Bab 64

68 7 0
                                    

Begitu Kavi menginjak pedal gas hendak meninggalkan rumah Nola, gadis itu keluar seraya berlari tergesa-gesa. Ia juga berteriak meminta tolong. Teriakkan Nola sontak membuat Kavi mengatur gigi mundur secepat kilat.

Keluar dari mobil, berusaha menenangkan Nola dalam pelukan. Rupanya gadis itu sudah menumpahkan air mata banyak sekali. Tidak ada satu kata utuh yang bisa ditangkap Kavi. Sebab Nola hanya berhasil bersuara sepotong demi sepotong.

"Pa - pa."

Pelukan dilepas, Nola masih berdiri menangi di depan pagar. Setelah sadar Kavi sudah masuk ke rumah, ia bergegas menyusul.

Dosen itu sudah mengangkat papa dalam gendongan. Mengingatkan Nola untuk mengunci pintu. Mereka langsung melesat ke rumah sakit.


Sepinya jalanan dari pengendara pekerja dan pelajar, membuat mobil Kavi dengan leluasa menjadi peluncur berkecepatan tinggi. Hanya satu dan dua kali berpapasan dengan mobil pengangkut sayur, milik pedagang di pasar-pasar kecil.

Setibanya di rumah sakit, papa langsung dibaringkan di atas brankar. Didorong menuju UGD oleh beberapa perawat dan juga satpam. Sementara Nola hanya menangis dalam pelukan Kavi. Mereka tidak diizinkan untuk ikut masuk selama papa di tindak oleh dokter jaga.

Hawa panas menguar dari balik tanah. Langit yang biasanya gelap, pada dini hari tampak awan putih menyelimutinya. Seakan tidak membiarkan langit tertidur tanpa ada yang menghangatkan. Suara petir mulai terdengar di kejauhan.

Nola semakin mengeratkan pelukan begitu mendengarnya. Tidak, ia bukan takut petir. Gadis itu hanya takut kehilangan satu-satunya orang tua yang tersisa dalam hidupnya.


Dengan pelan, Kavi mengajak duduk di kursi tunggu. Dosen itu juga melingkarkan jaket jin ke bahu Nola. Tidak sampai hati bila gadis itu kedinginan. Namun, segera ditepis, karena Nola justru merasakan panas yang teramat gerah.

Mereka duduk bersisian, sama-sama bersandar pada punggung kursi. Sesekali Kavi mengucapkan kata sabar, yang justru mengundang air mata untuk turun lebih banyak.

Jauh di dasar hati, Nola tidak berhenti merutuk diri sendiri. Satu per satu pertanyaan muncul ke permukaan.


Sejak kapan papa pingsan? Kenapa papa pingsan? Apa selama ini papa merasakan sakit yang disembunyikan?

Semua pertanyaan tidak berhenti sampai di situ. Terus bergulir semacam rol film yang berputar. Membuat kepala berdenyut hebat. Perlahan merosotkan tubuh, membiarkan kepala bersandar pada punggung kursi.

Melihatnya, Kavi dengan sigap merebahkan kepala Nola ke bahunya. Gadis itu menurut saja. Tiga puluh menit berlalu, air mata tidak lagi turun.

Disusul seorang perawat yang datang membawa beberapa pertanyaan untuk Nola. Ditemani Kavi, gadis itu duduk di depan seorang dokter jaga. Menjawab pertanyaan sebisanya, dengan tangan yang digenggam Kavi. Maka dokter memutuskan untuk melakukan observasi lebih lanjut dengan mengecek sampel darah dan lain sebagainya.

Nola hanya menurut. Berharap kebaikan untuk papa. Menjelang subuh, papa yang sudah sadar sepenuhnya itu harus dipindah ke kamar rawat inap. Kavi tidak keberatan untuk menemani Nola sepanjang sisa malam. Ia merelakan bahunya menjadi bantal bagi gadis itu.

Di dalam kamar, papa yang masih lemah, melanjutkan tidurnya. Sedang Nola yang tidak sanggup menolak paha Kavi untuk dijadikan bantal itu, ikut tertidur pulas.

Diam-diam, Kavi memerhatikan wajah Nola, tanpa berani menyentuh. Rasa mengantuk perlahan ikut menulari. Ia hanya bisa menyandarkan punggung ke punggung sofa, mencoba memejamkan mata dan larut ke dalam mimpi.

***

"Pagi." Sebuah suara membangunkan Nola dan Kavi.

Nola langsung duduk tanpa mengucek mata yang baru beberapa jam terlelap. Setelah melihat Kavi, ia memberi jarak di antara mereka. Disusul Kavi yang membenarkan duduk seraya memegang pahanya yang kesemutan.

"Mesra amat sih," celetuk Tory.

Ya, Tory dan Moira datang sepagi ini. Mereka membawakan dua bungkus nasi kuning untuk sarapan. Kavi lebih dulu ke toilet untuk mencuci muka, disusul Nola yang sudah menggulung tinggi rambutnya.

Perawat datang mengantar sarapan untuk papa. Tory dengan sigap meraih nampan tersebut. Lalu menyuapkan bubur untuk papa, karena Nola sedang sarapan. Ia duduk lesehan bersama Kavi yang juga sedang sarapan.

Sementara Moira, membantu Tory menyuapi papa. Selepas Tory membawa kabar padanya bahwa papa Nola masuk rumah sakit, Moira yang khawatir, lekas menyalin jawaban tugas untuk diberikan kepada Nola. Yang pasti, bukan tugas dari Kavi.

Nola menerima selembar kertas jawaban seraya menepuk jidat. Ia benar-benar lupa akan tugas tersebut.

"Makasih banyak," pekik Nola seraya memeluk Moira, meninggalkan bungkusan nasi kuning yang masih tersisa setengah.

Celetukan Tory yang mewanti-wanti Nola akan tugas tambahan dari Kavi, sontak membuat dosen itu tersedak teh hangat yang sedang disesap.

Alih-alih merasa iba, mereka bertiga justru menertawakan dengan tawa yang disembunyikan diam-diam, setelah Tory mengucapkan maaf. Namun, papa buru-buru menyuruh Nola untuk memberikan tisu sekaligus air mineral untuk Kavi.


Nola maju dengan malu-malu. Apalagi ledekan Tory dan Moira terasa mengikuti. Meski yang berdua itu hanya mengatakannya dalam hati.

Ternyata Kavi pun menerima tisu dan segelas air dari Nola dengan sikap yang sama. Tory tidak tahan lagi untuk tidak mengeraskan suara. Laki-laki itu meledek hingga membuat pipi Nola merona dan Kavi terpaksa beralasan harus merokok ke luar area rumah sakit.

"Kavi itu bukannya mantan kamu?" tanya papa tiba-tiba kepada Moira.

Sungguh celetukkan yang membubarkan suasana. Nola memang pernah mengatakan hal itu kepada papa, tetapi tidak pernah terpikirkan kalau papa memastikannya dengan bertanya langsung ke orangnya.

Nola dan Tory setengah mati mencari celah agar Moira tidak membawa perasaannya begitu mendengar pertanyaan papa barusan. Mereka berusaha bertanya hal-hal acak kepada papa.

Namun, usaha keduanya gagal karena Moira memilih untuk menjawab, "Iya, Kavi mantan saya."

Demi mencegah pertanyaan selanjutnya, Nola langsung menyuruh papa untuk mandi. Karena tidak lama lagi akan ada kunjungan dokter.

"Satu tahun." Ucapan Moira membuat semua menoleh. Termasuk papa yang sedang dipapah Nola menuju toilet.


"Saya sama Kavi satu tahun. Setelah itu dia gak anggap saya lagi. Gak ada kata putus. Dan saya capek ngejar-ngejar hal yang gak ada kepastian."

Air mata Moira meleleh. Sungguh ada hati yang rapuh dibalik sikapnya yang garang. Papa berbalik, tidak jadi ke toilet. Disusul Nola yang langsung memeluk Moira.

Perempuan itu memilih melepaskan tangis dalam diam. Hanya air mata yang menjawab semua kesedihan hati. Betapa cinta itu begitu sabar. Menunggu dan rela menagih jawaban demi menghapus rasa ragu.

"Laki-laki itu harus berani memutuskan. Pantang menggantung perasaan perempuan. Kamu setuju kan, Kavi?" Ucapan papa sukses membuat Nola dan Moira menoleh.

Rupanya dosen itu baru saja masuk. Wajahnya tampak ketar-ketir ketika diberondong papa seperti itu. Ia menelan saliva sebelum berucap sesuatu.


Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang