Bab 4

315 40 4
                                    

"Sudah? Yok kantin," ajak Tory yang sejak tadi duduk menunggu Nola.

Ia bergegas berdiri seraya memasang jaket. Matahari di atas sana, enggan bersembunyi. Bahkan membuat para kumpulan awan berlari terbirit-birit. Hanya langit biru yang mampu bersanding dengannya. Padahal masih pukul sebelas.

Nola yang baru saja menutup pintu ruangan Bagian Keuangan itu segera mengangguk. Entah kenapa langkahnya terasa berat. Ada perasaan tidak rela meninggalkan amplop putih di sana. Dana sebesar itu harus dikembalikan, walaupun papa mengakuinya bahwa uang itu diambil dari tabungan.


Iya, tabungannya orang.

Mereka pun berjalan bersisian. Keluar dari gedung utama menuju pintu selatan yang terletak di sisi belakang. Melalui pintu selatan, mahasiswa bisa mengakses kantin dengan berjalan sejauh delapan meter ke arah dalam gedung. Pintu kaca besar yang terlihat ketika membuka pintu selatan itu pintar sekali merayu mahasiswa. Sehingga membuat banyak penjual di dalamnya meraup keuntungan.

Tory mendorong pintu kaca yang bertuliskan Pemadam Kelaparan. Seketika gelombang gemuruh langsung merambat. Suara sendok beradu dengan piring terdengar mengiringi pembicaraan yang tidak bisa ditangkap sebab terlalu banyak yang serupa.

Sayangnya, tidak akan ada aroma makanan yang tercium yang biasanya bisa menggugah selera. Sebab puluhan kipas penyedot asap sekaligus agar sirkulasi udara senantiasa segar, terpasang mengelilingi dinding tepat di atas jendela-jendela mati.

Jejeran meja dan kursi kayu di dalam ruangan yang persis sebuah aula ini selalu bisa memanggil mahasiswa untuk menempatinya. Mereka tidak akan membiarkan mahasiswa dari berbagai jurusan itu menikmati santapan lezat sambil berdiri.

Nola menunjuk satu meja di dekat kios penjual siomay. Tanpa pikir panjang, Tory setuju. Mereka melangkah bersama.

Seporsi siomay dan seporsi roti panglima keju sudah dipesan. Lengkap dengan dua gelas es jeruk.

Nola memutar-mutar gelang simpainya. Gelang khas Kalimantan yang didapatnya ketika berkunjung ke rumah nenek di Kalimantan Selatan ketika masih SD. Gelang simpai merupakan gelang khas Kalimantan yang terbuat dari akar pohon jangang. Gelang itu tidak bisa dipindah tangankan sebab langsung dianyam di tangan.

"Ini pesanannya," kata pelayan kantin mengejutkan Nola.

"Ada apa lagi sih?" desis Tory curiga. Sementara tangannya sibuk menata piring siomay dan segelas es jeruk.

Giliran Nola menyambut piring dan gelasnya, setelah itu mengaduk es jeruk untuk kemudian meneguknya setengah gelas. Ia mulai mencubit roti panglima atau roti kasur khas Samarinda. Keju yang tumpah ruah, membuatnya harus meletakkan selembar tisu di atas meja.

Setelah melap sisa krimer kental manis di kedua sisi bibir, Nola mulai bercerita, "Semalam aku dengar papa nelepon seseorang. Aku gak tahu siapa. Yang jelas kedengarannya papa pinjam uang orang itu. Karena papa bilang secepatnya diganti."

"Nah! Papamu aja berjuang untuk membahagiakanmu, masa -"

"Aku mau rawat papa, Tor! Cuma itu. Aku gak harus kuliah."

"Kamu inget waktu papa kamu bangun kafe?" Kalimat Tory berhasil membawa Nola ke masa lalu.

Saat ia dan papa harus kehilangan mama secara mendadak, terlebih Nola yang beberapa hari setelah itu harus kembali tertancap sembilu. Menerima kenyataan, papa sebagai tulang punggung di PHK.

Sejumlah uang asuransi jiwa mengalir sesuai janji di kertas perjanjian bermeterai. Papa mendadak menjadi orang yang paling menyesali perbuatannya. Sebab ia terlalu fokus pada jiwa, tetapi tidak pada pendidikan. Seharusnya ia juga menabung sejumlah kesepakatan agar tidak lagi memikirkan sekolah Nola hingga mendapat gelar sarjana, apabila perlu hingga mendapat gelar magister dan doktor.

Berangkat dengan niat baik, maka berdirilah kafe "0A" di jajaran ruko yang kini sudah menjadi hak miliknya. Kucuran dana dari asuransi tersebut gagal di titip ke bank. Uangnya digunakan sebagai modal.


Sebenarnya jauh dari cukup, tetapi papa tidak pernah gagal membuat para mantan klien dan teman-temannya untuk membantu. Baik berupa dana atau tenaga. Untungnya dana yang dicatat sebagai utang modal sudah dilunasi, karena ada kas tersendiri khusus utang modal.

Pontang-panting papa tidak cukup sampai di situ. Ia harus bergerak lebih dulu, karena Nola masih sibuk mengurusi air matanya. Mencoba memasak dan selalu gagal. Melihat semangat papa, mengundang Nola untuk membantu.

"Woi!" kejut Tory, "kenalin, temenku," lanjutnya.

Nola tersentak hingga membuat roti kejunya melorot dari tangan. Ia tersenyum sebentar, kemudian membersihkan meja yang bertabur keju.

"Gak tau, aku gak ngerti. Google aja deh," ucap Tory pada temannya yang entah namanya siapa, sebab sejak tadi Nola sibuk berkelana ke masa lalu.

"Kalau kamu tahu?" tanyanya pada Nola.

Tidak peduli sikutan Tory, ia tetap memberikan buku kepada gadis cantik yang hari ini membiarkan rambut panjang gelombangnya tergerai.

"Boleh aku lihat dulu?"

Ah, ternyata soal Pancasila. Dan kebetulan Nola baru mempelajarinya tadi pagi. Tanpa menunggu lama, ia langsung menuliskan jawaban di secarik kertas yang disobek dari buku yang baru diambilnya dalam tas.

Hanya lima menit, Nola mengembalikan buku tersebut beserta kertas jawabannya. Dengan semringah teman Tory menerimanya. Lalu pamit pergi setelah mengucapkan terima kasih.

"Kebiasaan," gerutu Tory.

"Apaan sih. Aku kan suka membantu."

"Membantu sih membantu, tapi lihat-lihat juga kali," sindir Tory seraya berdiri hendak membayar.

Sementara Nola melanjutkan mengunyah rotinya yang tersisa sepotong.

"Wah, sinting. Sudah dibantu, gak dibayarin makanannya. Gak tahu terima kasih," gerutu Tory begitu tahu temannya tidak membayarkan makanan Nola.

"Mbak, berapa -" Nola berdiri menyusul Tory ke depan kasir.

"Santai, aman!" sahut Tory cepat seraya menebar senyumnya.

Di sudut yang berbeda terdengar keributan. Dari sela-sela kerumunan, Nola dan Tory bisa melihat perempuan pengganggu itu lagi.

"Moira," bisik Nola.

Tory menoleh, memberi isyarat dengan alisnya yang berkerut.

"Nama cewek itu. Yang kemarin ganggu aku juga," jawab Nola.

Tory mengangguk-angguk seraya tersenyum jahil. Dengan cepat Nola menariknya keluar kantin. Sayangnya mereka kembali harus berhadapan dengan Moira di ambang pintu keluar yang lebih kecil dari pintu masuk. Sebab Moira lebih dulu menghadang langkah Nola dan Tory.

"Jangan takut gitu dong mukanya," kelakarnya.

Nola menoleh ke belakang, tempat perempuan yang baru saja menjadi bulan-bulanan Moira. Ia duduk tertunduk. Jelas sekali terlihat jika rasa malu mengelilinginya. Bahunya berguncang hebat, menambah lebar senyuman Moira.

"Oh, dia. Kamu gak mau kan kaya dia? Kena -" Moira melayangkan tangannya seperti hendak menampar, tetapi mendaratkan di bibirnya sendiri seraya mengucap, "Ups!"

Tanpa disadari Nola sudah memejamkan mata. Lagi-lagi menambah keras tawa Moira beserta anggotanya yang sejumlah pemain futsal.

"Aku ada tugas Ilmu Gizi. Keterangan soal dan yang lainnya ada di dalam flashdisk. Besok pagi harus dikumpul. Jadi kalau bisa malam ini harus selesai," ucapnya tidak mau tahu seraya menyodorkan diska lepas kepada Nola.



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang