Bab 34

95 4 0
                                    

Baru saja Tory menutup pintu berdaun dua, terdengar entakkan high heels dari ujung koridor. Nola menoleh mengikuti arah suara. Tubuhnya mendadak mematung dengan pandangan yang tidak berkedip dari seseorang yang tengah berjalan menujunya. Siapa lagi kalau bukan Moira. Perempuan itu terlihat seperti singa yang tengah kelaparan, siap memangsa.

Rambutnya kembali menjadi pendek dan berwarna hitam. Padahal saat pertikaian tempo hari, rambut tersebut panjang sepinggang dan berwarna pirang. Untaian rambut berlenggok ke kanan dan kiri mengikuti irama langkah kaki.

Bibirnya dibalut lipstik merah menyala seperti warna bajunya yang tidak berlengan. Warna merah itu seolah menjelma menjadi api yang mengelilinginya.

Begitu menyadari bahwa orang di ujung sana adalah Moira, Tory langsung menarik tangan Nola secepat kilat. Namun, ketika mereka berdua hendak lari ke arah yang berlawanan, Moira lebih dulu menangkap tangan Nola dan memaksa gadis itu masuk ke ruang rektor.

Dengan dua orang yang menarik ke arah berlawanan, membuat Nola kesulitan mempertahankan keseimbangan. Tarikan tangan Moira yang ternyata lebih ganas dari Tory, berhasil membawa mereka ke dalam ruangan.

Sekretaris yang melihat langsung berdiri dan menyambangi. Nola memohon agar dilepaskan, sedang Moira tetap menariknya tidak mengenal ampun.

Sang sekretaris yang tidak berhasil membantu pun, segera berlari menemui rektor. Bersama Kavi, pak Thomas menghambur ke luar ruangan tempat Moira masih saja menarik-narik Nola.

"Moira!" bentak pak Thomas.

Ia langsung menarik Moira untuk menjauh. Sayangnya Moira tidak mau melepaskan tarikan tangannya. Bahkan perempuan itu menarik rambut Nola. Hingga pak Thomas menangkap dari belakang. Berusaha mengangkat tubuh Moira menjauh.

Kavi dan Tory pun juga ikut memisahkan. Akhirnya Nola berhasil diamankan dalam pelukan Kavi. Air mata gadis itu sudah membanjir.

"Semua ikut saya," perintah pak Thomas yang berjalan sambil menarik paksa Moira.

Kali ini mereka menempati ruang kerja pak Thomas. Duduk di atas kursi tamu yang mengelilingi satu meja persegi panjang. Sementara pak Thomas mondar-mandir di depan meja kerjanya.

"Kamu keterlaluan, Moira!" bentak pak Thomas lagi pada Moira yang duduk bersandar dengan santai seolah tidak sedang melalukan kesalahan.

Kaki kanannya memangku kaki kiri, sedang tatapannya sangat sinis kepada Nola yang kini duduk tertunduk di antara Kavi dan Tory. Sesekali Moira mengeluhkan air mata Nola yang dianggapnya hanya air mata penarik perhatian Kavi.

"Kok aku yang keterlaluan? Dosen ini yang keterlaluan, Pa! Seandainya dia gak putusin aku, terus gak macam-macam sama cewek kampungan ini, aku gak bakal kaya gini."

Kavi tampak ingin protes, tetapi keburu dipotong pak Thomas.

"Papa malu Moira!"

Nola menoleh Tory yang duduk di sisi kanan. Mata mereka seolah sedang berbicara.


Oh, ternyata Moira anak pak Thomas.

Belum selesai ber-oh ria, Nola dan Tory dikejutkan dengan suara ketukan pintu. Rupanya sekretaris. Ia datang bersama seorang laki-laki yang ternyata adalah dosen di jurusan TI.

Dosen itu menyampaikan suatu berita dengan berbisik. Berita yang menambah kemarahan pak Thomas kepada Moira. Dan anehnya Moira masih bisa duduk dengan santai. Sesekali ia berdiri mengambil minuman kaleng dari kulkas dan menenggaknya seorang diri.

Usai dosen jurusan TI itu keluar dari ruangan, pak Thomas mengambil duduk di samping Moira. Dipandanginya anaknya itu lekat-lekat. Berulang kali terdengar mengatur napas. Hingga pada buangan napasnya yang terakhir.

"Kamu di skors. Satu minggu. Dan kalau kamu masih mengganggu, apa lagi sampai berani berbuat nekat seperti mengubah IPK, membobol surel jurusan, adanya tindak anarkis seperti tempo hari, dan terutama kepada teman kamu ini, kamu ambil cuti saja. Tidak usah kuliah di sini selama setahun. Kalau perlu, pindah kampus saja. Ini keputusan final papa. Kamu sudah mengecewakan papa, Moira."

Berbeda dari yang tadi, kali ini Moira seperti cacing kepanasan. Ia giat menolak keputusan papanya. Berkali-kali memohon, tetapi hanya sebuah kebisuan yang dirasakan.

Ia juga minta tolong Kavi sebelum mereka bertiga keluar dari ruangan. Sikap Kavi pun sama seperti pak Thomas. Sampai pintu ruangan kerja rektor ditutup, suara Moira yang memohon-mohon pada papanya yang jelas mengacuhkan itu masih bisa menembus hingga ke ruang sekretaris.

Belum sempat mereka bertiga melanjutkan langkah hendak keluar ruangan, Moira membuka pintu kaca. Membuat semuanya menoleh, termasuk sekretaris yang tengah berdiri hendak mengucapkan sesuatu kepada Kavi, Nola, dan Tory.

"Tapi cewek ini yang dorong aku dari tangga!" Suara Moira yang sengaja dikeraskan, membuat pak Thomas langsung berdiri dari duduknya.

Nola menggeleng. Sepenuhnya hanya menggeleng tanpa berani bersuara. Air matanya kembali jatuh berserakan.

Kavi mempertanyakan kebenaran. Sementara Tory menggenggam tangan Nola, menguatkan dan meyakinkan.

"Apa itu benar?" Kali ini suara pak Thomas yang berat membuat Nola seolah merasa dihujani rintikkan jarum-jarum.

Nola meremas tangan Tory sekuat tenaga. Ia juga menggigit bibir bawah, alih-alih menjawab pertanyaan.


Kepalanya mendadak menjadi pusing. Hingga harus di papah untuk duduk ke tempat tadi. Sekretaris menyuguhkan sebotol air mineral yang langsung diteguk Nola.

Namun, tenggorokannya masih terasa kering serta panas. Belum ada satu kata pun ia temui untuk diutarakan. Begitu juga dengan Tory yang ikut terdiam.

Moira terus mendesak. Bibirnya yang merona itu tidak berhenti diam. Seluruh kalimatnya berhasil memojokkan Nola.

"Oke. Oke. Saya akan ceritakan," kata Nola dengan dada yang sesak.

Cerita pun mengalir dengan lambat, sebab air mata yang memaksa untuk keluar, diselingi sesenggukan yang hebat. Sudah berlembar-lembar tisu habis untuk menguras air mata, tetapi tetap terasa kurang.

Semua mendengarkan dengan saksama kecuali Moira yang senyum-senyum seolah berhasil meraup kemenangan. Hingga tiba di akhir cerita. Pak Thomas memutuskan untuk melihat rekaman CCTV di ruang keamanan.

Ditemani Kavi, pak Thomas berangkat ke sana. Sedangkan Moira memilih untuk duduk bersantai di kursi kerja papanya dengan kaki yang diletakkan ke atas meja. Dan Nola masih sibuk mengurusi air mata ditemani Tory.

Laki-laki itu berusaha menguatkan dan sesekali menyahuti ocehan Moira yang memekakkan telinga. Dengan rahang mengeras, ia menegur perempuan yang sedang sibuk membersihkan kuku dengan alat kikir. Seakan tidak merasa bersalah, ia terus saja memojokkan Nola.

Nola sendiri ingin sekali menutup telinga rapat-rapat. Ambisi itu tidak lagi meleleh, tidak lagi terbakar. Ia lenyap, menguap bersama embusan napas yang dikeluarkan. Tidak ada lagi yang menggantung di langit-langit niatan. Kesedihan dan perasaan terpukul menciptakan rongga di kehidupan.

Kosongnya harapan membuat ingatannya terbang pada papa di rumah. Bagaimana caranya mengatakan jika seandainya ia dikeluarkan dari kampus ini? Bagaimana caranya membahagiakan papa apabila tidak lagi menjadi seorang mahasiswa? Dan bagaimana jika namanya di blacklist dari seluruh kampus?



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang