya, lalu berlalu secepat kilat.

Tory dan Nola saling pandang, mereka tidak mengenal perempuan itu. Lebih-lebih dengan ancamannya yang terdengar lucu.

"Saya tungguin, ternyata malah dua-duaan. Permisi, ya, Mas. Pacarnya saya pinjam dulu. Ada hal penting yang mau kami bicarakan," ucap Kavi seraya menarik tangan Nola.

Nola yang terheran-heran itu menundukkan wajahnya di sepanjang langkah. Sebab tangan yang digenggam erat telah menjadi pusat perhatian mahasiswi. Tidak sedikit yang menjerit, meski tertahan Nola cukup bisa mendengarnya.

Sementara di ambang pintu kantin, Tory berdiri mematung melihat sahabatnya berjalan menjauh, "Itu Kavi kenapa sih?"

***

"Saya itu heran, kenapa setiap ada soal mengenai pendapat, satu kelas di kelas kamu itu pendapatnya selalu sama. Juga tugas presentasi, lembaran power point hampir sama semua, cuma beda warna, isinya juga, duh! Sama! Bisa kamu jelaskan?" ucap Kavi mondar-mandir berkacak pinggang, sesekali ia memegangi kepalanya yang menggeleng.

Nola hanya duduk tertunduk. Memukul-mukul pelan pahanya dengan kepalan tangan. Kakinya tidak bisa berhenti bergoyang. Sungguh, duduk di tengah ruangan yang mana merupakan meja rapat, bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Apalagi di sekeliling terdapat sembilan ruangan para dosen jurusan Manajemen Kuliner, termasuk ruangan ketua jurusan.

"Bukannya bagus kalau kami saling membantu? Jurusan juga harusnya senang kalau banyak mahasiswanya yang lulus bareng-bareng satu angkatan."

Kavi yang tadinya duduk bersandar di hadapan Nola, langsung menegapkan tubuhnya. Menatap dengan tatapan menusuk. Sadar akan ucapannya barusan, Nola langsung merapatkan jidat ke meja di depannya.

Demi apa aku ngomong begitu!

"Maaf," ucap Nola kemudian.

Kavi mengusap wajahnya kasar. Lalu beranjak sebentar ke salah satu ruangan dan kembali dengan laptop di tangannya.

Tanpa menunggu lama, Kavi yang duduk di seberang mendorong laptop tersebut ke arah Nola. Sehingga terlihat jelas soal esai di layarnya. Nola langsung menyangga kepalanya dengan tangan yang bertumpu di atas meja.

Rasa kebelet sekaligus mual mendadak menyerang. Memang, bagi Nola soal itu bisa saja ia selesaikan. Namun, tidak dalam waktu sesingkat permintaan Kavi. Tiga puluh soal esai untuk tiga puluh menit, gila!

Dan lagi, dosen yang entah sengaja atau terlupa mengikat rambut gelombangnya itu pindah duduk di samping Nola. Menyaksikan tanpa mau berpaling sedikit pun.

Suhu AC semakin membuat tubuh Nola bergetar. Ia mulai mengerjakan soal nomor satu. Sambil sesekali membuka buku catatannya.

Lima belas menit berlalu, tubuh Nola mulai bergidik hebat. Melihat itu, Kavi menyelimutkan blazernya ke pundak Nola. Belum saja sempat gadis itu menolak, Kavi mengingatkan waktunya tersisa lima belas menit lagi. Sehingga hanya ucapan terima kasih yang terutara.

Waktu terus berjalan, Nola tidak menyerah dengan beberapa soal yang cukup aneh baginya. Banyaknya dosen yang keluar masuk, menegur secara bergantian. Bahkan ada satu, dua dosen yang menanyakan kenapa Nola si gadis dengan hasil ujian selalu memuaskan itu bisa mengerjakan tugas di ruang dosen?

Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar, rupanya perempuan yang mencekal Nola di kantin tadi. Ia masuk sebelum dipersilakan. Meletakkan sebuah diska lepas ke atas meja dengan sedikit mengentaknya. Baik Nola maupun Kavi, sama-sama terkejut.

"Jadi, doyan yang lebih muda, ya, sekarang?" ucapnya pada Kavi, tetapi matanya memelotot ke arah Nola yang sibuk menyelesaikan satu soal terakhir.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang