Bab 16

173 27 0
                                    

Belum sempat Nola menolak, Kavi lebih dulu menahan erat tangannya sambil memberikan instruksi kepada kating mengenai tugas hari ini yang harus dikumpul besok.

Bukannya tidak ingin melepaskan genggaman Kavi, tetapi entah kenapa dosen ini tidak berniat membiarkan Nola pergi. Matanya memelotot begitu melihat Nola yang berusaha melepaskan tangannya.

"Tunggu!" desisnya tajam.

Mata mahasiswi mana yang bisa terlepas dari pandangan yang mencemburukan?

Nola hanya mampu menyembunyikan wajah. Menatap sepatu kets jauh lebih baik daripada menghadang tatapan mereka. Deruan kata per kata terbang dan hinggap ke telinga. Menyakitkan memang, tetapi bisa berbuat apa? Bagaikan kertas yang digores tinta, siapa yang salah atas goresan tersebut?

Begitu kating paham instruksi Kavi, dosen itu langsung menarik Nola keluar. Langkahnya menggebu seperti sedang diserbu. Menuju basemen palet khusus dosen. Begitu melihat Kavi, petugas parkir yang sedang berkeliling mengecek kendaraan di lantai tiga itu pun langsung paham begitu mendapat tepukan tangan.

Sebuah mobil keluaran Honda berwarna hitam mendecit persis di hadapan Kavi dan Nola. Usai mengucapkan terima kasih kepada petugas parkir yang menyerahkan kunci mobilnya, dosen muda itu langsung tancap gas.

Dengan arahan, akhirnya mereka tiba di rumah Nola. Gadis itu langsung berlari ke dalam. Mendapati papa yang terbaring di sofa depan televisi. Tubuh yang lemah, membuat papa sulit bicara. Matanya hanya memandang Kavi.

Kavi yang berdiri di belakang Nola pun langsung mengusulkan untuk membawa papa ke rumah sakit. Tidak perlu berlama-lama, mereka pun pergi ke rumah sakit.

Tubuh papa kian melemas, membuat Nola berderai air mata. Mulutnya tidak henti meminta papa untuk tetap terjaga. Sesekali ia berkata lirih, memohon agar tidak ditinggalkan.


Seandainya bisa merevisi takdir, mungkin Nola adalah orang pertama yang mengumpulkan revisian. Kehilangan mama tidak bisa digantikan dengan kebahagiaan jenis apa pun. Maka dari itu, Nola tidak mau kehilangan orang tua untuk kedua kalinya.

"Dos ... sen?" tanya papa yang setengah mati menggerakkan bibir di tengah kesadaran yang sisa setengah.

"Dosen, Pa. Dia Kavi, dosen Nola," jawab Nola.

Demi meyakinkan, Kavi segera membenarkan sekaligus memaparkan alasan yang menariknya untuk menolong.

Setibanya di rumah sakit, papa langsung di baringkan di atas brankar menuju UGD. Seorang dokter muda yang sedang bertugas di UGD dengan cepat memeriksa kondisi papa di balik tirai hijau.

Nola terduduk dengan linangan air mata di ruang tunggu. Kavi mengelus pundak, berharap bisa meluaskan rasa sabar gadis itu. Tidak ada yang lain di pikiran Nola saat ini, semua tentang papa.

***

"Aku benci Kavi," ucap Nola seraya menyeret satu kursi plastik dari ruko sebelah ke teras kafe.

Menaiki untuk memasang gembok yang berada paling atas pintu harmonika kafe. Tory yang sejak tadi menatap halaman kafe yang merupakan satu dari belasan ruko yang berderet, langsung mengambil alih. Menyuruh Nola untuk segera turun.

"Ya, bener. Kamu benci Kavi, bukan kuliahnya," sahut Tory yang telah berhasil memasang gembok.

"La, menurutku dengan kamu kuliah, maka kamu telah membahagiakan papamu. Karena itu adalah permintaannya," lanjut sahabat semata wayangnya itu.

Nola duduk di kursi plastik. Kalimat Tory mendadak berotasi di kepala.


Benar.

"Kalau gitu, aku harus lulus kuliah tiga tahun, ya, Tor?"

"Dua tahun kalau bisa!" kelakar Tory yang mengundang senyum manis Nola.

Langit mulai menghitam, layaknya hati yang mati ditinggal kenangan. Dua bersahabat itu memutuskan untuk pulang. Namun, Nola berhenti, berdiri memandang kafe.

Neon box bertuliskan Kafe 0A telah padam untuk hari ini, esok, dan entah sampai kapan. Keputusan ini adalah keputusan bersama. Meski kafe adalah sumber keuangan, tetapi kesehatan papa adalah yang terpenting. Apalagi sekarang papa harus rawat inap di rumah sakit, Nola tidak akan sanggup bila harus mengelola kafe sekaligus mengurus papa.

Sedangkan untuk membayar jasa orang kepercayaan tidaklah murah dan mudah. Sudah banyak mantan klien papa yang ditipu orang kepercayaan. Namun, tidak sedikit juga yang berhasil melangsungkan bisnisnya sebab sangat terbantu. Dan papa termasuk salah satu orang yang tidak mau mengambil risiko besar. Biaya berobat saja, papa akhirnya mengalah, membuat BPJS.

Terbiasa ditanggung pihak asuransi swasta, menjadi alasan papa untuk sempat menunda menggunakan BPJS. Untungnya tidak ada kata terlambat.

Kafe yang berdiri di hadapan Nola sekarang, hanyalah kafe yang berdiri belum genap tiga tahun. Kebanyakan pelanggannya adalah anggota Tory. Sahabatnya yang satu itu memang seperti dewa penyelamat.

"La, bisa cepet dikit gak? Aku udah ditelepon bunda nih," ucap Tory dari atas motor.

Hampir saja Nola lupa kalau Tory ada janji untuk mengantar bunda ke travel. Dinas luar kota memang harus dijalani. Meski sebenarnya berat juga untuk bunda meninggalkan Tory sendiri di rumah. Menjadi orang tua tunggal sejak Tory berusia tiga tahun, menjadikan ibu dan anak itu lengket. Tidak ada yang menyangka kalau Tory si rebel akan menitikkan air mata ketika bundanya dinas luar, walau hanya dua hari saja.

Dan hal itu juga yang menjadikan Tory dekat dengan Om Nugi, papa Nola. Bersama Om Nugi, ia bisa merasakan kehangatan kasih sayang seorang ayah yang sulit untuk diingatnya.

Karena malam ini bakal sendiri di rumah, Tory diajak teman-teman untuk begadang main PS, tetapi lebih memilih menemani Nola di rumah sakit. Ia mengantarkan Nola pulang untuk menyiapkan keperluan papa sebelum berangkat mengantar bunda.

Tepat pukul sembilan malam, mereka tiba di rumah sakit. Berjalan di sepanjang koridor sambil mencipta berbagai candaan. Humor adalah obat paling ampuh bagi mereka yang diserang kesedihan. Bila masih bisa tertawa, artinya dosis kesedihan sudah mulai berkurang. Seperti Nola pada malam ini. Tory menatap lekat tawa gadis yang memiliki tahi lalat kecil di ujung bibir bawah sebelah kiri.

Ada perasaan istimewa hanya dengan mendengar tawa yang pecah itu. Sudah lama Nola tidak seleluasa ini dengan dirinya sendiri. Tanpa sadar Tory meraih pundak Nola untuk memeluk. Membisikkan kata rindu.

"Ehem!" Deheman seseorang dari ujung koridor sontak membuat keduanya menoleh.

Kavi!

Ya, Kavi berdiri di salah satu tiang koridor dengan bungkusan di tangannya.

"Kavi? Nengok Om Nugi juga? Ayo masuk," ajak Tory yang berjalan menuju Kavi, sekaligus meneruskan langkah ke ruang rawat inap papa bersama dosen aneh itu.

Nola hanya melongo beberapa saat sebelum Kavi muncul di ambang pintu, menyuruhnya masuk. Dengan langkah menderap sekaligus terheran-heran, Nola masuk ke ruangan.

Sebelum papa terjaga, Nola cepat-cepat menarik tangan Kavi. Ia harus mempertanyakan ini. Sementara Tory duduk dengan kaki kiri memangku kaki kanan menikmati martabak legenda di Kota Tepian dari Kavi, terlihat kaos kaki yang beda sebelah. Kelakuan!

"Nola?"




Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang