Bab 47

82 5 0
                                    

Moira mengangguk-angguk pasti sambil menyesap es teh lemon. Mata belonya bertemu dengan mata bulat Tory yang setia menunggu lanjutan kalimat.

Begitu juga dengan Nola yang melipat tangan di atas meja, memandang Moira dari samping.

Baru saja perempuan itu hendak menggerakkan bibir, tiba-tiba datang sekumpulan teman satu angkatan. Meja pun disesaki dengan lebih separuh isi kelas.

Berbeda dengan Nola yang langsung dengan cepat mengedarkan pandang tanpa memandangi mereka, Moira dengan santai lanjut menyedot minuman hingga menimbulkan bunyi, sebab hanya tersisa es batu. Bunyi itu adalah satu-satunya suara yang mengisi kantin. Meski saat ini kantin sedang ramai dengan mahasiswa yang tengah mengisi amunisi di perut, tetapi tidak ada yang rela meninggalkan barang sedikit pun kejadian langka.

Sadar minumannya sudah habis, Moira meletakkan kedua siku ke meja, menopang dagu seraya mempertanyakan hal apa yang mendorong langkah mereka untuk datang berbondong-bondong seperti ini.

Satu perempuan yang seingat Nola adalah mantan rombongannya Moira dulu, angkat bicara. Dengan sentuhan halus di sekitar pundak dan berhenti dengan mengangkat dagu Moira menggunakan telunjuk, ia terus memainkan kata.

Serangkaikan kalimat itu menyentuh hati kecil Nola. Melihat Moira terpojok, apalagi dipojokkan oleh teman sendiri, justru membuat mata Nola memanas. Alih-alih merasa senang karena Moira tengah membayar karma, gadis itu malah meradang.

Umpatan demi umpatan seakan meminta Nola untuk mengepalkan tangan lebih kuat lagi. Dan beberapa detik setelah itu, gadis itu tidak kuat lagi menahan diri.

Ia berdiri setelah sebelumnya gebrakan mejanya mengejutkan seisi kantin. Latahan dari beberapa mahasiswa yang biasanya menjadi bahan tertawaan, kini tidak ada yang peduli. Semua fokus kepada Nola yang berdiri dengan kedua tangan mengepal di sisi paha.

"Kalian tahu kan bullying itu gak benar? Apalagi membully teman kalian sendiri. Sadar gak sih!" Nola berucap dengan bibir gemetar dan suara yang sedikit dipaksakan nyaring.

Masih gemetar, Nola menarik tangan Moira. Moira yang terheran-heran, dengan cepat meraup tas di meja sebelum Nola menarik lebih jauh. Mereka menerobos kerumunan. Sedang Tory mengekor. Laki-laki itu memilih menutup mulut, tetapi siap sedia jika ada yang main kekerasan.

Langkah mereka diiringi sorakan. Gemuruhnya memenuhi kantin sampai ke langit-langit. Tidak sedikit yang memukul-mukul meja. Ada yang mendukung aksi Nola, meski setelahnya mendapat toyoran di kepala.

Di bangku taman utama, Nola duduk mengatur napas. Sedang Moira mondar-mandir takjub dengan aksi Nola barusan. Berkali-kali umpatan terlontar dari bibirnya yang memakai lipstik nude.

Begitu juga Tory, ia memijit-mijit pundak Nola. Seakan-akan sahabatnya itu akan kembali ke ring tinju. Nola yang masih mendekap ransel, bergerak hendak mengambil botol minum yang berada di dalam tas.

Dengan cepat Tory mencegah pergerakan Nola dan memerintahkan Moira untuk mengambilkan botol minum tersebut. Moira yang paham langsung gerak cepat. Duduk di sisi Nola, mengambil ransel dalam dekapan dan memberikan botol minum setelah membukakan tutupnya.

Moira juga mengipasi Nola dengan buku tulis. Karena bibirnya mulai lelah bersiul memanggil angin yang tak kunjung datang.

"Aku memang pelupa, La. Tapi untuk kejadian yang tadi, aku bakal ingat seumur hidup," seloroh Tory yang masih memijit.

***

Bersama Moira, Nola berada di dalam lift. Kejadian tadi benar-benar membekas di benak. Kini gadis itu membisu seribu bahasa. Matanya menatap ke sana ke mari. Bunyi denting pintu lift yang terbuka tidak serta merta mendorongnya keluar.

"Woi! Gak turun?" sentak Moira.

Nola mengedarkan pandang sebentar, sadar pintu lift sudah terbuka, ia bergegas keluar meninggalkan Moira yang tengah memasang kaki, menahan pintu lift agar tidak tertutup.

Mereka tidak melangkah beriringan sebab Moira masih terbirit-birit di belakang, berusaha menyusul. Ketika Nola membuka pintu kelas, ia sudah ditodong oleh gangster yang tadi di kantin.

Gangster yang berdiri menghadang itu menagih tugas yang katanya sudah di kirim melalui WA. Jangankan mereka, teman sekelas yang jelas satu angkatan saja, Nola tidak lagi menyimpan nomornya. Banyaknya yang masih minta tolong melalui WA, biasanya hanya akan berakhir di tong sampah sebelum dibaca.

Gadis itu menunduk, meremas jari. Tidak ada kata yang tepat yang bisa digunakan sebagai alasan. Dan jantungnya semakin ingin melompat ketika salah satu di antara mereka menaikkan dagu Nola hanya dengan satu jemari.

Mau tidak mau Nola memandang perempuan di hadapannya. Padahal sudah berkali-kali ia mencoba memejamkan mata, tetapi bentakan demi bentakan berhasil membuat gadis itu menyorot mata lawan bicaranya.

Sebenarnya perempuan itu cantik, hanya saja jika perbuatannya bisa lebih baik lagi, mungkin kecantikannya tidak akan tertutup tabir. Diselimuti ketakutan, manik mata Nola masih berhadapan sesuai perintah. Perlahan mulai memanas.

Entah keberanian datang dari mana, Nola menepis jemari yang sejak tadi membuat dagunya terangkat. Tepisan kasar membuat sang pemilik jemari tidak terima. Ia ingin mendorong, tetapi belum sempat dilakukan, Nola telah lebih dulu mendorongnya hingga berdebum.

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Nola langsung saja duduk di atas perempuan itu dan mencekiknya. Tidak peduli rambut yang dijambak-jambak, dan tubuh yang sedang ditarik mundur oleh banyak mahasiswi.

"Kalian semua dengar! Berhenti membully! Berhenti minta aku kerjakan tugas! Itu tugas kalian, bukan tugas aku! Kerjakan sendiri!" teriakan Nola melengking ke udara.

Tetesan air mata mulai luruh. Namun, cengkeraman erat di leher tidak goyah sedikit pun. Bahkan ia tidak segan mengentak-entak kepala perempuan itu.

Suasana ricuh semakin ricuh akibat teriakan Nola yang terus menerus bercampur dengan banyaknya mahasiswi yang berusaha memisahkan. Sedangkan si perempuan yang dicekik, berkali-kali minta maaf dan meminta tolong.

Saat itu juga Kavi datang dengan beberapa dosen lainnya. Kavi membelah kerumunan dan menarik Nola dari belakang. Gadis itu berhasil di angkat, tetapi kaki dan tangannya tidak berhenti menginginkan pertempuran itu lagi. Sedang dosen yang lainnya berusaha membubarkan kerumunan.

Ketika keluar dari kelas, Nola sempat melihat Moira dari sela-sela rambut yang menutup hampir seluruh wajah. Perempuan itu berdiri bersandar pada pagar tembok koridor dengan tangan yang bersedekap. Hanya menatap tanpa kata-kata.

"Kerjakan tugas sendiri! Itu bukan tugasku! Sialan kalian semua!" Teriakan Nola masih menggema ke sepanjang koridor saat Kavi mengangkatnya ke klinik.

"Lepas! Lepasin aku! Aku gak mau ada kamu lagi! Ini semua gara-gara kamu! Aku gak mau dekat sama kamu! Lepas! Lepas!" Lanjutan teriakkan Nola sama sekali tidak menghentikan langkah Kavi.

Dosen itu hanya meringis ketika Nola mencakar-cakar tangannya. Berita menyebar begitu cepat, Tory baru keluar lift ketika Kavi lewat.

Laki-laki itu langsung mengekor dengan segudang pertanyaan yang tak putus. Namun, tetap tidak mendapati jawaban selain teriakkan Nola yang berderai bersamaan air mata.




Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang