Bab 36

93 4 0
                                    

Jantung Nola semakin berdegup kencang. Siapa dosen yang dimaksud papa? Apa mungkin Kavi?

Dengan tangan yang masih saling meremas dan mata menatap bingkisan di atas meja, tiba-tiba papa langsung mendekap. Mengelus pucuk kepala dengan lembut. Keringat dingin Nola mendadak menguap. Hawa panas mulai terasa. Awalnya membalas pelukan sang papa dengan ragu. Lambat laun, malah menyamakan irama degup jantung yang membanjiri indra pendengaran.

Papa meminta maaf karena tidak tahu menahu kalau anak gadisnya sedang sakit. Ia sangat merasa bersalah. Kini hati Nola menjadi hancur menyaksikan papa yang berusaha membendung air mata.

"Maafkan keegoisan papa. Papa enggak pernah perhatiin kesehatan Nola." Kalimat itu menggantung.

Nola tahu lanjutannya. Papa berandai-andai jika seandainya mama masih hidup. Pasti semua bisa berjalan dengan seimbang.

Maafkan Nola, Pa. Nola bukan sakit.

Terdengar derit pagar yang digoyangkan. Dengan cepat papa menegapkan tubuh dan melepaskan pelukan. Sebelum membuka pagar, papa memegang erat kedua bahu Nola, meminta anak semata wayangnya untuk saling terbuka. Menceritakan apa saja keluh kesah selama di kampus atau pun di rumah. Ia tidak ingin kehilangan momen kebersamaan karena minimnya komunikasi.

Nola mengangguk, dan mendapat ciuman di kening sebelum papa melangkah ke pintu dan menyapa Tory dengan hangat. Rupanya Tory yang sedari tadi menggoyangkan pagar.

Nola mengintip dari balik gorden. Ia sampai mengucek-ngucek mata berulang kali begitu melihat perempuan yang sedang bersama sahabatnya itu. Naasnya malah hampir menjatuhkan pot bunga hias dipojok sebelah gorden.

"Kenapa, La?" tanya papa begitu mendengar suara berisik.

"Debu. Ini lagi dibersihkan," jawab Nola cengengesan sekaligus kalang kabut membenarkan letak pot seperti sedia kala.

"Nanti aja bersih-bersihnya. Lagi sakit gitu. Ini ada Tory sama temannya. Ajak makan sekalian, nanti pudingnya enggak ke makan," ucap papa seraya mempersilakan Tory untuk masuk.

Sejurus kemudian, papa ke dapur. Ia melarang Nola untuk mengiringi. Gadis itu pun duduk di hadapan Tory dan Moira.

"Kamu sakit?" tanya Tory tidak tahu-tahu.

Ia berpindah duduk ke sisi Nola, meletakkan punggung tangan ke dahi tanpa permisi. Dan tidak merasakan perbedaan suhu tubuh mereka. Nola pun segera menepis. Mengatakan bahwa ada dosen yang ke rumah mengatakan kalau dirinya sedang sakit, sekaligus mengantarkan semua makanan yang masih terhidang di meja.

Nola hanya mengangkat bahu ketika Tory menebak nama yang sama dengan tebakannya.

Lalu gadis itu menyadari Moira yang berdiam diri sejak tadi. Perempuan itu tampak melihat-lihat sekeliling dari tempatnya duduk.

Nola memelotot pada Tory. Dengan ekor mata yang sesekali menunjuk kehadiran Moira. Perlu beberapa detik bagi Tory untuk mengartikannya.

Ternyata ia bertemu Moira di pintu utama mall. Dan langsung mengajak untuk makan siang bersama. Karena sudah lama Tory mendambakan hal itu.

Moira tersenyum manis begitu Nola menoleh ke arahnya. Darah Nola mendadak mendidih. Namun, belum sempat meluapkan emosi, papa datang dengan beberapa botol minuman kemasan dan sejumlah piring serta sendok.

Mereka menikmati puding buah bersama. Dan benar saja yang mengirimkannya adalah Kavi.

***

Di kursi taman kampus, Nola kembali menikmati segarnya udara pagi. Kampus yang terletak di dalam, jauh dari hiruk pikuk jalan raya, membuat udara pagi selalu dirindukan.

Rimbunnya pepohonan di sepanjang jalan gang menuju kampus adalah penyebab segarnya udara di sekitar kampus. Kicau burung masih berkuasa daripada polusi suara kendaraan. Dan bila hujan, suara kodok masih mendominasi daripada hanya suara petir yang menggelegar.

Nola memejamkan mata seraya menghirup dalam-dalam sejuknya udara yang tidak bisa didapatkan jika sudah pukul sembilan pagi. Dan tidak bisa didapatkan di kampus mana pun di kota ini.

Tiba-tiba Kavi datang mengejutkan. Ia mengambil tempat duduk di sisi Nola seraya mengucapkan selamat atas IPK yang tinggi. Dosen itu juga langsung mencerocos mengenai rencana Nola yang menginginkan percepatan semester.

Rambutnya yang tidak diikat ikut tertiup angin. Dengan senyuman yang ramah dan hangatnya perhatian, Nola sempat memaku pandangan di wajah Kavi. Namun, cepat-cepat memalingkan tatapan ke arah awan yang tengah berarak.

Hari ini gadis itu akan mengambil jumlah maksimal dari SKS semester atas. Setelah sebelumnya sudah diingatkan pak Togar juga Kavi, bahwa percepatan semester memerlukan mental sekuat baja. Sebab satu kelas dengan kakak tingkat jauh lebih rumit dari hanya menyelesaikan setumpuk tugas.

Namun, impian sudah menyala kembali. Harus dicapai agar masih bisa disebut impian. Redupnya masih menakutkan, tetapi begitu kembali benderang, haruslah segera dikabulkan. Demi papa.

Setelah membuang napas perlahan, pertama-tama Nola mengucapkan terima kasih atas bingkisan yang dikirim ke rumah. Lalu berterima kasih atas pembelaan Kavi di depan pak Thomas. Ia masih tidak menyangka bahwa dosen itu berani mempertaruhkan karier, tetapi tentu saja hal itu tidak disebutkan. Sebab ia telah mencuri dengar. Tidak mau dicap nguping.

Lalu entah datang dari mana, keberanian mendadak unjuk taring. Nola meminta Kavi untuk berhenti berkorban demi dirinya. Karena ia merasa tidak pantas untuk diperjuangkan. Rasanya terlalu aneh, seorang dosen yang memperhatikan satu orang mahasiswi. Sementara ada banyak mahasiswa di jurusan yang juga tidak kalah berprestasi dari Nola.

Kavi sempat mengernyitkan kening. Ia mengaku membela Nola karena memang perlakuan Moira yang tidak bisa dibenarkan. Dan Kavi juga mengatakan jika keputusan rektor mutlak tanpa hasutan apa pun darinya.

"Saya cuma mau hidup damai di kampus ini." Kalimat Nola membawa Kavi melangkah menjauh tanpa mempertanyakan lagi.

Sebenarnya ia sedang malas berdebat. Dan tidak mau lagi di teror-teror dengan alasan tidak jelas. Setidaknya, jika dosen itu bisa menjaga jarak, dirinya tidak akan menjadi sasaran empuk para fans garis keras yang mungkin saja belum diketahui Kavi sampai saat ini.

Dosen itu memandang wajah Nola sedikit lebih lama, lalu permisi sekaligus menguraikan permintaan maaf. Nola hanya mengangguk tanpa mau menatap.

Setelah Kavi benar-benar sudah menjauh, gadis itu bergegas menuju ruang akademik. Memilih SKS mana yang bisa diambil untuk semester ganjil beberapa minggu lagi. Ia berdiskusi dengan beberapa dosen yang kebetulan sangat mendukung keputusannya. Dan seketika Nola merasa masa depannya begitu cerah.

Namun, di tengah-tengah diskusi, pendengarannya terganggu dengan beberapa dosen yang sibuk mencari Kavi. Bahkan beberapa rekan dosen lainnya mencoba menghubungi. Mereka semua berkumpul jadi satu di meja panjang tempat Nola duduk. Dan semua tampak panik. Sebab tidak biasanya Kavi pergi mendadak.

"Eh, Nola, kau tahu ke mana perginya Kavi tidak? Sepertinya tadi aku melihat kau sedang duduk berdua di bangku taman. Ini ada urusan penting. Coba kau telepon dia. Mana tahu kalau cewek muda yang menelepon dia mau mengangkat."






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang