Bab 39

98 4 0
                                    

Dari tempatnya berdiri, Nola bisa melihat seorang disc jokey yang asyik memainkan lagu. Musik dengan dentuman keras yang membuat jantung ikut berdegup kencang. Lalu di depan disc jokey tersebut ada seorang perempuan yang tengah menari mesra dengan tiang kecil yang menjulang tinggi.

Semua perempuan di sini berpakaian minim. Jika tidak minim, paling tidak mereka mengenakan tank top. Nola jadi menatap pakaiannya sendiri. Baju kaos oblong bergambar beruang dan celana tidur panjang.

Hampir saja Nola marah pada Moira, tetapi dilihatnya perempuan itu tengah mencari seseorang. Lalu dengan mantap menunjuk ke salah satu pojok.

Banyaknya kerumunan, tidak bisa membuat Nola melihat apa yang tadi ditunjuk Moira. Ia lantas mengikuti langkah Moira yang membelah lautan manusia.

"Tory?"

"Nola?"

Nola langsung duduk di sisi Tory yang sibuk memegang lebam di tulang pipi kanan. Ia segera mengambil tisu dari kotak tisu yang tersedia di meja, melap sedikit darah yang mengalir.


Tidak hanya di tulang pipi, ujung bibir, mata kiri, dan pelipis juga ikut bonyok. Dengan khawatir, Moira juga duduk di sisi Tory. Melarang laki-laki itu untuk berbicara selama Nola membersihkan darahnya.

Berlembar-lembar tisu penuh bercak darah menghiasi meja bundar di hadapan. Moira yang sedari tadi tegang, akhirnya bisa menyandarkan punggung ke sandaran empuk sofa yang tengah mereka duduki. Sementara Tory langsung bertanya pada Nola, kenapa ia bisa sampai ke tempat ini.

Bukan jawaban yang Tory dapatkan, melainkan sebuah pertanyaan yang diiringi rintik air mata. Melalui kelap kelip lampu, Moira melihat Nola yang sedang menangis. Ia pun langsung duduk tegap, melihat dengan saksama wajah Nola yang sudah basah akan air mata.

Gadis itu semakin menangis seraya mengatakan betapa ia khawatir pada Tory. Moira yang ikut mendengar, langsung tertawa. Tanpa sadar menepuk bahu Tory dengan keras, membuat laki-laki itu mengaduh.

Tawa Moira menghentikan tangisan Nola. Dengan berani gadis itu mempertanyakan hal lucu apa sehingga membuatnya tertawa seperti itu.

"Temenmu cengeng banget! Kenal papamu?" seloroh Moira disela tawa yang perlahan mereda.

Papa Tory?

Seperti disumbat, air mata Nola tidak lagi merosot. Ia memandang Tory dengan tatapan yang mengandung pertanyaan.

Tory yang sudah bisa menebak pertanyaan itu, tidak terlalu menggubris tawa Moira. Ia menggenggam kedua tangan Nola, memunggungi Moira yang kembali bersandar.

"Kamu ingat kan ceritaku tentang papa?" Mendengar pertanyaan itu, ingatan Nola akan curahan hati Tory langsung mencuat ke permukaan.

Tory pernah bercerita mengenai papanya yang ternyata tidak meninggal. Sementara selama ini yang Tory tahu, ia adalah anak yatim. Namun, siapa sangka kalau bunda membongkar semua.

Bunda mengaku semakin sesak membawa rahasia itu, sekaligus menyesal sudah membohongi anak semata wayangnya. Namun, keputusan bunda pun tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Ia justru menyembunyikan demi menjaga perasaan Tory.

Papa Tory, om Hedy Safwan, sudah kawin lari dengan perempuan lain. Ia meninggalkan bunda dan Tory tanpa belas kasih. Dan luka yang didapat Tory malam ini adalah hasil memata-matai istri sang papa.

"Kok bisa kamu dipukul?" tanya Nola penasaran.

"Ya, bisa lah. Namanya juga ibu pejabat. Dengerin, ya. Papanya Tory kawin lari sama perempuan. Anak pejabat! Otomatis, istrinya papa Tory sekarang ya, jadi pejabat juga. Nah, terus bodohnya si Tory ini, malah manggil-manggil papanya di depan si ibu pejabat. Ya, bonyok lah. Aku sih curiganya papamu itu gak bilang kalau sudah pernah nikah dan punya anak ke istrinya yang sekarang," cerocos Moira.

"Iya, gitu, La. Kita gak sengaja juga sih ketemu di sini. Padahal aku sama Moira cuma mau nongkrong. Eh, gak tahunya aku lihat laki-laki yang mirip sama foto papa yang dikirim bunda. Aku tegur, tapi ajudan istrinya gak terima kalau aku panggil papa aku itu papa."

Nola terdiam, tidak bisa berkata banyak. Ia hanya mengucapkan sebuah kata sabar sebagai pengganti makna dari segala kalimat. Tory mengucapkan terima kasih. Bukan hanya untuk Nola, melainkan juga untuk Moira yang tahu obat untuk lukanya.

Memiliki sosok ayah jauh lebih beruntung daripada mereka yang tidak sempat mengenal ayahnya. Seberapa pun menjengkelkannya sikap dan sifat ayah, bagi seorang anak, ayah tetaplah pahlawan. Yang paling berani melindungi keluarganya. Diam-diam hati Nola mengucapkan syukur, telah memiliki papa. Dan diberi kesempatan untuk saling menyayangi selama ini.

Moira berdiri, ia menawarkan minuman atau pulang. Nola dan Tory sepakat untuk pulang saja. Namun, karena takut mengkhawatirkan bunda, Tory memilih untuk menginap di kos milik Moira saja.

Untungnya masih tersisa satu pintu yang kosong. Kos itu berada di sebelah rumah Moira. Biasanya untuk satu bulan, dipatok harga satu juta lima ratus. Tentu saja dengan fasilitas yang lengkap, seperti kasur, lemari, AC, wifi, dan kamar mandi di dalam.

Namun, Moira menggratiskan untuk Tory yang rencananya akan menginap beberapa malam saja. Rupanya perempuan itu memiliki sudut hati yang lembut juga.

***

Pagi ini, Tory tidak masuk kuliah. Alhasil, Moira yang datang menjemput Nola dengan mobil merahnya. Sebelum Nola masuk ke mobil, papa sempat meledek. Ledekan yang berselimut rasa senang, karena dari sisi pergaulan, Nola telah memiliki kemajuan; memiliki teman baru.

Nola hanya mencebik menanggapi papa. Sejurus kemudian, ia langsung masuk ke mobil. Moira yang tengah berkaca sambil memoles lipstik ke bibir, segera menyudahi aktivitasnya. Dan memberikan salam kepada papa.

Selama perjalanan menuju kampus, mereka berdua saling diam. Hanya Moira yang sesekali berbicara dengan topik acak. Sebenarnya ingin saja ia memberitahu kondisi Tory, tetapi ia yakin Nola dan Tory pasti sudah bertukar kabar melalui WA.

Setibanya di kampus, Nola yang merasa Moira tengah mengekor, mendelik. Ketika Nola menghentikan langkah, Moira juga ikut menghentikan langkah.

"Ngapain ngikutin?" tanya Nola dengan sok berani.

"Ngikutin? Siapa? Aku? Eh, Nola. Kita kan sekelas pagi ini. Gimana sih? Aku pikir, selama beberapa hari kita sama-sama, kita bisa jadi -,"

"Gak!" potong Nola cepat.

Moira mengangkat kedua tangan, layaknya buron yang tertangkap. Berjalan lurus melewati Nola seraya mengatakan di balik senyuman, jika dirinya sangat takut dengan sikap galak Nola.

Nola yang membelakangi Moira mencebik kesal. Ia mengentakkan kaki ke atas keramik. Dengan kedua tangan yang mengepal dan wajah yang bersungut-sungut.

Setelah puas melampiaskan kekesalan, Nola kembali melangkah menuju kelas. Ia duduk di tempat kemarin, samping Moira. Sebenarnya jika masih ada tersisa kursi lain, Nola pasti menempatinya. Sayangnya semua sudah terisi, terisi tas yang bertengger di atas meja. Meski demikian, itu sama saja dengan pertanda, seperti patok.

Tidak lama, mahasiswa berbondong-bondong masuk ke kelas. Melihatnya, Nola langsung mempersiapkan buku dan pulpen ke atas meja. Sekitar lima menit menunggu, dosen yang ditunggu belum juga masuk kelas.

Sementara mahasiswi, sibuk memoles lipstik, memakai parfum, dan bahkan mempertebal bedak.

Apa mungkin Kavi sudah kembali?










Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang