Bab 61

68 3 0
                                    

Setelah menuntaskan tawa, Kavi menasihati agar tidak terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Sebab apa yang dilihat Nola sangat jauh dari apa yang sudah dibayangkan.

Gadis itu tidak berani menjeda setiap untaian nasihat yang mengalir. Ia hanya mampu meremas jemari, menatap ke luar jendela. Namun, ketika merasa ditertawakan rimbunnya pepohonan di beberapa sisi jalanan, Nola kembali menatap jemari.

"Lagi pula, urusan pekerjaan saya, kenapa kamu harus tahu?"

Untung saja sudah tiba di depan rumah, pertanyaan itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Buru-buru Nola keluar dari mobil usai mengucapkan terima kasih. Terlihat Kavi masih ingin menagih jawaban atas pertanyaannya barusan. Namun, Nola keburu menutup pintu mobil dan masuk rumah secepat yang ia bisa.

Setelah mengunci, Nola berdiri membelakangi pintu dengan suasana rumah yang gelap. Memeluk erat ransel seraya memejamkan mata. Jantung kian berdebar. Batin pun ikut berdebat. Ucapan Kavi semakin dipikirkan, malah menjadi beban.

Ya! Itu bukan pertanyaan! Tapi ancaman! Aduh, Nola! Begonya mau tahu urusan orang!

"Nola." Ucapan papa sontak membuat gadis itu menjerit.

"Hei, ini papa," ucap papa kemudian seraya menyalakan lampu.

Nola sudah merosot ke lantai, lututnya tidak berdaya menahan beban aliran darah yang melaju kencang. Tangannya yang gemetar berusaha meraih uluran tangan papa.

Dengan di papah, mereka duduk di sofa ruang tamu. Menyandarkan punggung dan masih memegang dada yang berdebar. Papa segera menusukkan sedotan ke air mineral kemasan gelas yang memang tersedia di atas meja. Nola menandaskan dalam hitungan detik. Lalu melepas tawa yang menulari papa. Mereka saling memandang.

Kali ini tidak hanya punggung, kepala pun ikut bersandar di sofa. Lelah mulai merayap menagih tubuh untuk beristirahat. Tawa sudah lenyap. Papa berdehem sebelum mengatakan jika ia akan melamar pekerjaan di tambang, mengikuti jejak om Rus.

Dengan cepat Nola memperbaiki duduk, mengernyit tanpa sepatah kata. Karena lelah juga berhasil menyita kata-kata dalam kepala. Melesat menuju kamar seraya memijat batang hidung dan ransel yang menggantung di salah satu bahu. Tidak peduli dengan papa yang mengekor dan mengetuk-ngetuk pintu kamar, meminta pengertian.

"Boleh kan, Pa, kita omonginnya besok aja? Nola mau istirahat dulu."

***

Hamparan rumput yang masih basah, menyimpan aroma hujan sisa semalam suntuk. Beberapa kali dedaunan menggugurkan sisa-sisa airnya. Menitik di rambut Nola yang tengah termenung.

Moira dan Tory asyik berbagi cireng yang mereka beli dari kantin. Satu kantong plastik cireng, hampir lenyap dalam seketika. Nola hanya menggeleng ketika ditawari. Dan terus menggeleng ketika Tory dan Moira bergantian hendak menyuapi.

"Orang kaya, dia. Gak mau makan tepung kanji yang digoreng," celetuk Moira, diakhiri senyum di ujung bibir.

Mendengarnya, Nola langsung meraup sisa cireng dalam kantong plastik. Memakannya habis, bahkan sambal jeruknya pun tidak bersisa. Kemudian merebut gelas kopi yang tengah menempel di bibir Tory, demi mengusir rasa pedas dalam mulut. Menandaskan hingga membuat si empunya hanya bisa menghela napas.

Rasa pedas ternyata bisa membuat seseorang dengan mudah menumpahkan apa yang tertahan di bibir. Nola mengatakan begitu saja mengenai papa yang ingin bekerja di tambang. Namun, perkataannya bertepatan dengan pertanyaan Moira tentang Kavi.

Tory yang berdiri di hadapan keduanya menjadi bingung, hendak merespons yang mana. Ia menatap Moira, lalu Nola. Karena ucapan dari keduanya benar-benar baru hinggap di telinganya.

Nola berdiri seraya membuang napas kasar. Wajahnya menengadah seolah meminta rintik air lagi dari dedaunan yang melindungi bangku taman dari sinar matahari. Kedua tangan di pinggang, menegaskan bentuk tubuhnya yang sedikit lebih kecil dari Moira.

Sebenarnya ingin tahu tentang Kavi, tetapi Tory memilih untuk bertanya tentang papa. Nola menoleh lalu memeluk sahabatnya itu. Sudah lama ia tidak menumpahkan tangis dalam dekapan Tory.

Meski menjawab dengan air mata, tetapi laki-laki yang sedang mendekap erat itu tahu, bahwa ada sesuatu yang pelik yang belum menemui celah untuk bisa diutarakan.

Sementara Moira hanya duduk menatap, kemudian berdiri ikut menghambur peluk. Sebuah pelukan yang menyelimuti keduanya. Buru-buru Tory dan Nola melepas peluk. Terlebih Nola, dengan cepat ia menghapus air mata yang sebenarnya masih ingin mengalir.

Ketiganya pun mengernyit. Moira bertanya kenapa melalui isyarat mata dan dagu yang terangkat. Tory segera membalas dengan pertanyaan yang sama.

"Aku, aku pengen juga dipeluk." Jawaban Moira tentu tidak benar adanya. Dalam hati, ada perasaan menusuk yang tidak bisa dihindari.

"Makanya cari pengganti Kavi! Biar gak gamon!" seloroh Tory seraya membenarkan ujung jaket dekat leher.

Sontak membuat Nola dan Moira menoyor kepala laki-laki itu. Lalu kembali duduk berdua, enggan melihat Tory yang mencecerkan tawa renyahnya.

Nola kembali tenggelam dalam pikirannya. Kepala yang berdenyut tidak berhenti sejak semalam. Bahkan sampai terbawa mimpi. Di dalam mimpi itu, ia harus berpisah dari papa, karena kebanyakan karyawan tambang tidur di mes. Biasanya mereka pulang setiap jadwal off yang sudah ditentukan. Ada yang dua hari masuk, dua hari off, dan lain sebagainya.

Sungguh, berpisah dari papa. Membayangkan papa tidur di mes, meski tidak akan kekurangan makanan ataupun kawan, tetap saja Nola ingin melarang. Apalagi mengingat penyakit papa. Tidak bisa absen dari jadwal cuci darah.

Ah, apa papa tidak memikirkan sampai ke sana!

"Yaudah, kita cari waktu untuk ngomong sama papa kamu. Kamu gak mau papamu kerja di tambang, kan?" Kalimat Tory berhasil menarik Nola dari lamunan.

Gadis itu cepat-cepat mengangguk seraya memeluk Tory yang tengah berjongkok di hadapan. Tidak lupa mengucapkan terima kasih berpuluh-puluh kali.

Lalu berdiri dan dengan lantang mengatakan jika ia akan mengganti cireng yang sudah dihabiskannya tadi. Moira menyusul, berdiri seraya menggandeng Nola menuju kantin. Meninggalkan Tory yang masih mengambil ransel di bangku.

Jemari Moira di antara jemari Nola, seolah mampu membawa keduanya pada frekuensi yang sama. Sejuta kesalahan Moira, kian memudar dalam benak Nola. Kegigihan perempuan itu dalam membuktikan permohonan maaf, sudah bisa menjadi alasan Nola untuk mau membuka diri secara perlahan.

Begitu membuka pintu kantin, polusi suara serentak berhenti begitu melihat Nola dan Moira di ambang pintu, dengan jemari saling menggenggam dan tawa yang saling bertaut seperti rantai.

Seluruh tatapan tertuju pada mereka. Menantang jemari keduanya agar terlepas. Namun, dengan lantang Nola bersuara, "Iya, kita berteman. Teman baik!"

Tidak hanya Moira yang menatap bingung pada Nola, seluruh tatapan itu pun lantas melayu. Seperti kucing yang disiram air. Kocar-kacir menemukan fokus lain agar rasa malu tidak terlalu kentara. Tidak ada sorakan, tidak ada yang mendengkus. Semua kembali menikmati makanan yang bertabur rasa kesal.

Tidak ada yang mau mengeluarkannya, mereka takut dengan peraturan tambahan yang dibuat kampus, dan disahkan papa Moira.

"Apa tadi itu?" tanya Tory yang hanya melihat layunya tatapan garang secara serentak.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang