Bab 9

220 33 0
                                    

"Kenapa, Tor! Kenapa kita ke sini! Tor! Tor! Jawab, Tor!" Air mata Nola jatuh bersama air hujan yang membasahi pipinya.

Ditarik-tariknya jaket Tory tanpa jeda. Sayangnya laki-laki itu masih membisu, ia malah lanjut menarik Nola. Mereka berlari menuju UGD yang tidak jauh dari tempat parkir. Di depan pintu UGD, ada paman Subhan dan Acil Tini berdiri rapat ke dinding, berlindung dari tempias air hujan. Wajah mereka tampak panik sekaligus kuyu.

"Papa?" tanya Nola setengah berteriak melawan suara hujan yang menjatuhi atap rumah sakit.

Acil Tini hanya mengangguk. Air matanya tidak bisa lagi disembunyikan. Begitu juga dengan Nola yang langsung dipeluk tetangga baik hatinya itu.

Air mata dan hujan sama derasnya. Paman Subhan dan Tory bukan tidak mau, tetapi tidak mampu meredakan tangis dua perempuan yang sedang berpelukan itu. Acil Tini sangat pilu memikirkan nasib Nola, yang sudah dianggapnya seperti anaknya juga selama ini.

Baik acil Tini maupun paman Subhan, mereka kompak untuk menutup mulut. Hanya seutas kata sabar yang rajin mengalir, meski berat bagi Nola untuk melakukannya.

Setelah beberapa menit, barulah gadis itu menarik diri. Bersandar ke dinding hingga melorot ke ubin rumah sakit. Tory berjongkok menggenggam tangannya, menguatkan sekuat tenaga.

"Papamu pingsan. Ini masih dicek dokter, semoga hasilnya baik-baik saja." Kalimat paman Subhan berhasil meredakan sedikit tangisan Nola, yang berangsur berubah sedikit demi sedikit menjadi panjatan doa.

Tidak lama, seorang perawat memperbolehkan Nola untuk masuk. Ditemani Tory, Nola melangkah dengan dirangkul. Lututnya lemas bukan main. Mereka mengekori perawat yang berseragam batik berwarna biru.

Menuju salah satu meja yang mana sudah ada seorang laki-laki yang mengenakan jas dokter duduk di sana. Terlihat stetoskop tergantung di lehernya.

"Silakan duduk, saya dokter Mario. Saya sudah memeriksa pasien atas nama Nugianto Nahdan, dan hasilnya beliau terkena gagal ginjal."

Bagai disambar petir, Nola terdiam. Pandangannya mengabur dengan tubuh gemetar. Pipinya yang memucat kembali basah.

Papa gagal ginjal?

Nola merasa di sekelilingnya berputar tak tentu arah, hingga semuanya menghitam.

***

Samar Nola mendengar namanya di panggil. Hingga suara entakkan meja menyadarkannya sepenuh jiwa. Buru-buru merapikan rambut yang pagi tadi hanya disisir seadanya.

"Cuci muka dulu sana," suara Kavi membuat Nola menggeleng.

Ia memperbaiki posisi duduk, menjadi tegap dan dengan cekatan membuka buku catatan serta tidak lupa mengambil pulpen.

Kavi masih berdiri di sampingnya dengan tatapan tajam. Gadis itu pun kalah. Membuang napas kasar, tetapi tidak sekasar ketika ia meletakkan pulpen ke atas meja yang membuat seisi kelas beristigfar.

Berdiri dan melangkah cepat menuju toilet. Di sepanjang koridor ia memijit batang hidung. Dunianya serasa runtuh. Pikirannya hanya tertuju pada papa yang harus menginap di rumah sakit.

Di toilet, depan wastafel ia memandangi dirinya sendiri yang terpantul dari cermin setengah badan. Kaos polos putih yang dilapisi sweater berkancing, dan celana jin model kulot ¾, ah, seperti tidak niat kuliah.

Lekas ia mencuci muka dan memperbaiki sedikit tatanan rambut. Ketika hendak keluar, Moira masuk bersama dua orang temannya sambil tertawa terbahak-bahak. Namun, begitu melihat Nola, tawa mereka semua lenyap. Berubah menjadi senyum licik.

"Memang, kalau takdir itu gak ke mana, ya!" Ucapan Moira otomatis membuat seorang temannya keluar dari toilet untuk berjaga di luar, sedang seorangnya lagi menemani Moira di dalam.

"Kamu siapa sih? Aku tuh gak kenal sama kamu," Nola memberanikan diri bersuara meski pelan.

"Paling males sih sama yang namanya kenalan. Aku paling benci ada orang yang gak kenal sama aku! Tapi gak apa-apa deh, pengecualian untuk kamu. Kenalin aku Moira Ashlyn."

Baru saja Nola membuka mulut hendak menyebutkan nama, tetapi Moira lebih cepat menutupnya dengan jari telunjuk seraya menyebutkan nama lengkap Nola.

Moira mengaku tidak akan menyakiti Nola jika ia bersedia berjanji untuk menjauhi Kavi, sebab ternyata dosen muda tersebut adalah mantannya.

"Bahkan tanpa kamu minta pun, aku gak mau dekat Kavi. Dia dosen aneh dengan sederet tugas anehnya. Jujur, aku benci sama dia," aku Nola.

Moira memanfaatkan kesempatan. Ia meminta Nola untuk membolos di setiap mata kuliah Kavi. Termasuk saat ini. Dan kebetulan Moira sedang ada tugas, maka Moira langsung menggandeng Nola menuju salah satu kelas kosong untuk mengerjakan tugasnya.

Moira duduk di semester empat, tetapi untuk mata kuliah Kavi, Operasional Tata Boga, ia harus mengulang bersama anak semester dua. Namun, entah bagaimana Kavi mengaturnya, hingga Nola dan Moira tidak pernah sekelas.

Nola duduk di depan Moira. Ia mengerjakan sepuluh soal esai yang sebelumnya sudah pernah dikerjakan. Hanya saja Moira memintanya untuk mencari jawaban yang lain. Bagaimana bisa? Sedangkan Nola mendapatkan nilai A+.

Memusingkan!

Hampir satu jam berlalu, tersisa satu soal lagi, tetapi Moira sudah berdiri mengusirnya.

"Sana ke kelas! Aku sudah dapat semua jawabannya," ucap Moira diiringi tawa menjengkelkan.

Secarik kertas yang ada jawaban dari Nola tadi pun diremuk dan dilemparnya ke sembarang arah. Nola ingin sekali memukulnya, tetapi urung. Mana bisa ia memukul. Untuk mengumpat di depan orangnya saja tidak berani.

Akhirnya Nola memutuskan untuk meninggalkan kelas. Setengah berlari menuju kelasnya yang ternyata sudah kosong. Buru-buru ia mengemasi barang di atas mejanya, sebab harus ke rumah sakit.

"Saya minta kamu cuci muka, bukan lanjut tidur." Ucapan Kavi sukses mengejutkan Nola. "Dari mana kamu?" lanjutnya.

Nola sempat terdiam sejenak, setelah itu berlari melewati Kavi yang berdiri di ambang pintu seraya mengucapkan kata maaf. Tidak dihiraukannya panggilan Kavi.

Di basemen, gadis itu duduk di atas motor Tory dengan perasaan tidak tenang. Diteleponnya berkali-kali sahabatnya yang tidak pernah absen menemaninya itu. Hingga panggilan ke dua puluh, Tory tidak kunjung menjawab.

"Nola," teriak seseorang yang tidak lain adalah Tory.

Ia berlari dari pintu basemen. Nola pun lebih memilih untuk memburunya agar bisa melesat secepat mungkin menuju rumah sakit, daripada menanyakan kenapa teleponnya tidak diangkat.

Hanya sepuluh menit, mereka tiba di rumah sakit. Di kamar nomor 45, papa berusaha menyuap makanannya sendiri.

"Pa, biar Nola aja," ucap Nola begitu masuk.

Dilepasnya tas sembarangan, mencuci tangan lalu menyuapkan makanan hingga habis. Papa mengaku sudah merasa sehat. Badannya tidak lagi terasa lemas. Tory ikut menyemangati papa seperti Nola.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Tory berdiri lebih dulu, membukanya. Sementara Nola meletakkan piring dan gelas yang sudah kosong ke sudut ruangan.

"Om, semoga cepat sembuh." Sebuah suara yang tidak asing bagi Nola.

Dengan cepat gadis itu berbalik dan terheran-heran. Kavi!

Bagaimana bisa ada di sini?



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang