"Saya mengakui musibah tersebut atas kelalaian saya."
Kalimat itu sontak mendorong Nola ke rasa bersalah yang luar biasa kepada Moira. Sekaligus rasa benci yang mengakar lebih kuat dalam hati.
Di depan polisi, Kavi menjelaskan secara detail. Ia ikut Samarendah Food Festival (FSS) bersama beberapa rekan, kebetulan mendapat lapak di depan teras ruko kafe 0A. Dan saat kejadian, ia adalah orang yang tengah menggunakan kompor. Gas elpiji itu meledak begitu saja.
Mungkin terpancing api dari rokok Kavi atau hal lainnya yang tidak bisa dikatakan secara pasti. Lalu salahnya penanganan darurat yang dilakukan para manusia-manusia panik, termasuk Kavi, maka ledakan itu berhasil mengundang api yang kuat melahap habis ruko kafe 0A.
Bersama dengan pengakuan itu juga, Kavi tidak berani menatap papa yang hanya duduk di kursi plastik hijau dengan pandangan kecewa, marah, dan sedih yang menyaru dalam dada.
Nola berdiri memegang bahu papa. Dengan lantang ia meminta papa untuk memproses masalah ini dengan hukum.
Mendengarnya, Kavi mendadak panik. Memohon agar diselesaikan secara kekeluargaan. Ia bersedia untuk ganti rugi. Nola menatap tajam dosen itu, dan menegaskan betapa teguh pendiriannya untuk membawa musibah ini ke jalur hukum.
Papa yang hanya diam, berdiri dan berjalan keluar setelah mengucapkan terima kasih kepada pihak polisi. Nola terbirit-birit di belakang papa, ia terus menyuarakan pendirian yang susah untuk goyah.
Bahkan memohon agar papa menghentikan langkah barang sedetik, agar mendengarkan pendapat yang dari tadi hanya disapu angin. Namun, papa tetap berjalan menuju ojek mobil yang membawa mereka ke kantor polisi.
Sebelum masuk ke mobil, papa berkata dengan nyaring pada Kavi yang berdiri di ambang pintu, "Saya tunggu di rumah."
Mata Nola memelotot sempurna, apalagi ketika di sepanjang jalan papa tak kunjung buka mulut. Hati menjadi tak karuan rasa. Menebak-nebak rencana papa mengundang Kavi ke rumah. Rasanya sulit dipercaya.
Apa papa memaafkan begitu saja?
Di separuh perjalanan, Nola meminta sopir untuk menuju ke perumahan Tory. Tanpa persetujuan papa, gadis itu langsung turun di depan gerbang. Dan kembali meminta sopir untuk membawa papa pulang.
Papa hanya duduk menatap kaca mobil dengan tatapan kosong. Salam pamit dari Nola tidak digubris sama sekali.
Tanpa mau menunggu, Nola langsung melangkah menuju rumah Tory yang tidak terlalu jauh dari gerbang. Setibanya di sana, Tory sedang duduk di ruang tamu bercengkerama dengan bunda.
Laki-laki itu sudah kembali tidur di rumah sejak bunda pulang dari tugas luar kota. Kebetulan, luka-luka di wajahnya juga sudah menghilang, nyaris tak berbekas.
Begitu melihat Nola, Tory dan bunda langsung berdiri. Membuka pagar dan mempersilakan duduk. Tanpa mau mengungkit kesedihan, bunda berusaha bersikap biasa. Menawarkan rujak yang telah terhidang di meja. Namun, Nola menggeleng.
Dengan menggenggam tangan Nola, bunda akhirnya mengucapkan turut prihatin atas musibah yang menimpa. Air mata lolos tak terkendali. Bunda segera meraup Nola ke dalam pelukan.
Belum sembuh luka atas kehilangan mama, kini Nola kembali harus rela melepas kehilangan kafe. Usapan bunda kian menenangkan, hingga gadis itu bisa menghentikan rintik air mata.
Ia segera menyampaikan maksud kedatangannya lengkap dengan cerita mengenai papa yang meminta Kavi datang ke rumah. Tory dan bunda kompak mengernyit heran. Berbeda dengan Tory yang mencoba suuzon, kalimat-kalimat bunda justru lahir penuh dengan sisi positif dan meminta Tory untuk bersiap mengantar Nola pulang.
Dengan cepat Nola menolak. Ia belum siap bertemu Kavi. Pintu maaf masih tertutup rapat. Rasa benci begitu hebat memeluk diri, tidak membiarkan hati untuk melunak.
Tory pun mengamankan sang bunda ke kamar. Karena tidak jua mengerti dan malah semakin menghujani dengan nasihat yang belum siap didengar Nola.
"Bunda ke kamar aja, ya. Please,"
ucap Tory seraya mendorong-dorong lembut bunda yang bersikukuh masih mau duduk menasihati.
***
Selepas magrib, Tory yang berhasil membujuk, mengantarkan Nola pulang. Entah lelah atau kehabisan air mata, gadis itu mengangguk ketika Tory menawarkan untuk pulang.
Di rumah, papa duduk di teras. Ditemani om Subhan dan beberapa tetangga lainnya. Bagaikan mendung yang disapu terik matahari, papa menyambut Nola dengan senyuman.
Bukan hanya Nola yang heran, Tory yang di belakang pun mencolek pinggang Nola, bertanya dengan isyarat mata. Karena sama-sama tidak tahu, gadis itu hanya menggeleng penuh.
Saat itu juga para tetangga pamit, rupanya mereka sudah lama mengobrol. Tersisa papa, Nola, dan Tory yang di bibir mereka masih tercetak senyum melepas para tetangga yang pulang.
"Papa udah gak sedih?" tanya Nola pelan.
Alih-alih mendapat jawaban, ia malah diminta papa untuk membereskan cangkir kopi, piring buah-buahan, dan juga asbak di atas meja.
Dibantu Tory, Nola membawa semua ke dapur dan mencuci. Sambil mencuci piring, mereka saling berbisik dan melukis berbagai dugaan-dugaan negatif sebanyak mungkin. Hanya beberapa hal positif yang bisa ditangkap. Itu pun ditangkis dengan ketidak mungkinan yang terlintas.
Selesai beres-beres, Nola dan Tory duduk di sisi papa. Menikmati tayangan Netflix yang sedang menghibur papa. Tory pun sudah terhanyut dalam tayangan tersebut. Menyatukan pendapat dengan papa yang sibuk mengunyah kacang kedelai rebus.
Sedangkan Nola hanya menatap layar kaca tanpa sedikit pun pikiran yang tertuju pada film. Sesekali ia melirik dari ekor mata, memastikan bahwa tidak salah lihat. Secepat itu papa kembali ceria?
Apa yang dibicarakan dengan bapak-bapak tetangga tadi? Oh, apa yang dibicarakan papa dan Kavi?
Nola mulai menyusun kalimat tanya dalam kepala. Seperti mainan lepas pasang, kalimat itu terus diotak-atik hingga menemukan yang paling pas. Tidak cukup sampai di situ, Nola kembali berpikir kapan waktu yang tepat untuk bertanya. Malam ini atau besok? Besok pagi saat sarapan atau besok sore ketika pulang kuliah?
Satu tepukan di pundak menarik Nola dari lamunan. Rupanya Tory yang pamit pulang. Bersama papa, gadis itu mengantarkan Tory sampai ke pagar. Semakin lama, Nola semakin merasa ada yang janggal.
Kenapa papa tidak mempertanyakan kepergiannya ke tempat Tory tadi? Padahal bisa saja ia bertanya atau bahkan marah.
Selepas mengunci pagar dan pintu, sebelum papa dan Nola masuk ke kamar masing-masing, gadis itu memberanikan diri untuk bertanya. Sedikit memaksa tenggorokan untuk memanggil papa yang sudah membuka pintu kamarnya.
Ketika papa menoleh, saat itu juga kalimat yang sudah disusun mendadak beterbangan. Tidak bisa ditangkap sama sekali. Nola yang telah kehilangan kata-kata, hanya tersenyum seraya mengatakan selamat malam.
"Selamat malam juga, mimpi yang indah, ya. Oh, iya, Nola. Papa tadi sudah diskusi dengan Kavi. Sebenarnya papa juga enggak mau bawa ke jalur hukum dan Kavi bersedia tanggung jawab. Jadi, dia yang akan menjadi juru masak di kafe menggantikan papa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]
Teen FictionBlurb: Kata Tory, Nola, sahabatnya si paling "gak enakkan" itu memiliki "dosa" di kampus Garuda Nusantara. Benarkah itu? Apa sebenarnya yang Nola rasakan akan kehadiran "si dosa"? ========================= Dimulai: 1 September 2022 Tamat: 30 Novemb...