Bab 24

128 14 0
                                    

"Kenapa?" desak Kavi yang masih berdiri di balik pagar.

"Saya, saya, saya dari toilet. Gak tahu kalau ada telepon," sahut Nola dengan kedua tangan di depan perut saling meremas.

"Bukan. Kenapa kamu gak bisa buka pagarnya?"

Hah?

"Oh, pagar. Tunggu sebentar." Perlu sepersekian detik untuk Nola mengerti ucapan Kavi.

Ia berlari mengambil kunci gembok yang tergantung di rak dinding ruang keluarga. Kembali berlari untuk membuka pagar. Pagar sudah terbuka, tetapi mereka masih berdiri berhadap-hadapan tanpa ada yang mau bersuara.

"Mau tatap saya lebih lama lagi? Silakan. Nih," ujar Kavi seraya memperbaiki posisi bergaya bak seorang model.

Dih!

Dengan sekejap Nola langsung menyuruh dosen itu untuk masuk. Bukan masuk ke rumah, melainkan hanya duduk di bangku teras.

Sama-sama melirik melalui ekor mata, hingga Kavi berdehem. Satu kali, dua kali, tiga kali. Nola menoleh tidak mengerti.

"Haus," ucap Kavi pada akhirnya seraya mengelus leher dengan tatapan tidak berpaling dari langit.

Haus? Sudah ke rumah orang malam-malam, gak bawa apa-apa. Minta minum pula! Hih! Nyusahin!

Dengan mengentak kaki Nola masuk mengambil sebotol kopi kemasan yang memang sengaja disimpan kalau-kalau harus bergadang karena tugas. Gadis itu kembali ke teras, semua umpatan kembali ditelan hingga lambung terasa penuh.

Meletakkan botol kopi ke atas meja yang berada di tengah-tengah antara kursi yang tengah mereka duduki. Setengah botol habis sudah berpindah ke perut Kavi. Namun, mereka masih sama-sama berdiam diri.

Hanya jangkrik yang mampu bersuara dengan suara cemprengnya. Dan terus bersahutan dengan sesamanya.

Nola menunduk memainkan gelang simpainya. Sedangkan Kavi masih memilih memandang langit yang malam ini menampung bulan purnama. Sesekali dosen itu menyapu pemandangan sekitar. Ketika tatap mereka bertemu, masing-masing mencari benda untuk membuang tatapan.

"Masak apa tadi?" tanya Kavi pada akhirnya.

Kepo! Sayangnya kalimat itu hanya sampai tenggorokan. Nola tentu memilih kalimat yang lebih baik untuk meluncur di bibir.

"Pesan antar tadi," jawab Nola seadanya.

"Oh. Padahal yang saya tanya sih menunya."

Nola memelotot, tidak tahan lagi dengan dosen yang duduk dengan kaki kanan memangku kaki kiri itu. Segera berdiri menanyakan arti kedatangannya kemari. Dengan berkacak pinggang, Nola leluasa melempar pertanyaan dengan suara yang tertahan, nyaris berbisik.


Kavi ikut berdiri, tubuh tegapnya membuat kobaran api amarah di sekitar Nola langsung padam. Seperti anak kucing yang didekati, Nola menciut. Dosen itu berjalan mendekat, dekat, sangat dekat.

"Saya pulang dulu. Terima kasih, selamat malam."

Jantung Nola masih berpacu dengan waktu, saat dosen itu sudah keluar dari pagar dan melesat dengan sepeda motornya.

Kaviiiiiii!

***

Getaran ponsel merambat dalam mimpi. Nola menikmati getaran itu bagai lagu nina bobo yang mengantarkan ke tahap mimpi selanjutnya.

Tidak berselang lama, gedoran pintu juga ikut merambat. Menghiasi mimpi dengan suara ketukan yang kasar dan tak berjeda.

"Nola."

Seperti sakelar lampu yang ditekan, panggilan namanya membuat mata Nola langsung terbuka.

"Nola, kamu sakit? Atau kuliah siang?"

Nola pun melompat dari kasur, mencari ponsel yang menunjukkan pukul tujuh. Aliran darah mengalir seperti tidak berarah, lutut terasa lemas. Hingga terjatuh ketika menapak menuju kamar mandi.

Cepat-cepat ia berteriak jika dirinya baik-baik saja kepada papa yang terdengar khwatir. Sekalian minta tolong untuk memesankan ojek motor, sebab Tory lebih dulu memberitahu lewat WA. Jika tidak bisa menjemput sebab harus mengantar bunda dan tiba di kampus pukul tujuh empat puluh.

Usai mandi yang hanya memakan waktu tiga menit, Nola langsung mengenakan pakaian dan meraup laptop serta buku-buku di atas meja untuk dimasukkan ke dalam ransel.

Masih dengan roti selai ditangan yang baru digigit seperempat, Nola pamit. Saat memasang helm, papa dengan gerakan cepat memasukkan kotak bekal yang berisi setangkup roti selai ke dalam ransel.

Betapa gadis itu memburu kang ojek selama di perjalanan. Bila di kota lain yang disalip hanya ratusan motor dan mobil pribadi, maka di Kota Tepian, terutama daerah rumah Nola, yang disalip adalah truk-truk besar, kontainer, dan truk yang membawa ban-ban besar milik dump truck, sang perkasa di tengah kolam berlian hitam. Ban yang diameternya bisa melebihi tinggi sebuah rumah, maka tidak heran jika bisa menghabiskan isi perut di pulau ini.

Dan tibalah mereka di kampus Garuda Nusantara. Nola berlari menuju kelas yang akan dimulai sekitar lima menit lagi.

Tepat di depan pintu kelas yang tertutup, Nola yang masih tersengal, memperbaiki penampilan. Rambut yang gagal disisir dengan jemari, langsung diikat tinggi. Untungnya sebotol parfum menjadi penghuni tetap ransel. Buru-buru menyemprotkan aroma floral ke sekujur tubuh.

"Permisi."

Nola menoleh. Kavi!

Usai mengusir udara yang tercemar parfum dengan tangan, dosen itu bertanya dengan isyarat alis terangkat. Tangannya menggantung di udara hendak membuka gagang pintu. Nola mundur selangkah mempersilakan Kavi melangkah lebih dulu.

Lalu bersandar ke dinding. Menguatkan telinga juga hati. Teman-teman pasti semakin geram apabila Nola tampak mengekor Kavi. Apalagi tugas semalam tidak satu pun yang dikirimnya karena ketiduran selepas Kavi pulang.

Satu menit kemudian, barulah berani masuk kelas. Sesuai dugaan, semua mata langsung menyorot tajam. Desis sana sini terdengar seperti riuh angin ketika sedang tour menggunakan sepeda motor.

Selepas membuang napas, Nola melangkah menuju tempat duduk yang tersisa di bagian depan. Depan meja Kavi.

"Kamu telat." Ucapan dosen itu menghentikan aktivitas Nola yang baru saja mengeluarkan buku dari dalam tas.

"Presentasi tugas," lanjut Kavi enteng seraya menutup buku kehadiran mahasiswa.

"Ta - tapi tugasnya bukan presentasi," elak Nola.

"Saya bilang presentasi tugas. Bukan tugas presentasi."

Nola sempat terdiam sejenak, meyakinkan telinga kalau-kalau salah mendengar. Lalu berjalan lambat dengan tatapan berporos pada Kavi. Tahu sedang ditatap, Kavi malah memburu meminta cepat.

Sungguh bukan waktu yang tepat untuk tampil di depan kelas. Tanpa riasan, tanpa pilihan baju yang bagus, bahkan tanpa menyisir rambut. Nola coba mempresentasikan tugas dalam laptopnya.

Kegugupan berhasil menghasilkan suara yang lebih pelan dari biasanya. Nola mendapat protes dari teman-teman yang sebenarnya tidak ikut memerhatikan. Namun, apa boleh buat, untuk apa bersuara nyaring kalau tahu sedang tidak disimak isi presentasinya. Nola lanjut hingga selesai tanpa memedulikan protes yang kian lama kian membadai.

Begitu Nola kembali duduk, Kavi berdiri dan malah dilempar pertanyaan yang menggemparkan seisi kelas.

"Kalian pacaran?"

"Saling suka?"

"Gimana rasanya dikejar Nola?"

"Nola, bagi info dukun mana yang kamu pakai?"

Entah keberanian dari mana mahasiswa mempertanyakan hal tersebut. Hal yang sama sekali ranah pribadi seseorang. Tidak tahan mendengar lanjutan pertanyaan-pertanyaan yang begitu kejam, Nola berlari ke luar kelas tanpa disusul Kavi.

Laki-laki itu berdiri dengan gagah menghadang pertanyaan.








Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang