Bab 23

125 14 0
                                    

Seakan tertangkap basah, bola mata Nola tidak bisa bergeser dari tatapan Kavi. Semakin lama mereka bertatap-tatapan, semakin riuh juga suasana kelas.

Ada apa ini?

Dengan satu kalimat, Kavi berhasil membius mahasiswa. Suasana pun kembali menjadi tenang. Dosen itu mulai membuka laptop, lalu membuka blazer dan menggantungkannya di kursi. Tersisa kemeja hitam yang semakin membuat bola mata mahasiswi menjerit.

Pikiran Nola tidak bisa minggat dari alasan kelas yang sempat riuh. Namun, tidak mungkin bertanya ke teman yang duduk di sekeliling, sebab telinga Kavi terlalu tajam.

Empat puluh lima menit berlalu, Nola membereskan barangnya dan berniat untuk menanyakan langsung kepada Kavi yang sudah lebih dulu meninggalkan kelas. Namun, niat itu urung ketika salah satu teman sekelas menghadang langkahnya tepat di ambang pintu.

Perempuan yang berdandan agak tebal itu mencengkeram tangan Nola. Kuku palsu panjang berwarna menyala di atas kulit yang sedikit gelap itu menancap begitu saja, Nola mengaduh dibuatnya.

"Guys, guys! Tugas kita semua, cewek ini yang bakal selesaikan. Kalian tinggal WA aja, nanti malam dia bakal kirim jawabannya via email. Kan kata Kavi, dia yang paling tinggi nilai tugasnya. Padahal dia sendiri gak masuk dua hari!"

Riuh kembali terjadi. Siapa yang bisa menolak rezeki? Tugas dari Kavi pula. Tentu saja satu kelas setuju dengan perempuan yang masih mencengkeram Nola. Sesungging senyum tercetak jelas di bibir berwarna menyala itu.

Tanpa alasan, mata Nola mulai memanas. Ingin ia berteriak tidak, tetapi kembali tertelan begitu mengingat risiko besar yang sedang menghadang di depan.

Begitu terlepas, Nola langsung berlari menuju toilet atau taman atau kantin, ke mana saja asal menjauh dari mereka semua. Namun, siapa sangka di koridor ada Kavi yang menghadang langkahnya.

Dosen itu melihat air mata Nola, meski Nola menundukkan wajah dalam-dalam. Baru saja hendak bertanya, Tory memanggil dari arah belakang.

"Kamu ngapain lagi sih, Kav?" ketus Tory begitu langkahnya berhenti tepat di antara Kavi dan Nola.

"Kok jadi saya? Baru juga saya mau tanya," jawab Kavi tidak kalah sengit.

Tidak ingin berdebat, Tory segera membawa Nola menjauh. Saking jauhnya, mereka menggunakan motor dan menyusuri aspal hingga ke Kota Raja.

Sebuah ibu kota kabupaten yang berjarak kurang lebih satu jam dari Kota Tepian. Lamanya jarak tempuh, rasa sedih Nola berangsur berubah menjadi rasa lelah. Oleh sebab itu, setibanya di Kota Raja, mereka langsung singgah di rumah makan.

Dua porsi sate payau yang dipilih dalam freezer ketika baru masuk rumah makan, sudah terhidang bersama dua gelas es jeruk dua puluh menit kemudian. Dari segi bumbu, tidak ada yang membedakan sate payau dengan sate ayam, sapi, atau kambing. Hanya saja, daging payau atau daging rusa itu memiliki cita rasa tersendiri.

Rumah makan ini adalah yang paling banyak dikenal orang karena sate payaunya yang tidak alot atau pun amis.

Tory tidak mau mengganggu Nola yang sedang fokus mengisi perut. Terlihat sekali jika sahabatnya itu sangat dahaga. Sampai-sampai harus memesan segelas es jeruk lagi.

Begitu sepuluh tusuk sate tersisa lidi, Nola menyandarkan punggung ke kursi. Ia memainkan gelang simpainya di bawah meja.

"Teman sekelas protes karena nilai tugasku paling tinggi," buka Nola.

Tatapannya masih saja terpaku pada gelang simpai yang dipilinnya.

"Bagus dong!" sahut Tory usai meneguk es jeruk.

"Ya, gak lah! Kamu tahu kan aku gak masuk. Tiba-tiba tadi Kavi umumin kalau nilai tugasku paling tinggi," ada jeda sebentar, kali ini Nola menyembunyikan wajah dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja. "Temenku minta aku kerjakan tugas mereka. Satu kelas. Tugas Kavi, nanti malam harus selesai," lanjutnya.

"Aku tahu ini berat buat kamu, La. Tapi aku yakin kamu bisa. Kemarin aja kamu sempat nolak tugas dari Kavi. Terus, kata Kavi kamu juga sempat nolak bantu temanmu di kelas," ucap Tory dengan kedua tangan yang berlipat di atas meja.

Mendengar hal itu, rasa penasaran Nola setiap Tory mengobrol dengan Kavi terhapuskan sudah.

Mata Nola kembali memanas. Kali ini air mata lolos tidak tertahan. Tory pun beralih duduk ke samping. Memeluk seraya mengusap punggung Nola. Berharap beban yang sedang diderita sahabatnya bisa berkurang.

***

Usai mandi dan mengenakan baju kaos dan hot pants, Nola duduk di depan laptop. Rambut yang sudah kering, digulung tinggi ke atas. Dengan tekad ini yang terakhir, Nola mulai membuka chat WA, menggulir hingga ke bagian paling bawah.

Sebagai bukti bahwa ini yang terakhir, Nola menghapus semua nomor yang tersimpan di kontak. Hanya menyisakan beberapa nomor penting, salah satunya nomor Kavi.

Begitu selesai mengerjakan sepuluh soal, Nola memfoto kemudian bersiap mengirim ke seluruh email teman-teman. Ah, gadis itu juga tidak lupa membuat email baru. Yang selama ini digunakan akan segera dinonaktifkan.

Tiba-tiba muncul nama Kavi Karan di layar ponsel. Dosen itu memanggil panggilan video.

Gila! Sudah malam mau video call! Mau apa dia!

Dengan mata terpejam dan hidung mengerut, Nola mengetuk-ngetuk meja dengan jemari merasakan getaran ponsel yang tidak berhenti. Satu panggilan telah terlewat.


Kembali bergetar untuk panggilan kedua. Nola berlari menuju dapur. Ia mengambil gelas dan mengisi air dengan tangan gemetar. Papa yang belum tidur, menegurnya dengan curiga.

"Kenapa? Ada hantu, ya?"

"Ih, Papa! Bukan. Cuma haus," jawab Nola mencebik.

"Jarak kamarmu makin jauh? Atau kamu habis dari gurun sahara?" Tebakan papa membuat Nola tersenyum lebar.

Gadis itu mengambil posisi di samping papa yang asyik menikmati berita televisi di atas sofa. Bukan, bukan untuk ditonton, tetapi hanya didengarkan semacam mendengarkan radio. Sebab dirinya sibuk dengan laptop. Menjelajah dunia ekonomi dan kuliner.

"Pa, uang bangunan," Nola menggantung kalimatnya.

Papa membuka kacamata dan meletakkan ke atas kepala. Keningnya mengerut, sebab uang bangunan baru saja dibayar. Seharusnya semester depan lagi.

"Papa udah ganti uangnya orang?" lanjut Nola dengan hati-hati.

"Oh! Sudah! Sudah beres. Kenapa? Kok tiba-tiba." Kini giliran papa yang menggantung kalimatnya.

Nola menggeleng. Ia mengungkapkan tidak enak saja rasanya hidup dengan beban hutang uang. Sejak kecil Nola diajarkan mama untuk tidak perlu berhutang bila masih bisa menahan diri. Ia pun tumbuh menjadi gadis yang tidak konsumtif. Mama pasti bangga padanya. Begitu pun papa yang mengungkapkannya.

Karena memang sudah hampir larut malam, papa pun pamit untuk tidur. Tersisa Nola di sofa depan televisi. Dengan pikiran yang melayang, ia senyum-senyum sendiri. Satu beban sudah bebas.

Tiba-tiba suara ketukan pagar mengejutkan Nola. Bergegas ia mengintip di balik jendela. Dan keluar begitu melihat Kavi.

"Ngapain?"

"Kamu yang ngapain? Saya telepon gak diangkat."

Hah?





Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang