Mata yang kecil itu memancarkan binar sebuah pengharapan. Sedangkan laki-laki di hadapan, tidak bisa menjanjikan apa-apa. Akhirnya Nola menelungkupkan wajah di balik kedua tangan yang melipat di atas meja.
Entah sudah berapa puluh kali Tory melontarkan kata maaf. Terus terang saja, ia memang tidak bisa membantu Nola untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Dan mereka berdua tahu, tidak mungkin meminta bantuan kepada Kavi yang tengah sibuk memasak di dapur sana.
"Seandainya Moira ada," gumam Nola.
Diam-diam gadis itu merindukan sosok garang Moira yang harus menjalani KKN sejak awal semester genap. Semakin berjalannya waktu, kegiatan Moira sangat menyita waktu. Ia bahkan tidak bisa menyisakan sedikit untuk Nola dan Tory yang hampir setiap malam menunggu di kafe. Meski begitu, mereka mencoba untuk saling mengerti.
Malam semakin larut, baru satu mata kuliah yang berhasil diselesaikan. Sedang dua lagi masih menanti untuk disentuh. Tory mencoba untuk mencari jawaban dari mesin pencari. Lalu mengirimkan tautan ke WA Nola.
Empat mata kuliah untuk besok, semuanya berbuah tugas. Otak pun mulai memanas. Diikuti mata yang sudah memerah. Tangisan memang tidak akan menyelesaikan suatu perkara. Namun, apabila air mata sudah dikuras, maka akan lebih memudahkan hati untuk mencari solusi.
"Makan dulu," ucap Kavi yang tiba-tiba datang membawakan roti bakar cokelat keju dan susu hangat cokelat.
Seperti sudah terbiasa, usai mengucapkan terima kasih tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari kertas jawaban, Nola menikmati roti. Air mata berjejal kembali ke dalam sudut jiwa.
Semua karyawan diminta Nola untuk pulang. Ia hanya menyisakan Kavi untuk menaikkan bangku-bangku ke atas meja. Juga mengepel lantai teras yang belum dipel.
Tory mendebat, ia tidak percaya jika Nola masih saja menyuruh-nyuruh Kavi di kafe. Bahkan di saat jam-jam lelah seperti ini. Sebenarnya, jam lelah adalah jam rawan. Karena sisa-sisa tenaga tidak bisa dipakai dengan cermat untuk menguasai keadaan.
Mata laki-laki itu memelotot sempurna. Meminta Nola menarik kata-katanya kembali sebelum Kavi melaksanakan titah. Namun, gadis itu menggeleng.
"Dia sudah buat aku sengsara di kampus!"
"Tapi gak gini caranya, La! Gila, ya kamu. Kasihan Kavi. Sudah masak, masih disuruh ngepel. Ngepel kan tanggung jawab bersama. Kamu lupa kah?" ucap Tory tak kalah sengit.
Ia segera berdiri, hendak melangkah membantu Kavi yang sudah mengangkat beberapa kursi di pojok kafe.
"Apa kamu lupa gimana menderitanya aku karena dia, Tor! Tugas-tugas unfaedah yang harus dikumpul dalam waktu singkat!" Nola ikut berdiri.
Suara yang lantang mengundang Kavi untuk ikut mendengar. Namun, dosen itu hanya berdiri di tempat saja. Sedangkan Tory memilih untuk melanjutkan langkah setelah menoleh sedikit ke arah Nola. Ia membantu Kavi dengan segera mengambil ember dan alat pel.
Nola menghempaskan duduknya. Mengambil sepotong roti bakar lagi. Mengunyah dengan ganas. Mata mulai memanas, perlahan-lahan pandangan mulai kabur oleh genangan air mata. Dalam satu kali kedip, habis sudah membasahi pipi.
Masih dengan roti bakar yang di tangan, Nola menelungkupkan wajah di atas lengan yang berlipat di meja. Tangisnya pecah, tetapi tidak meluluhkan hati Tory untuk tetap membantu Kavi.
Justru laki-laki itu melarang Kavi untuk mendekati Nola. Mereka fokus pada lantai teras yang meninggalkan banyak jejak pengunjung akibat hujan deras sejak sore.
Satu sentuhan hangat di bahu, memaksa Nola untuk bangkit. Senyum yang sebelumnya tidak pernah terukir itu, kini menghadang mata sembab Nola. Sebuah pelukan pun terhambur menjadi satu.
"Sini aku bantu," kata Moira setelah melepas peluk.
Ia menarik satu kursi, duduk bersisian menyelesaikan deretan tugas yang harus sudah ditatap oleh dosen esok hari. Sebuah perasaan ingin membantu yang menyeret Moira untuk datang ke kafe. Bukan berarti ia tidak lelah dan sudah lepas dari laporan harian.
Moira merasa ada sebuah perasaan yang tenang jika sudah menemui dua sahabat barunya itu. Dengan begitu, ia baru mampu meneruskan laporan harian yang harus dibubuhi tanda tangan Kavi pada setiap lembarnya.
Sudah pukul dua dini hari. Nola meminta Kavi untuk pulang, tetapi dosen itu menolak. Mereka duduk di satu meja yang sama. Kavi hanya menyaksikan Nola dan Moira yang membaur seperti tidak pernah berseteru sebelumnya. Sementara Tory hanya memeriahkan suasana dengan suara sumpah serapah akan gim online di gawai.
Ketika tugas Nola sudah tersisa setengah, giliran Moira menulis laporan harian. Melihat waktu yang bergulir semakin cepat, Kavi pun turun tangan. Membantu keduanya agar cepat selesai, karena jujur saja dosen itu tampak sangat lelah. Kelopak mata yang hampir menutup tidak bisa dirayu lagi dengan segelas kopi dan sebatang rokok.
Tepat pukul tiga dini hari, akhirnya Nola dan Moira berhasil menyelesaikan tugas masing-masing. Mereka berpisah di tempat parkir. Tory sempat meminta Kavi untuk pulang saja tanpa mengantar Nola, karena gadis itu akan diantarkannya. Namun, Kavi menolak. Ia merasa bertanggung jawab. Sudah semestinya menepati janji kepada papa untuk mengantar Nola pulang setiap malam dengan selamat.
Sorot mata kucing pada aspal di tengah jalanan kota, memandu mobil untuk melesat tepat di jalur. Di bawah lampu jalanan, mobil Kavi terlihat seperti capung dengan kecepatan terbang yang tinggi.
Nola yang mulai dihinggapi rasa kantuk, tidak berani membuka mata. Hanya untaian zikir yang dirapal dalam hati. Ketika merasa Kavi menginjak rem, ia memberanikan diri untuk melirik.
Rahang yang tampak mengeras dan pegangan tangan di kemudi yang erat, menggambarkan bukan rasa kantuk yang sedang diderita Kavi. Tidak menunggu lagi, Nola segera berteriak meminta dosen itu melambatkan laju kendaraan.
"Untuk apa? Mau balas dendam, kan? Kalau balas dendam itu bukannya harus mati dulu?"
Jantung Nola seolah berhenti berdetak. Masih dengan mata menutup karena mobil semakin laju, gadis itu berteriak minta maaf. Berulang-ulang kali bahkan diiringi air mata.
Tangannya yang memegang erat seat belt, seketika mengayun dan hinggap di bahu Kavi. Mencengkeram sekuat tenaga tanpa lolongan permintaan maaf, karena sudah tidak sanggup membuka mulut.
Sedang tangan satunya berusaha meraba tombol di daun pintu, hendak membuka jendela. Namun, sayangnya Kavi lebih dulu menguncinya.
"Kamu harus mati kalau mau balas dendam." Suara berat Kavi membuat Nola semakin menangis kencang.
Hingga ban dipaksakan berhenti, menimbulkan suara decit di atas aspal yang masih saja menyimpan sisa-sisa air hujan. Teriakan Nola membuat Kavi menginjak rem sekuat tenaga. Tubuh keduanya terdorong ke depan.
Jika ini akhirnya, maafkan Nola, Pa. Tidak ada yang Nola siapkan untuk papa. Berjuanglah, Pa. Berjuang untuk hidup, meski tidak ada lagi Nola di dunia ini. Hiduplah tanpa alasan, seperti cinta yang bisa tumbuh meluas tanpa harus ada syaratnya. Nola sayang papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]
Teen FictionBlurb: Kata Tory, Nola, sahabatnya si paling "gak enakkan" itu memiliki "dosa" di kampus Garuda Nusantara. Benarkah itu? Apa sebenarnya yang Nola rasakan akan kehadiran "si dosa"? ========================= Dimulai: 1 September 2022 Tamat: 30 Novemb...