Bab 3

341 43 2
                                    

"Mahasiswi saya beragam usianya," jawab Kavi dengan tatapan yang terpaku pada layar laptop di depan Nola.

Tidak mau menyela, Nola hanya berani melirik Kavi. Namun, rupanya lirikan itu dilihat perempuan yang berdiri di sudut meja. Membuatnya membentak hingga membuat Nola hampir jantungan.

"Apa-apaan kamu! Ini ruang dosen! Saya minta kamu keluar," bisik Kavi marah.

"Kamu gak boleh giniin aku! Kenapa kamu belain dia!"

"Moira, tolong keluar sekarang. Karena kamu tidak berkepentingan di sini," tegas Kavi.

Moira.

Nola menyimpan nama itu dalam ingatan. Ia akan menceritakannya pada Tory.

Moira pun melangkah ke luar penuh dengan kekesalan. Entakkan flat shoes-nya memenuhi seisi ruangan. Nola menjadi teringat akan ancaman Moira di kantin. Jemarinya mendadak mengetuk-ngetuk meja tanpa diperintah.

Tepukan Kavi di bahu sontak membuat Nola terkejut. Ternyata ia mempersilakan untuk pergi sebab tiga puluh soal sudah terisi semua. Tidak seperti saat ia menggebu-gebu memberi tugas, kali ini dosen Operasional Tata Boga itu tampak melunak. Lebih tepatnya seperti ada beban setelah bertemu Moira.

Nola mengambil kesempatan untuk pergi secepat kilat menuju taman tanpa sepatah kata.

Setibanya di taman, Tory yang sedang berbaring di atas hamparan rumput itu langsung memiringkan tubuh, menyangga kepala dengan tangan begitu sadar ada Nola di sampingnya. Ia memberi kesempatan Nola untuk meneguk air mineralnya terlebih dahulu sebelum melayangkan pertanyaan.

"Makin lama makin gila tuh dosen!"

"Habis diapain sih?" goda Tory.

Sontak membuat Nola melemparnya dengan botol air mineral. Tory hanya tertawa melihat sahabatnya itu manyun tidak karuan.

Nola mulai menceritakannya dari awal hingga akhir. Termasuk beberapa soal aneh yang masih diingatnya. Tory menggaruk kepalanya begitu mendengar soal yang dianggap aneh itu. Bukan pertanda setuju, melainkan bingung, sebab tidak mengerti jurusan Manajemen Kuliner.

Tory diam sebentar, ia kembali berbaring berbantalkan kedua tangan. Menatap kumpulan awan dibalik kacamata hitamnya. Nola mengambil buku dari dalam tas, lalu memanfaatkan perut Tory sebagai bantal. Posisi membaca ternyaman bagi Nola.

"La, please deh dengerin papamu. Gak ada salahnya juga kalau kamu bisa kuliah sampai selesai. Kamu pikir cuma kamu yang punya banyak tugas? Aku juga kali," tutur Tory sembari memainkan rambut Nola dengan kanannya.

Nola menutup buku, meletakkannya ke atas tas yang tergeletak di samping. Berbeda dengan Tory, Nola lebih memilih menatap pintu kaca besar, yang merupakan pintu selatan. Di sana tercetak lambang kampus, segi lima dengan gambar burung garuda di tengahnya, dan tulisan Kampus Garuda Nusantara dicetak mengelilingi.

Nola sudah menebus tiga kali resep obat dan papa belum menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Ingin rasanya ia menyarankan untuk istirahat total. Namun, melihat semangat papa ketika memasak di kafe, terpaksa saran itu disimpan kembali. Apalagi Nola tahu, kafe adalah satu-satunya sumber pemasukan.

Jika kehidupan memang layaknya roda yang berputar, Nola ingin memperlambat rodanya hingga menunda kepergian mama, bahkan ingin menghentikannya untuk waktu yang lama.

Belum saja duka mengering selepas kepergian mamanya, Nola harus berhadapan lagi dengan kenyataan, bahwa sang papa di PHK sebagai agen pemasaran di salah satu perusahaan mebel. Di mana papa ialah tulang punggung keluarga.

Dua tragedi pilu yang hampir dua tahun lalu itu masih melekat dalam batin. Ia benar-benar membenci "kesedihan" sampai ke akarnya. Sebab terlalu lelah menangis, tetapi hatinya tidak kunjung menemukan kelegaan seperti kata orang-orang. Dadanya masih sesak, meski tidak sedang mengenang atau mengingat.


Kini papa adalah satu-satunya orang tersayang yang tersisa dalam hidupnya.

"Tor, aku tahu keuangan papa. Sudah sebulan kafe menurunkan target, otomatis siklus keuangan juga berubah, kan? Tapi papa nutupin. Nutupin masalah keuangan, bahkan nutupin rasa sakitnya. Aku," ada jeda sejenak sebelum akhirnya Nola meloloskan air matanya, "aku gak bisa lihat papa gini terus."

"Sssst, sudah, sudah. Gak usah nangis. Aku traktir nonton deh. Mission impossible 6," Tory menghapus air mata di pipi Nola.

Biar bagaimanapun, ia tetap merasa bersalah. Sudah menasihati di saat yang tidak tepat.

Tidak peduli dengan matanya yang masih merah, Nola langsung memasang wajah ceria. Memasukkan bukunya ke dalam tas, lalu dengan cepat berdiri. Bibirnya yang tipis merekah dengan sempurna. Mengulurkan tangan untuk Tory yang masih berbaring.

***

Nola memutar-mutar pulpennya di sela jari sambil menatap layar laptop. Terlihat surat pemberitahuan untuk pembayaran angsuran uang gedung untuk semester genap harus segera dibayar.

Kasih tahu, jangan? Kasih tahu, jangan?

Setelah menimbang dengan berat, dipindahnya laptop dari pangkuan ke sisi, beranjak dari kasur hendak membuka gagang pintu. Pintu pun terbuka lebar, sehingga terdengar suara papa yang sedang menelepon. Nola kembali merapatkan pintunya. Tanpa mempertimbangkan rasa ragu karena terlalu penasaran, ia menguping pembicaraan di balik pintu kamar.

"Transferannya sudah saya terima, Pak, terima kasih banyak. Secepatnya akan saya ganti."

Air mata pun lolos tanpa aba-aba. Ia tersandar di balik pintu yang sudah dikuncinya, merosot hingga ke lantai. Menangis tanpa suara. Bahkan teriakkannya pun tertawan dalam dada. Sungguh sesak ketika harus tahu pengorbanan seorang kepala keluarga. Siapa pun tidak akan sanggup. Tiada kebahagiaan di sana, tetapi banyak dari kepala keluarga mengaku bahagia menjalaninya. Apalagi ketika melihat senyum dan tatapan buah hati mereka. Begitu juga yang sering diakui papa.

Buru-buru Nola membekap mulut dengan kedua tangan ketika papa mengetuk kamar, mengingatkan untuk makan. Ia tidak berani menjawab. Setidaknya untuk malam ini saja, ia ingin kembali menikmati tangisan.

Menjadi orang tua tunggal memang berat, tetapi Nola tidak menyangka jika papanya sampai berhutang. Seandainya bisa memilih, ia tidak ingin dilahirkan agar tidak merepotkan papa.

Sedu sedan berhasil meninabobokan. Nola terbangun dari tidurnya yang sepanjang malam terbaring di lantai. Untungnya hari ini kelas dimulai pukul sepuluh. Artinya masih ada waktu tiga jam untuk bersantai sebelum berangkat.

Sebelum ke kamar mandi, Nola menyempatkan mengecek laptop dan gawai.

"Sial!" jeritnya dalam hati begitu mengetahui ada tugas dari Kavi untuk hari ini.

Musnahlah sudah ekspektasinya untuk bersantai.

Setelah mandi dan berpakaian dengan tergesa-gesa Nola langsung mengerjakan tugas. Termasuk tugas dari setengah teman sekelasnya yang membanjiri chat WA.

Satu per satu tugas teman-teman sudah beres. Sekarang giliran tugasnya yang harus segera diselesaikan. Sambil bersiap, Nola menulis jawaban pada layar laptopnya. Dari lima soal esai, tersisa satu soal terakhir yang baru saja hendak ditulis jawabannya, tetapi ketukan pintu memaksa Nola untuk beranjak.

"Papa?"

"Nola, papa sudah ada uang untuk bayar uang gedung," ucap papa seraya menyodorkan amplop putih.


Meski senyumnya mengembang, tetapi papa tetap terlihat layu di mata Nola.



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang