Bab 7

247 35 0
                                    

Langkah Kavi yang menuju pintu keluar, beriringan dengan langkah Moira yang baru memasuki kantin. Seolah ada radar, Moira menoleh ke Kavi yang tampak tergesa-gesa, kemudian matanya menyapu bersih seisi kantin dan berhenti tepat di wajah Nola.

Kavi sudah hilang di balik pintu keluar. Moira melangkah cepat ke meja Nola.

Mampus. Nola menyilangkan sendok dan garpunya dalam mangkuk yang masih berisi setengah. Diteguknya es jeruk sebanyak mungkin dengan harapan segarnya jeruk bisa menghalau rasa takut.

"Eh, eh, si cantik dateng," bisik Tory yang kemudian mendapat lemparan tisu dari Nola.

"Kamu gak paham juga atau budek sih? Jauhi Kavi!" serang Moira langsung.

Tatapan tajam Moira yang pagi ini berpenampilan berbeda sebab berponi dan rambutnya panjang sebahu berwarna coklat kemerahan, membuat Nola semakin ingin menutup mata.

Sebisa mungkin ia hanya memfokuskan mata ke gelas es jeruk dengan tangan yang gemetar di bawah meja. Ternyata hal tersebut semakin menantang Moira untuk kian menggebu memaki.

Telinga Tory memanas mendengar umpatan-umpatan Moira. Hingga mengundangnya untuk mencoba menengahi. Sayangnya ia dianggap tak kasat mata oleh Moira.


Tory pun menggebrak meja, sorot matanya tak kalah sengit dengan milik Moira.

"Sebenernya kamu ini kenapa, sih? Masalahmu apa? Kami gak kenal sama kamu. Kenapa selalu aja kamu datang dengan semua nama-nama binatang?"

"Kamu, kalau punya cewek. Diperhatikan! Jangan sampai dia ngemis perhatian ke cowok lain!" balas Moira yang kini berhadapan dengan Tory.

"Cewek? Bentar, bentar. Kamu naksir aku? Atau gimana sih?" tanya Tory seraya tertawa kecil.

"Kok naksir kamu? Ini! Pacar kamu ini sebaiknya bawa jauh-jauh dari Kavi!" ucap Moira semakin meledak.

Tawa Tory semakin keras. Bagaimana caranya membawa Nola untuk menjauh dari Kavi? Sementara Kavi adalah dosennya.

"Gak waras dasar! Ayo, La kita pergi aja." Dengan meninggalkan selembar lima puluh ribu di atas meja, Tory menarik Nola untuk segera menjauh.

***

Sentuhan ringan di bahu Nola, membuat gadis itu tersadar. Hampir setengah kemasan, susu UHT habis dituangnya ke dalam satu gelas kecil yang sudah membagikan isinya ke lantai. Padahal, lambungnya lah yang meminta susu itu.

Salah satu karyawan kafe menegurnya dengan sopan dan halus. Bahkan ia meminta Nola untuk duduk beristirahat saja. Gadis itu pun menyerahkan kotak susu UHT. Mengambil pel untuk membersihkan susu yang mewarnai keramik hitam dapur kafe.

Bekerja cepat agar papa tidak melihatnya. Sebab sudah beberapa kali papa menegur kecerobohannya malam ini.

"Nola, tolong antarkan ini ke meja nomor enam," pinta papa seraya membawa sebuah nampan berisi segelas vanila latte dan roti bakar cokelat dari depan.

"Kafe belum tutup, Pa?"

"Pelanggan terakhir. Di malam ini," jawab papa yang terburu-buru menuju toilet.

Setelah membuang napas, Nola mengambil nampan berwarna putih itu. Langkahnya yang hati-hati diiringi alunan lagu dari Tulus berjudul Tukar Jiwa.

Terlihat seorang laki-laki dengan rambut gelombang yang tergerai duduk sambil merokok. Nola mempercepat langkah, meletakkan nampan ke atas meja seraya menegur dengan santun. Sebab ruangan kafenya ber-AC.

Rokok itu pun ditusukkan ke dalam asbak tepat setelah kalimat Nola selesai.

Ditatanya piring dan gelas berdekatan, "Selamat menikmat -"

"Kamu?" Laki-laki itu lebih dulu memotong ketika mata mereka bertemu.

Mata kecil Nola melebar sempurna. Kavi.

Malam ini Kavi tidak tampak seperti biasanya. Ia terlihat lebih muda dengan baju kaos berwarna putih dan celana pendek. Tanpa sadar Nola memerhatikan terlalu lama.

Ketika ia sadar dan pamit untuk ke belakang, Kavi mencegah dengan memintanya untuk duduk menemani. Laki-laki itu mengaku ada banyak hal yang ingin dibicarakan.

Tidak bisa menolak, Nola yang tangannya digenggam terpaksa menari kursi di depan Kavi. Duduk dengan kikuk.

Sebelum menyantap, Kavi lebih dulu memerhatikan makanannya. Piring putih itu diputar-putarnya untuk diteliti. Entah apa yang harus diteliti bagi orang lapar? Juga, bukankah semua kenikmatan itu hanya sampai pada tenggorokan?

Setelah dirasa cukup, ia mulai memotong roti bakar dengan garpu dan pisau. Lelehan cokelat langsung membanjiri piring. Membuatnya berdecap kagum. Apalagi saat mengunyah, ia menutup mata menikmati sensasi cokelat yang menari-nari di lidah.

Kemudian, disesapnya vanila latte melalui sedotan. Resep temuan papa dan Nola itu lagi-lagi berhasil membuatnya melupakan beban sejenak.

"Di sini kerja?" tanya Kavi membuka obrolan.

Nola hanya bisa menggeleng, sejak tadi tangannya menggenggam keras nampan yang berada dalam dekapan.

"Malam ini pacarnya gak datang, ya? Sampai meluk-meluk nampan begitu?" ledek Kavi.

Nola mengempas nampan ke pangkuan. Bibirnya yang mungil mengerucut. Kavi melirik dari ekor mata, lalu tersenyum.

Sumpah! Ini dosen pengen kumakan!

Kavi lanjut menikmati roti bakar, sorot matanya bertanya-tanya mengenai kehadiran Nola di kafe ini. Penasaran, ia kembali menebak beberapa kali hingga akhirnya menyerah.

"Kafe ini milik papa," jawab Nola pelan.

Mulut Kavi membentuk huruf O. Tidak butuh waktu lama, ia juga sadar bahwa nama kafe diambil dari nama Nola, kafe 0A.

"Kata pacar kamu tadi, papa kamu sakit, ya?" tanya Kavi yang sudah menghabiskan makanannya.

Nola mengangguk, membenarkan. Namun, ketika ditanya penyakit apa, ia kembali menggeleng. Karena memang diagnosa dokter hanya kelelahan.

Kelelahan yang harus rutin minum obat. Bukankah itu meragukan?

Kavi menasihati persis seperti nasihat papa. Betapa semakin membuat Nola tidak mengerti, mengapa keinginan merawat papa boleh di kesampingkan daripada pendidikan?

Gadis yang masih mengenakan apron itu menunduk. Menguatkan hati sekaligus menahannya agar tidak kelepasan.

Kavi! Karena tugasmu yang banyak dan aneh itu juga menjadi salah satu alasanku untuk lelah!

"Nola, temen kamu?" tanya papa yang menghampiri meja mereka.

Kavi menoleh, menjabat tangan papa sembari mengenalkan diri. Namun, baru saja ia menyebutkan namanya, papa langsung menebak profesinya yang langsung mendapat anggukan dari Kavi.

Tanpa diminta, papa menarik kursi di samping Kavi. Memasang kacamata lalu mengeluarkan gawai, sibuk sendiri dengan dunianya. Baik Nola maupun Kavi jadi terdiam.

Nola beranjak, diikuti Kavi yang ingin menuju kasir. Karena ditatap papa, maka Nola memilih untuk membereskan piring di atas meja. Membawanya di atas nampan yang sedari tadi mengerang akibat genggaman yang terlalu kuat.

Selesai membayar, Nola dan papa mengantarnya sampai ke depan pintu. Sebenarnya anak semata wayang papa itu enggan, tetapi ia juga tidak bisa menolak.

"Jangan sungkan untuk datang lagi," kata papa ramah.

Kavi langsung mengiyakannya, berbeda dengan Nola yang jelas-jelas memohon agar menu roti bakar tadi akan membuat Kavi jera untuk kembali.

Laki-laki yang kini sudah mengenakan topi hitam itu pamit, ia membuka pintu bertepatan dengan seorang perempuan yang hendak masuk.

"Kavi?"

"Kamu?"

Moira?




Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang