"Nola, masuk." Perintah papa juga menjadi perintah untuk Kavi dan Tory untuk buru-buru pamit.
Kedua laki-laki itu saling berjabat tangan, kemudian berjalan bersisian menuju motor masing-masing sambil mengobrol. Bahkan seakan kurang, mereka masih mengobrol selama di perjalanan pulang.
Di rumah, papa mondar-mandir di hadapan Nola yang duduk memangku tas penuh berisi uang. Sesekali papa berkacak pinggang, seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi kembali membungkam mulut dengan kepalan tangan. Hanya suara detik jam yang menjuarai saat ini.
Nola semakin gelisah, dengan kaki yang tidak bisa berhenti bergoyang dan jemari saling meremas.
Apa yang dikatakan Kavi? Apa papa marah? Apa papa sakit?
Gadis itu menunggu dengan tidak sabar. Berbagai macam kemungkinan ditangkap dan diulang-ulang dalam kepala.
"Nola, bisa enggak kalau urusan uang, itu hanya menjadi urusan papa?"
Nola menahan keterkejutan dengan berusaha menahan napas sekitar tiga detik, lalu membuang dengan perlahan. Sorot mata yang harusnya membesar, ditutupnya dengan memejamkan mata bersamaan dengan lamanya menahan napas.
Mendadak ia kehilangan ribuan kosa kata yang harusnya dirangkai menjadi sebuah pertanyaan. Papa masih menyorot wajah anak semata wayangnya itu. Nola semakin kuat meremas jemari.
"Tapi Nola cuma mau meringankan." Akhirnya mampu juga mengucapkan meski harus terbata-bata. Matanya mencoba berkedip lebih banyak dari seharusnya, berharap air mata gagal diproduksi.
"Papa masih mampu. Yang papa minta, kamu lulus kuliah. Fokus belajar. Udah, itu aja. Gak perlu jualan. Apalagi sampai malam begini. Dan satu lagi, jujur. Jujur kapan terakhir pembayaran SKS? Nola, papa mau kamu paham tugas papa. Tugas papa itu ya ini, membiayai kamu."
Nola mengangguk seraya mengucapkan maaf. Namun, ia tidak tahu bahwasanya kata maaf bukanlah pelipur hati yang kecewa. Justru membawa beban baru untuk berusaha tidak mengulang lagi di lain hari. Bukankah kita masih belum tahu apa yang akan mendesak di lain hari tersebut?
Mendengar kata maaf, papa yang sebenarnya masih ingin menumpahkan kekecewaan, berujung dengan mengecup kening Nola. Mengucapkan selamat malam seiring dengan langkah Nola yang menuju kamar.
Di kamar, tas yang penuh berisi uang itu dilemparnya ke atas ranjang bersamaan dengan menjatuhkan diri. Ia masih tidak tahu hendak menangis atau marah. Yang jelas kepalanya mulai terasa berdenyut.
Saat mengurut pangkal hidung perlahan, ponsel di dalam tas bergetar tidak sabar. Dengan malas, Nola hanya memasukkan tangan ke dalam tas. Mencari-cari benda pipih tersebut.
Begitu mendapati dan membaca chat yang masuk, kepalanya semakin berdenyut.
***
Kejadian semalam masih membekas. Menjadikan pagi ini lebih dingin dari yang sudah-sudah. Meski siulan selama papa memasak nasi goreng terdengar riang, tetapi kehampaannya begitu terasa.
Begitu dihidangkan ke atas meja, Nola meneguk air putih terlebih dahulu sebelum mengucapkan terima kasih. Papa masih saja membalas seraya tersenyum. Padahal kegetiran hatinya telah mencapai hati Nola.
Tanpa basa-basi, papa menyerahkan amplop putih yang diambil dari saku celana pendeknya sebelum menuntaskan sarapan. Nola yang baru saja memasukkan suapan terakhir ke mulut mendadak terdiam.
Setelah arloji yang digadai, kali ini apa lagi yang digadai papa? Ah, lidah Nola terlalu kelu untuk bertanya.
"Bayarin, ya. Jangan dikorupsi," ujar papa seraya tertawa.
Sontak Nola meletakkan sendok yang sedari tadi berada di depan bibir. Sebelum menunduk, ia sempat melempar sebuah senyuman. Lalu kembali mengangkat wajah begitu terdengar suara Tory di depan pagar.
Memasukkan amplop ke dalam ransel. Mencium punggung tangan papa dan melesat ke kampus dengan dibonceng Tory. Tekadnya semakin kokoh untuk menyelesaikan kuliah hanya dalam waktu tiga tahun. Apalagi dengan uang tambahan yang didapat dari berjualan di festival, pasti cukup untuk mengambil lebih banyak SKS.
Setibanya di basemen kampus, terlihat Kavi sedang berjalan bolak balik dari satu tiang ke tiang lainnya, dengan kedua tangan yang masuk ke saku celana.
Tepukan Nola di pundak Tory bertepatan dengan jempol Tory yang memencet tombol klakson di motor. Dan dalam hitungan detik, Tory menghentikan motor tepat di baris yang sedang ditunjuk Kavi.
Ah, Tory!
"Kenapa, La?" tanya Tory tak tahu-menahu.
Belum saja menjawab, Nola yang masih berada di atas motor itu langsung ditarik Kavi. Gadis itu pun terhuyung-huyung mengikuti langkah Kavi yang lebar.
"Woy, helm!" Teriakkan Tory berhasil membuat Nola kembali ke motor dan menjepit helm di jok.
"Kenapa dia?" bisik Tory yang juga sedang menjepit helm.
Nola menggeleng dengan mata memelotot, ia menyalahkan Tory yang keburu membunyikan klakson. Padahal, Nola ingin menyuruh parkir di tempat lain saja.
"Kenapa nilaimu rendah?" Sejurus kemudian Kavi tiba-tiba ada di belakang dan pertanyaannya membuat Nola terbang ke masa lalu.
Perjuangan papa yang berhasil meyakinkan banyak sekali mantan klien, mantan rekan kerja, dan teman-temannya untuk membangun kafe. Dan saat mendengar pertanyaan Kavi, musnahlah sudah tekad untuk lulus lebih cepat.
Bagaimana perasaan papa?
Gadis itu meluruhkan air mata. Pandangannya mengabur karena terlalu banyak air mata yang tergenang. Berbeda dengan Tory yang hanya mengelus-elus pundak Nola, Kavi justru banyak tanya.
"Kenapa dia? Nola, kamu kenapa? Tory, Nola kenapa?" Dosen satu itu tampak panik.
Ia memerhatikan wajah Nola dari bawah, sebab gadis itu menunduk, membiarkan sepatu kets dihiasi rintik air mata. Tidak ada satu kata yang keluar sebagai jawaban dari mulut Nola.
Tory melihat kesempatan, ia mengajak Nola untuk sarapan. Gadis yang masih disesaki penyesalan itu hanya menurut saja ketika dirangkul Tory menuju kantin. Tentu saja Kavi mengekor.
Di kantin, seperti hafal mati, Tory memesankan Nola segelas susu strawberry hangat. Kavi pun memesan hal yang sama. Entah karena latah atau memang penasaran dengan rasa susu strawberry di kantin ini.
Karena suasana kantin saat pagi lebih sepi dari biasanya, maka pesanan mereka tiba lebih cepat. Nola meminum seteguk, disusul Kavi dengan wajah anehnya setelah selesai meneguk.
"Kecut." Gumaman Kavi ditambah ekspresinya sontak mengundang tawa Tory.
Sedangkan Nola memilih untuk mengulum senyum. Pikirannya masih menari-nari lincah, bukan untuk mencari pembenaran, bukan juga untuk mencari kesalahan.
Tiba-tiba Tory menceletuk, ia bertanya berapa nilai yang Nola dapatkan dan untuk mata kuliah apa. Sebab sedari tadi Kavi juga masih bungkam. Sedangkan Nola masih asyik memikirkan hal-hal yang akan dipikirkannya terus sepanjang masa.
"Itu, mata kuliahnya Bu Marlyn, Bahasa Inggris Profesi. Masa temanmu ini dapat nilai A (min)."
Nola menggebrak meja seraya berdiri, mengejutkan kedua laki-laki itu. Matanya memelototi Kavi, hingga membuat dosen itu meneguk saliva yang masih berasa kecutnya susu strawberry.
Tampang sadis Nola mengurungkan niat Tory untuk menggaungkan kata-kata kotor kepada Kavi. Bagaimana bisa dikatakan rendah? A (min) woy! Tory saja jarang dapat nilai A.
Tanpa basa-basi lagi, Nola berjalan laju meninggalkan kedua laki-laki yang masih sangat terkejut dengan wajah sadis Nola barusan. Gadis itu menuju ruangan administrasi untuk konsultasi dengan pihak akademik mengenai percepatan semester.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]
Teen FictionBlurb: Kata Tory, Nola, sahabatnya si paling "gak enakkan" itu memiliki "dosa" di kampus Garuda Nusantara. Benarkah itu? Apa sebenarnya yang Nola rasakan akan kehadiran "si dosa"? ========================= Dimulai: 1 September 2022 Tamat: 30 Novemb...