Bab 28

108 5 0
                                    

"Cemana kau ini? Aturan mana pula yang kau baca? Eh, kau ini baca tidak buku pedoman jurusan? Nah, coba kau pulang nanti, bacalah dulu. Di situ jelas tertulis paling cepat tiga setengah tahun. Mana ada tiga tahun. Dewa kali lah kau ini," cerocos pak Togar selaku petugas akademik.

"Nah, ini ada Kavi. Sini Kavi. Kuberi tahu, ya, kau Menola, Kavi ini dosen jurusan kau, konsultasi lah sama beliau. Biasanya mahasiswi itu sering bertandang ke kantor ini cuma untuk melihat Kavi. Lah, kau malah mencari saya," lanjut pak Togar seraya tertawa.

Sebelum membenarkan, Kavi lebih dulu mengoreksi nama Nola yang disebut pak Togar, Menola. Aih, petugas akademik satu itu memang sering salah menyebutkan nama mahasiswa. Tidak jarang banyak mahasiswa yang protes.

Berbeda dengan Kavi yang semringah, Nola justru tidak bisa berkata-kata. Ia mengekor Kavi ke ruangan, meninggalkan pak Togar yang masih sibuk mengeja nama Nola tanpa tambahan 'me' di depannya.

Duduk di kursi depan Kavi dengan tertunduk. Terkadang gadis itu mengangguk atau menggeleng ketika dilempar pertanyaan. Lebih seringnya sih menggeleng. Ia lebih memilih menyimpan keinginan daripada dosen di depannya ini harus tahu.

Merasa tidak mendapatkan jawaban, Kavi meminta Nola untuk segera ke kelas. Desah napas putus asa terurai dan terdengar. Nola memejamkan mata seraya mengucap syukur. Namun, ketika tiba di pintu, ada pak Togar yang menggebu-gebu ingin bertemu Kavi. Ah, sepertinya Nola harus menarik kembali ucapan syukurnya.

Saat gadis itu melangkah di koridor menuju kelas, ia mendapati Tory yang sedang melamun di salah satu kursi yang menghadap danau teratai. Bertepatan dengan informasi penundaan jam masuk dari kating di grup WA.

Setengah berlari, Nola langsung menghampiri Tory. Mengejutkannya dengan satu teriakan. Sayangnya, Tory masih berdiam diri memandangi danau yang seminggu sekali mendapatkan perawatan.

Nola melambaikan jemari di depan wajah sahabatnya. Seketika itu juga Tory langsung tersadar dari lamunan. Melempar senyum seikhlasnya yang semakin mengembang seiring dengan kerutan penasaran dari kening Nola.

***

Sore ini sepulang kuliah, Nola akan nongkrong di salah satu kafe bersama teman sekelasnya. Ia hanya diantar Tory ke tempat tujuan, lalu akan dijemput sepulangnya.

Sebuah kafe yang mengusung tema industrial di pusat kota menjadi pilihan mereka. Kafe ini tergolong baru. Tidak heran jika banyak anak muda mendominasi. Alih-alih memilih tempat di dalam ruangan, mereka sepakat duduk di area luar kafe yang beralaskan kerikil dan hiasan tanaman kaktus yang menjulang di sepanjang dindingnya.
Sisi dinding yang ditanami kaktus, disemen membentuk bangku panjang dengan beberapa meja yang hanya dibedakan dari ketinggiannya. Disitulah Nola dan teman-teman menyumbang suara untuk kafe.

Langit gelap mengantarkan warna jingga ke belahan bumi lain. Membuat kafe bercahaya redup, tetapi masih asyik untuk melihat sekeliling.

Begitu buku menu diantar oleh seorang pelayan kafe, mendadak semua sibuk memilih-milih makanan. Hanya Nola yang menyalakan laptop. Salah satu temannya menawari dan tentu saja Nola hanya memilih satu makanan dan minuman dengan harga yang paling rendah.

Sebelum makanan datang, Nola menyuarakan agar proses belajar segera dimulai. Namun, ditolak mentah-mentah karena mereka mengaku tidak bisa konsentrasi jika perut sedang kosong.

Nola mengiyakan dengan senyum kecut. Kali ini hanya ia yang tidak bersuara di antara banyaknya tema obrolan.

Sepuluh menit menunggu, meja-meja sudah berhiaskan pesanan masing-masing. Jika dilihat, hanya Nola yang memesan segelas minum dan seporsi makanan. Sedangkan yang lainnya memesan makanan lengkap, mulai dari pembuka hingga penutup.

Seakan tidak ada habisnya, obrolan masih berlangsung di saat makan. Malah makin menjadi-jadi dengan tebaran tawa di mana-mana. Dirasa sudah terlalu lama melewatkan waktu, Nola kembali menyuarakan agar bisa langsung saja. Apalagi mengingat UAS sudah di depan mata.
Kali ini lebih parah, tidak ada yang mendengarkan gadis yang duduk menyendiri di sudut itu. Nola mulai memandang teman-temannya dengan curiga.

Firasat tidak enak perlahan merayap ke hati. Sebelumnya, ia juga pernah mengalami hal serupa. Hanya saat itu tidak di kafe. Melainkan hanya di kantin. Meski setelah itu diomeli Tory habis-habisan, tetapi Nola tetap meyakinkan jika berbuat baik tidaklah merugi.

Namun, berbeda dengan sekarang. Ia mencium aroma 'dimanfaatkan'. Lagi pula, tentu saja uang di dompet tidak akan cukup.

Tanpa mau berlama-lama, ia memasukkan laptop ke dalam ransel lalu berjalan melewati teman-teman yang hanyut dalam obrolan, menuju pintu keluar.

"La, mau ke mana? Awas pulang, ya. Kan kamu yang bayarin kita," celetuk si paling vokal.

Nola hanya mengangguk pasti dan mengatakan jika hanya ingin ke toilet sebentar. Namun, sebenarnya tidak. Ia bergegas menuju keluar setelah sebelumnya membayar dengan uang lebih sebab tidak mau menunggu uang kembalian terlalu lama.

Setengah berlari ia menyusuri trotoar tengah kota. Tiba di taman Samarendah yang terdapat menara lampu dan patung pancuran kuda, juga taman buatan, Nola tetap melajukan langkah di atas paving block.

Jemarinya tidak henti menelepon Tory, tetapi tidak jua diangkat. Sebelum memesan ojek motor, ia menyempatkan diri untuk singgah ke supermarket. Bukan untuk belanja, melainkan hanya untuk mengatur napas.

Dan benar saja satu per satu nomor yang sengaja tidak disimpan dalam kontak mulai menyerang. Hingga terpaksa mematikan ponsel sebelum sempat memesan ojek.

Dalam supermarket, ia mondar-mandir di lorong aneka camilan. Bagaimana caranya pulang?
Dan seakan langsung mendapat jawaban, Kavi hadir saat itu juga. Setelah basa-basi, Nola memaksa diri untuk berani meminjam ponsel dosen itu.

Sayangnya, bukannya meminjami, Kavi justru bertanya panjang lebar. Nola pun dengan lancar menceritakan keadaan, meski setelah itu ia berpaling dan memukuli mulutnya yang lepas kontrol.

"Saya antar pulang."

Mati!

Di dalam mobil, Nola bertanya apakah Kavi sengaja menguntitnya. Jelas saja hal itu membuat Kavi tertawa keras.

"Untuk apa?"

"Untuk sebuah rasa?" gumam Nola pelan, kalimat itu untuk dirinya sendiri.

"Apa?"

Nola menggeleng keras. Tidak mau mengaku dan menyalahkan Kavi yang mungkin belum korek telinga. Lantas membuat dosen itu tidak terima dan mengacak-ngacak rambut Nola.

Nola terkesiap. Sorot mata yang membesar memandang Kavi tidak percaya. Kavi yang tangannya belum kembali ke setir buru-buru mengutarakan kata maaf. Lalu keheningan menyergap.

Sesekali Kavi dan Nola saling melirik melalui ekor mata. Terpaan lampu jalanan yang jatuh tepat di wajah, tidak bisa mengungkap arti yang lebih jauh bagi keduanya.

Hening masih setia, hingga tiba di rumah Nola. Dilihatnya ada motor Tory parkir di depan pagar.

"La, kalau diantar Kavi bilang dong. Aku bolak-balik cariin kamu," seru Tory begitu Nola turun dari mobil.

Wajah yang merah padam itu tidak bisa diredakan meski Nola berusaha menjelaskan. Dan tidak seperti biasa, Tory pergi begitu saja. Membuat Nola bertanya-tanya.

Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang