Bab 68

69 4 0
                                    

"Nola, makan siang bareng?" tawar Kavi tepat setelah mengakhiri kelas.

Seolah tidak ingat masih berada di depan kelas, Kavi berdiri menanti jawaban. Ia hanya bergerak untuk melepas kacamata dan menyimpan ke dalam saku blazer.

Banyak pasang mata yang memicing tajam ke arah Nola yang entah kenapa malah mengedarkan pandang, alih-alih menjawab. Menggigit bibir bawah sebelum akhirnya mengangguk yang dilapisi senyum manis.

Segala jenis umpatan kabur seiring langkah mereka yang meninggalkan kelas. Nola tidak tahu persis. Sepertinya Kavi sudah tidak dikagumi seperti dulu lagi. Atau mereka takut akan hukuman kampus? Entahlah.

Berjalan bersisian menuju kantin. Dengan malu-malu gadis itu menyisipkan uraian anak rambut yang tertiup angin. Meski sudah berkali-kali makan bersama di kafe, tetapi hati Nola tetap tidak bisa menghindari debaran kencang. Rasanya seperti sedang diterpa badai.

Menyusuri koridor dengan saling melempar canda dan tawa. Ketika tatap bertemu, bagi keduanya waktu terasa telah berhenti. Lalu sama-sama membuang senyum dan melanjutkan langkah.

Sepanjang langkah, tidak ada lagi suara bising, tatapan, dan bahasa isyarat lainnya yang saling menyahut. Semua tampak tenang dan damai. Mungkin juga, mahasiswi itu telah menemukan kesibukan baru selain mengagumi Kavi.

Tiba di kantin, mereka sepakat memesan nasi ayam kremes dan es jeruk. Sambil menikmati makanan, mereka membicarakan banyak hal. Namun, tidak untuk nilai mata kuliah dan tentang perkuliahan lainnya.

Perjanjian yang dibuat Tory mampu merobohkan dinding kokoh di antara mereka berdua. Terutama Nola. Dengan musnahnya niat untuk membalas dendam, seperti ada yang menariknya untuk dekat dengan Kavi.

Yang tadinya makan tanpa takut berlepotan, sekarang Nola menyisipkan tisu di tangan kiri. Sesudah tiga empat kali suapan, pasti gadis itu menyapu bagian dagu dengan tisu. Walau tidak ada yang tertinggal di sana. Begitu juga dengan kecepatan kunyahan, tidak peduli sedang lapar atau biasa saja, Nola pasti mengunyah secara perlahan.

Anehnya, perut dan hati saling mengerti. Biasanya kalau sedang lapar, perut pasti meronta menimbulkan bunyi gemercik yang bisa terdengar siapa saja yang berada dekat.

Seperti kali ini, saat tersedak sambal mangga, Nola tidak mengeraskan suara batuk. Ia langsung menyedot es jeruk hingga batuk tidak lagi mengganggu.

"Gak apa-apa kok," jawab Nola tersipu karena Kavi tampak khawatir.

Momen mendebarkan itu terpaksa harus terputus, sebab gawai Nola tengah berdering. Nama papa tertera di layar. Gadis itu langsung menggeser ikon hijau ke atas.

Air mukanya langsung berubah seketika. Begitu menutup telepon, gadis itu langsung menumpahkan tangis. Saat itu juga Tory datang.


Tory yang salah paham, langsung membentak Kavi. Tentu saja dosen itu tidak terima. Ia berusaha menjelaskan saat Tory tengah meredakan tangisan Nola. Dan penjelasan itu langsung mendapat anggukan dari Nola.

"Papa kamu kenapa?" tanya Tory dan Kavi berbarengan.

Nola berusaha menjawab meski terputus-putus akibat sesenggukan. Mendengarnya, dua orang laki-laki itu langsung berbagi tugas. Tory mengantar Nola ke rumah sakit, sedang Kavi berusaha membujuk rekan dosen untuk mengatur jadwal kuis susulan untuk Nola.

Tidak berlama-lama, dan tidak memedulikan perut yang masih ingin nasi ayam kremes di piring, mereka langsung berpencar. Tory dan Nola menuju rumah sakit.

Dengan kelihaian Tory mengendarai sepeda motor, mereka tiba sepuluh menit kemudian. Langsung berlari menuju UGD. Di sana sudah ada pak RT yang tadi menelepon menggunakan gawai papa.

Setiap pagi, papa dan pak RT yang sudah pensiun itu memang kerap beraktivitas di luar rumah ketika pagi. Entah untuk olahraga, mencabut rumput liar di taman kompleks, menanam bunga-bunga di pot yang tidak terpakai, atau hanya mengobrol di pinggir jalan.

Nola menghambur tangis ke atas tubuh papa yang masih lemas. Ia baru saja siuman. Tory segera mengelus punggung sahabatnya. Meminta untuk lebih sabar lagi.

***

Seperti biasa, pagi-pagi sebelum berangkat kuliah, Nola menyuapi papa bubur ayam buatan sendiri. Sepulang dari rawat inap, kondisi papa semakin menurun.

Tadinya Nola bersikeras agar papa dirawat sampai kondisinya benar-benar sehat. Namun, pihak rumah sakit menyarankan agar dirawat jalan saja. Di samping itu, papa yang jenuh selama dua hari di kamar inap itu, merayu Nola untuk menaati peraturan rumah sakit.

"Kuliahmu gimana?" tanya papa.

Wajah yang kuyu tidak bisa berbohong di hadapan Nola. Gadis itu sempat terpaku beberapa detik sebelum dikejutkan papa.

"Lancar, kuliah lancar, sebentar lagi naik semester enam, KKN, skripsi, wisuda," jawab Nola seraya tersenyum.

Gadis itu terpaksa berbohong. Belakangan ini, ia kehilangan beberapa nilai A dalam tugas. Juga beberapa kuis susulan yang tidak memungkinkannya mendapat A. Sementara banyaknya nilai A adalah tiket emasnya untuk terus bertahan di percepatan semester.

Menyuapi papa saat sarapan dan makan siang, membuatnya harus bisa merelakan jam kuliah yang harus terpotong tiga puluh menit di awal.


Papa mengangguk-angguk, ia tahu perjalanan Nola masih panjang. Skripsi bukanlah hal mudah, bukanlah hal yang bisa diselesaikan dalam waktu satu atau dua hari. Namun, demi menjaga api semangat anak gadisnya, ia turut berbahagia sebagaimana air bahagia pada ucapan Nola.

Papa menyudahi makan pada suapan ketiga. Bukan karena sudah kenyang, tetapi memang sudah ditakar. Nola tahu bubur ayam kesukaan papa, dan ia juga tahu kalau papa pasti ingin melahapnya habis. Namun, apa daya, cairan yang masuk ke dalam tubuh benar-benar tidak boleh kurang atau lebih.

Nola buru-buru membawa mangkuk dan gelas ke dapur, beralasan hendak turun kuliah. Padahal ada air mata yang hendak jatuh tanpa harus disaksikan. Meletakkan begitu saja mangkuk dan gelas dalam bak pencuci piring. Berlari menuju kamar mandi.

Dalam kamar mandi, air mata langsung menyaru di bawah guyuran shower. Tidak ada bayangan lain di mata Nola selain tubuh papa yang kian kehilangan bobot. Tampak ceking dan sayu. Ia menangis sepuasnya. Melampiaskan teriakan dalam bak mandi yang penuh terisi.

Mama! Papa, Ma! Nola harus gimana? Papa sakit, Ma!

Ia merasa hatinya begitu lemah tanpa kehadiran mama. Mama yang selalu bisa menemukan solusi dan menguatkan hati. Kini hati Nola telah bertambah kesedihannya. Rindu akan mama yang hadir itu membawa pilu yang sama hebatnya. Nola yakin, gadis usia dua puluh dua tahun yang mana yang kuat dengan terpaan rindu semacam ini.

Mengantup-antup jidat ke dinding keramik kamar mandi, berharap terbangun dari mimpi. Namun, hangatnya air mata yang masih mengalir meyakinkan bahwa inilah kenyataan.

Setelah air mata habis terkuras, Nola beranjak. Bersiap-siap ke kampus dan tidak lupa memesan ojek motor. Ia tidak lagi berangkat bareng Tory, tidak mau mengorbankan kuliah sahabatnya. Meski sebenarnya Tory sama sekali tidak keberatan untuk datang terlambat bersama.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang