bab 25

121 8 0
                                    

Air mata sudah tidak mengalir lagi. Membiarkan angin mengeringkannya. Berada di hawa tiga puluh derajat Celsius, tidak hanya air mata yang kering, tubuh pun ikut mengering. Menyisakan emosi yang campur aduk di puncak kepala. Meski sudah ditumpahkan ketika di toilet, masih saja ada yang tersisa.

Nola membuka ransel dengan kasar dan mengambil roti dalam kotak makan. Mengunyah dengan ganas meski beberapa kali tersedak. Tidak sampai lima menit, kebaikan gandum pun sudah mengisi perut yang belum sepenuhnya kosong. Setidaknya perut tidak ikut-ikutan meronta di saat aneka emosi masih menyelimuti diri.

Perut yang kenyang, membuat otak mengantuk. Nola menengadahkan kepala. Mata yang sembab memerhatikan arakan awan disela-sela dedaunan.

Desiran angin yang membawa hawa panas berhasil menjinakkan kelopak mata yang perlahan terasa berat. Nola tidak kuasa menahan kantuk. Dengan berbantal buku dan mendekap ransel, ia tertidur di atas kursi.

Wajahnya yang mungil dibelai angin hingga anak rambut yang tersapu tiupan menutupi sebagian wajah. Nola semakin merasa di nina bobokan. Apalagi awan mulai terkumpul menjadi satu. Hawa panas berangsur pergi.

Lima belas menit berlalu, Nola mengerjap mendengar kicauan burung yang sepertinya sibuk membuat sarang di salah satu pohon tanjung yang berderet memanjang, mengatapi kursi-kursi taman.

"Nyenyak banget."

"Kamu!" Seketika Nola langsung duduk. "Gak bisa apa, jangan dekat-dekat!" lanjutnya geram.

Kavi pun berdiri dari kursi yang sama dengan Nola, tetapi tetap menyorot Nola dengan senyuman yang tampak aneh.

"Apa lihat-lihat!" cetus Nola.

"Jangan diambil hati yang tadi. Itu artinya kamu jauh lebih penting dari diri mereka sendiri. Sampai-sampai harus ikut campur," tutur Kavi dengan kedua tangan yang masuk ke saku celana.

Tidak ingin mengingat, Nola langsung berdiri dan berjalan menuju kantin dengan Kavi yang mengekor. Semakin cepat langkah Nola, semakin cepat juga langkah dosen itu.

Begitu pintu kantin dibuka, riuh perlahan memudar. Hingga tidak sedikit pun suara yang tertangkap telinga kecuali para penjual yang asyik menggosip. Itu pun ikut menghilang bersama tatapan mahasiswa yang tertuju ke pintu.

Nola mencoba mencari tatapan yang melenceng dari tempatnya berdiri sekarang, sayangnya nihil. Ia pun menelan saliva sebelum berpaling, tetapi Kavi malah mendorong masuk. Dengan santai dosen itu mempersilakan semuanya untuk melanjutkan makan.

Diawali dengan suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring, perlahan jejak kalimat mulai mengudara. Kantin pun kembali sesak dengan polusi suara.

"Tindakanmu sudah benar. Saya memberikan tugas kepada seluruh mahasiswa saya. Bukan hanya untuk kamu."

Suara Kavi tidak tertampung di telinga. Nola hanya menunduk menatap mangkuk bubur ayam yang dipesankan Kavi. Rasanya seperti tertawan laser yang siap menembak apabila mengangkat wajah.

***

"Nola, belum tidur? Bisa ke depan? Ada yang mau papa omongin," kata papa yang tiba-tiba nongol di celah pintu kamar Nola yang tidak tertutup rapat.

Nola meletakkan pulpen, seketika apa yang sedang dipelajari untuk ujian praktik dua minggu lagi, mendadak bubar di ingatan. Berjalan mengiringi papa menuju ruang keluarga yang berada persis di hadapan kamar Nola. Di sofa empuk, papa duduk dengan kaki yang bergoyang-goyang. Tangannya mengepal menahan bibir untuk melahirkan kalimat.

Sementara disisi papa, Nola duduk memangku bantal kursi. Memaksa mengunyah biskuit gandum selai coklat yang tersedia dalam stoples di atas meja, demi menutupi ketakutan tanpa alasannya. Jantung yang berdegup seolah tahu apa yang akan terjadi, sehingga semakin lama semakin berdegup kencang. Mengalahi irama detik dari jarum jam yang sudah menunjuk pukul dua belas.

"Batas pembayaran uang SKS kapan?" tanya papa.

Nola terdiam dengan potongan terakhir biskuit di dalam mulut yang belum dikunyah. Memalingkan wajah, menghadapkan mata yang memanas ke arah kipas angin. Jika bisa meminta pada angin, bawa saja air mata ini pergi menjauh.

Sebenarnya minggu depan adalah batas pembayaran uang SKS. Namun, Nola memilih untuk berbohong mengatakan jika masih ada waktu tiga minggu lagi. Napas kelegaan terdengar dari papa yang langsung menyandarkan punggung ke kursi.

Mata Nola kian memanas, ia tidak tahan lagi. Buru-buru pamit ke kamar. Di kamar, bukannya belajar seperti alasannya ketika pamit, Nola malah menumpahkan air mata.

Bagaimana cara membayar uang SKS tanpa membebani papa?

Dengan kepala yang mulai berdenyut, ia mengambil ponsel yang terselip di bawah buku. Bercerita pada Tory memang andalannya selama ini. Lincah jemari menari di atas papan ketik. Menceritakan semua.

Begitu centang dua, tidak lama warna abu-abu tergantikan oleh biru. Terlihat Tory sedang mengetik di seberang sana. Nola masih menangis. Matanya tidak mau diajak kompromi.

"Kita harus cari solusi kalau kamu gak mau bebani papa. Mungkin bisa dengan jualan online?"

Isi chat Tory bagaikan sang mentari yang hadir di tengah-tengah badai. Menggusur hujan, lalu mengundang pelangi.

Jualan online?

Secarik senyum tercetak jelas di wajah Nola yang masih dibasahi air mata. Otaknya berputar mencari apa yang bisa dijadikan bahan jualan.


Dalam sekejap, Tory menelepon. Buru-buru Nola menggeser ikon berwarna hijau ke atas. Namun, suasana di seberang sana sangat ramai. Gemerlap lampu warna-warni di tengah pekatnya ruangan menghalangi pandangan gadis itu. Dentuman musik yang terdengar seperti sedang bersama Tory di sana, ikut mengusik pendengaran. Akhirnya Nola hanya berdiam menatap Tory, lalu mematikan telepon saat sahabatnya itu tengah bercuap-cuap, entah berbicara apa dan pada siapa. Sebab terlalu banyak manusia di sana.

Nola meletakkan ponsel dengan layar di bawah dengan sedikit mengentaknya. Ia bersandar ke tepi ranjang. Kepala yang berdenyut terasa berputar-putar. Matanya tertuju pada gelang simpai yang tengah dipilin.

Sering kali Tory mengingatkan bahwa memiliki satu sahabat jauh lebih baik daripada memiliki seribu teman. Harusnya Nola bersyukur. Namun, tidak bisa dipungkiri, bila di saat-saat tertentu dirinya merasa seperti beban. Baik kepada papa, ataupun Tory.

Walaupun sahabatnya itu tidak pernah absen menemani, tetapi apakah mungkin dalam hatinya sebenarnya menolak? Apakah ketulusannya semata-mata memang karena tulus? Sejauh ini ia memang belum pernah kecewa pada Tory.

Nola mengusap kasar wajah. Aneka pikiran demi pikiran menghiasi kepala yang semakin berdenyut, semakin berputar-putar. Membungkam suara dalam bantal.

Apalagi sih yang kupikirkan!

Lalu teringat solusi Tory. Jualan online. Ia langsung mengambil laptop di atas meja. Membawanya ke pangkuan, membuka Google lalu berselancar mencari inspirasi yang bisa menguntungkan dari segi keuangan.

Ada banyak sekali artikel yang muncul, tetapi tidak ada satu pun yang menjawab. Lelah berselancar, Nola kembali meraih ponsel hendak membuka Instagram. Terlihat banyak pesan dan juga telepon dari Tory, tetapi semua sudah terlanjur terabaikan.

Begitu laman Instagram terbuka, tampak sebuah postingan dari akun resmi sebuah lembaga pemerintahan kota mengenai Festival UMKM dalam waktu dekat. Bibir Nola pun kembali merekah dan langsung memberitahu Tory.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang