Bab 21

152 24 1
                                    

"Kalau aku sama Moira, cocok kan, La?" Alih-alih mendapat jawaban, Tory malah mendengar suara cacing dari perut Nola.

Jangankan suara Tory, jeritan para cacing dalam perut pun tidak terdengar sama sekali di telinga Nola. Ia asyik mengerjakan tugas sembari mengunyah pisang keju yang dibawa Tory. Ketika menikmati sensasi rasa keju yang asin berpadu dengan manisnya parutan cokelat, tiba-tiba Nola mengaduh. Mengurungkan niat Tory yang bersedia melempar taburan keju di lantai ke arah Nola.

Ia mengerang memegangi perut yang terasa seperti ditusuk-tusuk. Tory yang panik segera berlari memanggil papa yang asyik menonton televisi di ruang keluarga.

Nola sudah terbaring di lantai ruang tamu sambil mengerang kesakitan begitu Tory dan papa datang. Dengan gerak cepat dan atas persetujuan papa, Tory langsung memesan ojek mobil, membawa ke rumah sakit.

Di perjalanan, papa memegangi kepala Nola. Mengusap dengan lembut. Sesekali menghapus air mata yang mengalir di pipi anak semata wayangnya tersebut.

"Maafin papa, Nak," lirih papa.

Mungkin kehilangan orang tua memang menyakitkan, tetapi sesungguhnya hal yang paling menyakitkan di dunia adalah menyaksikan seorang anak yang sedang sakit. Papa tidak mau berpikiran terlampau jauh, sebab kehilangan anak bagi orang tua, sudah pasti rasanya seperti dunia yang tiba-tiba lenyap.

Jarang ada orang yang sanggup menerima kenyataan seperti itu. Mungkin itulah sebenar-benarnya definisi kehilangan.

Setibanya di rumah sakit, Nola langsung diperiksa oleh dokter yang bertugas di UGD. Papa dan Tory menunggu di luar. Keduanya tidak ada yang bisa duduk dengan tenang. Papa mondar-mandir dan sesekali meneteskan air mata di hadapan tembok rumah sakit yang berkeramik putih.

Sedangkan Tory mencoba berdoa. Cukuplah derita atas tekanan batin yang suatu saat bisa meruntuhkan kehidupan Nola, jangan lagi ditambahkan penyakit dalam tubuh sahabatnya.

Setelah menunggu beberapa saat, seorang perawat memperbolehkan papa dan Tory melihat keadaan Nola.

"Maag akut, Pak. Tolong setelah ini makannya lebih diperhatikan lagi. Patuhi jam makan, jangan sampai telat." Ucapan perawat membawa rasa bersalah papa semakin menghujam ke ulu hati.

Betapa egoisnya papa selama ini yang kurang memperhatikan Nola. Sedangkan putrinya tersebut tidak pernah rela untuk tidak memikirkan papa, barang sedetik pun.

***

Nola menguap lebar setelah beberapa kali mengerjap. Karena kondisi yang memaksa, maka Nola harus merasakan tidur di ranjang rumah sakit.

"Selamat siang."

Nola menoleh ke sumber suara yang duduk di sofa dengan sebuah buku di tangannya yang baru ditutup. Seakan paham keterkejutan Nola, Kavi meletakkan kembali buku tersebut ke atas nakas, lalu berdiri di sisi ranjang.

"Kamu pingsan," ucapnya.

"Kapan? Saya tidur," sahut Nola seraya duduk.

Laki-laki yang kali ini berpakaian kaos oblong hitam dan celana jin panjang hitam itu, tidak tampak seperti dosen. Apalagi rambutnya yang bergelombang sedikit panjang itu tidak diikat, pastilah tidak ada yang menyangka kalau ia seorang dosen.

"Saya pikir pingsan. Lama banget." Dosen pemilik bibir tipis dan dagu terbelah itu tertawa kecil hingga menampilkan deretan gigi yang rapi.

Nola mengernyit, tidak paham letak kelucuan yang membuat Kavi tertawa. Justru tampak aneh melihatnya tertawa seperti tadi.

Hening tercipta setelah itu. Kavi masih berdiri di sisi ranjang. Keduanya sama-sama menggali ide perbincangan, tetapi tidak ada kata yang mau diucapkan. Hingga akhirnya Nola mengucapkan terima kasih atas kunjungan Kavi. Yang sebenarnya Nola tidak tahu sihir apa yang dimiliki dosen itu hingga bisa tiba-tiba hadir di sini.

"Kamu pikir saya menjenguk? Tidak. Saya ke sini mau antar ini, selama sehari kamu tidak masuk, ada banyak tugas yang rindu," ucap Kavi seraya meletakkan diska lepas ke atas nakas.

Tanpa sepatah kata lagi, ia berlalu pergi. Nola mengiringi langkahnya dengan tatapan. Hingga terdengar suara pintu yang ditutup.

Tugas lagi? Astaga! Dasar dosen aneh! Benci! Benci! Benci!

Nola menjerit sepuas hati dalam dekapan bantal yang mengurung seluruh wajahnya. Dosen itu benar-benar tega. Di saat sakit seperti sekarang saja, ia masih menjejalkan tugas. Nola bergidik melihat diska lepas di atas nakas.

Terdengar suara pintu dibuka, Nola mulai memejamkan mata, memohon dalam hati agar bukan Kavi yang kembali. Mungkin sosok tak kasat mata di ruangan akan merasa tersinggung, sebab Nola lebih takut melihat Kavi.

"La?"

Ah, syukurlah. Tory!

Ketika Tory meletakkan bungkusan camilan ke atas nakas dan melempar tas serta jaketnya ke atas kursi, tanpa sengaja mata Nola menangkap jaket denim di atas sofa. Lantas ia langsung menanyakan kepada Tory. Sayangnya Tory menggeleng dan tidak tahu menahu mengenai jaket tersebut.


Tory pun berusaha membantu menggali di ingatan Nola, mengenai siapa yang terakhir menjenguknya. Gadis itu tampak berpikir keras.

"Kavi," ucap Nola pelan dengan tatapan yang masih melayang ke luar jendela.

Mendengar nama Kavi disebut, tanpa aba-aba Tory langsung tertawa.

"Kamu, ya yang kasih tahu dia?" todong Nola setelah bingung beberapa saat.

"Gak juga," elak Tory cepat seraya menangkis lemparan bantal dari Nola. "Kemarin dia ke kelasku, tanyain kamu ke mana kok gak masuk? Yaudah kujawab jujur," lanjutnya.

Laki-laki yang menemani Nola di rumah sakit sejak kemarin itu langsung merebahkan diri ke sofa. Keadaan papa yang tidak memungkinkan untuk menginap menemani Nola, maka Tory bersedia sebelum diminta.

Baru saja hendak meminta Tory untuk pulang, sebab terlalu kasihan jika harus menanggung beban yang bukan bebannya, laki-laki yang baru pulang kuliah itu sudah mengorok lebih dulu. Tidak tega jika harus membangunkan. Wajahnya cukup menyiratkan ada lelah yang harus dihilangkan dengan istirahat.

Layaknya bintang, kebaikan Tory selama ini sungguh tidak terhitung. Betapa Nola merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Tory. Baginya, Tory tidak akan terganti. Sosok yang selalu ada untuknya dan setia mendengarkan segala macam rupa kalimat dari kesedihan maupun kebahagiaan yang diutarakan.

Setengah jam berlalu, Nola yang mulai merasa bosan bermain ponsel, tertarik ketika melihat diska lepas yang menganggur di atas nakas. Setelah memastikan ada OTG dalam pouch bag yang ada dalam tas di sisi bantal, ia segera mengambil diska lepas tersebut.

Mencoloknya ke ponsel, lalu dengan saksama memerhatikan fail yang berjudul Untuk Nola. Membuka fail tersebut dengan jantung berdebar. Betapa otak masih belum ingin dihujani tugas. Namun, hati penasaran ingin melihat tugas aneh apalagi kali ini.

Baru saja ingin membuka, Tory terbangun. Segera Nola menyuruh untuk makan camilan yang dibawanya tadi.

"La, kalau aku sama Moira cocok, kan?" tanya Tory yang masih mengumpulkan nyawa.

"Ha? Kamu abis mimpi Moira, ya?" tebak Nola.

Tory mengangguk seraya mesem-mesem. Ia mengaku jika bermimpi makan malam bareng Moira di kafe 0A. Ah, sudah pasti ditepis Nola mimpi tersebut. Bahkan Nola mengutuk mimpi yang tidak akan dibiarkannya menjadi kenyataan tersebut.

"Eh, apaan tuh?" tanya Tory ketika melihat layar ponsel di genggaman Nola.










Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang