Bab 30

112 5 0
                                    

Dalam langkah yang mantap Nola menuju kelas. Kemeja putih dan celana jin hitam yang dikenakan mampu menyalakan semangat bagi siapa saja yang berpapasan dengannya. Wajah yang tidak terhalang rambut, memaparkan kesegaran khas pagi. Aroma parfum pun turut serta meramaikan suasana.

Ia tiba tiga puluh menit lebih awal. Sebelum berpisah dengan Tory di dalam lift, mereka saling menularkan semangat dan berbagi keceriaan. Tidak seperti Nola, Tory tampak lelah dengan kantung mata yang terlihat. Wajar saja, semalaman dihabiskannya bermain game online.

Sebelum pintu lift menutup, sekali lagi Nola menyerukan sebuah kata semangat untuk Tory yang sudah melangkah keluar. Alih-alih membalas dengan hal yang sama, Tory justru melayangkan jari sarangheo. Sontak saja membuat para pengguna lift yang didominasi jurusan Nola ingin muntah. Siapa yang tidak kenal Tory di kampus ini? Mereka bilang, laki-laki itu playboy, tetapi sampai saat ini ia belum punya pacar.

Di balik kursi yang sudah disusun, Nola duduk dengan tenang dan sabar. Kavi dan para dosen lainnya terlihat mengobrol dengan serius di depan kelas. Tepat pukul delapan, dosen yang memegang tablet itu masuk dan memerhatikan mahasiswanya sejenak.

Ia memerhatikan satu kursi kosong di samping Nola. Tanpa mau mencari tahu dan menunggu, ujian dilaksanakan.

Nola mencermati tulisan kecil yang berjumlah lima soal yang tercetak di separuh kertas HVS. Ia memulainya dari nomor teratas, meski diizinkan untuk mengisi yang lebih mudah dahulu. Rupanya kelima soal itu sangat mudah bagi gadis yang senyumnya tengah mengembang.

Pulpennya menari lincah mengukir jawaban. Sedang otaknya sudah seperti kunci jawaban. Tidak perlu waktu untuk mencari jawaban, semua sudah tersedia.

Seakan sedang berada di ruangan yang berbeda, ia sama sekali tidak mendengar keributan yang terjadi antara Kavi dan Moira. Mahasiswi yang harusnya menempati kursi di samping Nola.

Kavi bersikeras tidak mengizinkan Moira masuk, tetapi saat Moira menelepon seseorang yang entah siapa, maka dengan jinak Kavi memperbolehkannya untuk menempati kursi kosong di samping Nola.

Namun, sebelum itu, Kavi mendekati Nola terlebih dahulu. Moira dibiarkannya berdiri di depan.

"Kamu sudah selesai?" tanya Kavi pelan seraya membungkuk.

"Waktunya habis?" tanya Nola balik setelah melihat jam tangan.

"Sudah atau belum?" desak Kavi.

"Dikit lagi, sih," jawab Nola setengah heran.

Sebelum beranjak, Kavi berpesan agar segera diselesaikan dan serahkan ke mejanya. Nola mengikuti langkah dosen itu dalam tatapan mata, ia pun mendapati Moira tengah berdiri. Begitu sorot mata mereka saling beradu, Moira malah melambaikan tangan. Wajahnya begitu menakutkan di mata Nola.

Nola sempat tidak berkedip, jantungnya mendadak berdegup kencang. Padahal sejak tadi aman saja. Lalu kelabakan begitu mendengar suara Kavi yang mengingatkan waktu ujian. Meraih pulpen dan menulis dengan tangan gemetar bukan hal yang baik.

Saking semerawut tulisannya, Nola meletakkan pulpen dan mencoba mengatur napas berulang kali. Kavi yang berdiri tidak jauh dari Moira tampak gelisah dengan tingkah Nola.

"Itu kursi aku, kan!" bentak Moira ketika Kavi tidak mengizinkannya duduk.

Saat itu juga Nola beranjak, dengan kertas jawaban dan ransel yang sudah menggantung di bahu. Gadis itu berjalan melewati Moira, hendak menyerahkan kertas kepada Kavi.

"Oh, jadi tunggu curut ini selesai, baru aku bisa duduk? Kamu lupa, ya? Tanpa aku, kamu gak akan bis -,"

"Silakan duduk," potong Kavi cepat dengan suara tak kalah nyaring dari Moira.

Secepat itu juga Nola keluar dari kelas.

***

Usai dari perpustakaan, Nola menemui Tory yang tengah memanjakan perut di kantin. Tidak tahan dengan godaan aroma makanan yang terlalu menggugah selera, Nola pun ikut menikmati setiap sajian yang menurutnya pantas untuk disantap siang ini.

Selain sebagai ucapan terima kasih kepada diri sendiri atas perjuangan selama ujian tadi, makanan yang lezat juga bisa memperbaiki dan menjaga kesehatan mental.

Seporsi soto ayam, brownies panggang taburan keju, dan segelas es jeruk, Nola masih menunggu pesanan makanan selanjutnya. Yaitu pentol rebus dengan telur burung puyuh di dalamnya. Saus sambalnya memang tidak ada duanya.

Meski banjir pelanggan, kantin ini memang punya pelayanan ekstra cepat. Tidak perlu waktu lama, sepiring pentol rebus mendarat di meja, Nola menikmati dengan ekspresi merem melek akibat saus sambal yang tidak main-main pedasnya. Namun, menyisakan rasa manis di bagian akhir.

Setiap selesai mengunyah satu pentol rebus, Nola menceritakan tentang kejadian di kelas. Tentu saja hal itu mengingatkan Tory lagi bahwa; ingin mengejar Moira.

"Yang dikejar itu impian, Tor! Bukan Moira," cetus Nola yang tidak sudi Tory dekat dengan Moira, perempuan galak kurang kerjaan itu.

"Moira itu cantik, La," kelakar Tory. Tentu saja ketika menyebutkan nama nenek lampir itu dengan berbisik.

"Kukunyah juga kamu, Tor!"

Melihat Nola yang setengah kepedasan dan setengah emosi, makin menggelitik Tory untuk mengeraskan suara tawanya. Dan harus berhenti ketika jam tangan Nola telah menunjuk angka dua.

Gadis itu pamit pergi setelah meneguk habis es jeruk yang tersisa di gelas kedua, jadwal ujian selanjutnya berbeda di setiap jurusan.

Nola yang sudah mengisi suku cadang otaknya di perpustakaan, mendadak harus oleng. Pasalnya papa mengirimkan pesan WA, bahwa jadwal cuci darah yang seharusnya diadakan sore ini, akan dimajukan tiga puluh menit lagi. Itu artinya bertepatan dengan pelaksanaan ujian.

Gadis itu mondar-mandir di koridor depan kelas dengan ponsel yang diayun-ayunkan di tangan. Tidak mungkin izin dan tidak mungkin tega membiarkan papa cuci darah seorang diri.

Ia sempat berpikir keras dengan menatap taman kampus yang penuh dengan hamparan rumput, bunga dan danau teratai itu. Sayangnya warna-warni bunga celosia tidak bisa menyejukkan hati di saat genting seperti ini. Hanya bisa meneduhkan mata yang hampir meloloskan air mata.

Kemudian beralih menatap langit yang biru. Meski pada pesan WA selanjutnya papa mengatakan akan berangkat sendiri ke rumah sakit, tetap saja sebagai anak satu-satunya, Nola tidak akan pernah sanggup mengiyakan atau membiarkan.

Mama, Nola harus gimana?

Akhirnya gadis itu mengambil keputusan. Ia berlari di sepanjang koridor dengan mata yang tertuju pada ponsel, memesan ojek motor. Naasnya, ia malah menabrak Kavi yang baru keluar dari ruang dosen.

"Mau ke mana?" tanya Kavi cepat.

Genggaman tangannya di pergelangan tangan Nola enggan dilepas atau barang dikendurkan. Perlu dua tiga kali bagi Kavi bertanya, baru Nola menjawab jujur.

"Oke. Sekarang kamu masuk kelas. Ujian dengan tenang. Biar saya yang urus papa kamu."

Sebuah pernyataan yang tidak bisa dibantah Nola karena dosen itu langsung melesat. Perasaan gadis itu semakin campur aduk. Ia ingin berterima kasih, tetapi juga ingin memaki.

Kenapa harus Kavi yang menolong?






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang