Bab 45

79 3 0
                                    

Meski melangkah bersama Tory, Nola tetap merasa sendiri. Pikiran yang sibuk mencari kesegaran di antara impitan masalah, mampu menarik kesadaran, membawanya seolah ke dimensi waktu yang lain.

Saat dahi kebentok pintu lift, barulah dunia seakan merebut kesadaran Nola kembali. Tangan Tory lebih dulu memegang dahi, baru tangan Nola menimpa di atasnya. Karena pintu lift sudah terbuka, maka mereka melangkah masuk bersama. Mata Nola masih terpejam merasakan denyutan yang cukup membuat sakit kepala.

"Hati-hati," celetuk Tory saat merasa sudah cukup mengelus-elus dahi yang memerah itu.

"Hah? Makan hati?"

Tory membuang muka sekalian napas, "Ribet." Laki-laki itu turun lebih dulu begitu pintu lift terbuka dan berjanji untuk pulang bareng.

Ia tidak menyinggung apa-apa tentang apa yang diucapkan Kavi, meski jiwa penasaran tak kalah sengit melawan kesabaran. Tidak lupa melambai sebelum pintu kembali tertutup, sementara Nola yang masih memikirkan masalah makan hati, hanya membalas lambaian ala kadarnya.

Masih sambil memegang dahi, Nola berjalan menyusuri koridor. Tepat di depan pintu kelas, ada Moira yang tengah berdiri memandang taman. Membuat gadis itu melupakan rasa nyut-nyutan dan segera menyambangi Moira.

Kosongnya koridor tidak seperti biasa. Dari jendela, Nola bisa mengintip mahasiswa sudah pada masuk kelas. Sesuatu yang jarang terjadi.

Tidak ada kata yang dipersiapkan, semuanya mengalir begitu saja. Mengucapkan permintaan maaf atas tuduhan yang sempat melayang. Moira bergeming. Nola memanggil beberapa kali, tetapi tetap tidak ada sahutan. Hingga memberanikan diri untuk menyentuh bahu perempuan itu.

"Ya?" Moira menoleh seraya melepas earphone yang terpasang.

Kali ini, Nola yang bergeming. Tatap mereka bertemu. Sekali lagi, Moira bertanya kenapa.

"Oh, kamu mau tanya kenapa koridor ini kosong, ya? Biasalah, kalau udah gak ada manisnya, mana ada semut mau datang lagi." Ucapan Moira membuat hati Nola sedikit tersentil.

Semalang itukah nasib Moira kini?


Buru-buru Nola menggeleng dan kembali menguraikan permintaan maaf. Moira memberi respons di luar dugaan. Ia memeluk Nola, wajahnya ceria sekali.

Setelah melepas pelukan, Moira bertanya tentang Kavi. Ia mengaku ada saat kejadian. Dan melihat Kavi pergi begitu Nola dan Tory datang.

"Dia merasa bersalah. Karena kecerobohannya jadi malapetaka buatmu sama papamu." Ucapan Moira sama sekali tidak mengubah rasa marah yang tercipta.

Nola kembali teringat akan surat hitam di atas putih itu. Ia berharap semua ini hanya mimpi. Sayangnya semua terjadi dalam keadaan nyata.

Jerit ponsel dalam ransel memaksa Nola untuk menyingkir sebentar. Menerima telepon dari papa yang memintanya untuk menemani mengurus asuransi ruko. Sayangnya jadwal kuliah hari ini padat sampai sore. Nola mengusulkan lain hari, yang ditanggapi papa dengan suara yang tidak berubah warna keceriaannya.

Terbesit perasaan bersalah. Membahagiakan papa dengan cara menolak menemaninya mengurus asuransi kafe? Apakah bisa dibenarkan? Pikiran Nola mendadak menjadi kusut. Tidak mungkin ia meninggalkan satu mata kuliah. Tekad lulus dalam waktu singkat mendadak menari-nari mengitari kepala.

Moira yang sejak tadi memerhatikan Nola dengan siku yang bertumpu pada pagar tembok koridor demi menopang dagu, cepat-cepat berdiri dan menyandarkan punggung ke pagar tembok itu.

Ia masih berusaha menggali rasa penasaran dalam diri Nola. Perempuan itu sangat yakin kalau Nola sebenarnya masih kepo dengan keadaan lorong yang kosong.

Namun, Nola yang hari ini menggerai rambut itu, sama sekali tidak mau mengaku. Bahkan ia berkata tidak peduli. Jika benar mereka semua menjauhi Moira, maka Moira akan dicap menjilat ludah sendiri ketika ia mendekati Nola.

Langkah Nola seakan menjadi magnet untuk Moira. Kakak tingkatnya itu mengekor. Dan sontak saja seisi kelas menjadi hening beberapa detik, untuk kemudian mengata-ngatai Moira yang tidak tahu diri.

Sama seperti Nola, Moira juga ikut memasang earphone. Namun, ternyata Moira tidak sanggup berlama-lama dalam kubangan cemooh yang tidak ada remnya. Ia berlari keluar. Menyisakan Nola dengan segenap perasaan iba dan setitik keberanian untuk membela.

***

Sepulang kuliah, Tory mampir sebentar di rumah Nola. Mereka asyik menikmati ikan bakar dan cempedak bakar yang dikuah santan. Ditambah sambal ulek yang sukses meneteskan keringat.

"Pasti dari acil Tini nih," ucap Nola disela-sela menelan air demi mengusir rasa pedas.

Tory yang sudah berkali-kali melap cairan di hidungnya tidak respons. Ia sibuk menciduk nasi ke dalam piring. Dan ini sudah tambahan ke tiga kalinya.

Terdengar suara pintu kamar papa terbuka. Papa yang baru selesai shalat, langsung menuju dapur di mana Nola dan Tory saling berebut ikan dan cempedak bakar.

Begitu melihat papa, mereka basa-basi menawarkan makanan yang sudah disantap papa tadi siang. Karena tidak berani makan santan terlalu banyak, laki-laki paruh baya itu menyuruh mereka berdua untuk menghabiskan saja.

Tentu saja mangkuk kuah santan dan piring ikan bakar menjadi rebutan. Papa hanya membiarkan sambil sesekali menggeleng dan tertawa kecil. Ia membuatkan jus apel dari buah apel yang diantar pak RT.

Selesai menghabiskan makanan di atas meja. Hening tercipta. Mata kedua bersahabat itu terasa berat. Memang dasar penyakit selepas makan; mengantuk.

Namun, ketika papa menaruh dua gelas jus apel ke atas meja, mata mereka langsung segar kembali. Rangkaian cerita pun ikut berderai. Kali ini papa ikut dalam obrolan. Bahkan ia mengajak untuk berpindah tempat, ke ruang keluarga.

Dengan gelas jus di tangan, Nola menghempas tubuh ke atas sofa depan televisi. Sofa empuk itu mampu membuat rasa nyaman seketika. Menyandarkan kepala ke punggung sofa, membiarkan leher menggeliat di atas empuknya.

Bunyi hempasan map di atas meja membuat Nola langsung duduk tegak. Meletakkan gelas ke atas meja dan meraih map kuning tersebut. Tory yang ikut penasaran, lekas menandaskan isi gelas dan meletakkan ke atas meja. Kemudian pamit pulang.

Hanya papa yang mengantar ke depan pagar. Sementara Nola membuka map perlahan. Memejamkan mata sebentar seraya mengatur napas. Lalu mulai membaca lembaran pertama.

Berlanjut ke lembar selanjutnya dan kehadiran papa mengejutkan gadis itu. Papa duduk di sisi, mengatakan jika asuransi kafe sudah selesai diurus. Banyaknya mantan klien serta rekan kerja yang membantu, membuat semua hanya selesai satu hari.

Mungkin inilah jawabannya. Saat dulu papa mengatakan jika ia bekerja untuk keluarga, meski tidak ada waktu untuk keluarga, tetapi semua rekan bahkan mantan kliennya turut membantu ketika papa mengalami kesulitan. Mereka seperti tidak bosan ketika dimintai tolong.

Nola yang merasa bersalah, segera meminta maaf. Namun, papa menolak permintaan maaf itu. Bagi papa, anaknya tidak bersalah atas apa pun. Justru papa lah yang meminta maaf karena membawa Nola dalam urusan yang bisa menghabiskan banyak waktu. Sementara Nola harus kuliah.

Tiba di lembaran terakhir, Nola mendapati surat hitam di atas putih. Tanda tangan Kavi dan papa sama-sama di atas meterai.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang