Gebrakan meja membuat dua sahabat itu memecah peluk. Seusai menghapus air mata dan menstabilkan napas, Nola berjalan menuju laptop, menyalin data ke dalam diska lepas, kemudian menyerahkan kepada sekelompok cewek-cewek yang tidak dikenal Tory.
"Maaf, belum selesai," ucap Nola pelan.
Sontak membuat mereka menebar kekecewaan yang terlalu didramatisi hingga mengundang petugas perpustakaan datang untuk mengusir.
Salah satu di antaranya pun melunak, memberikan waktu tambahan selama satu jam sekaligus enggan menerima diska lepas yang disodorkan Nola. Setelah itu ia pergi, para anggotanya pun mengekor. Satu pun tidak ada yang melayangkan ucapan terima kasih. Bahkan terdengar kalau nanti malam mereka akan nongkrong di kafe 0A.
"Siapa?" tanya Tory yang sejak tadi berdiri dalam tingkat penasaran yang tinggi.
"Bukan urusanmu." Jawaban Nola mengundang Tory untuk menyelami rasa penasarannya semakin dalam.
Ingin saja menginterogasi, tetapi melihat Nola yang duduk dan kembali sibuk dengan laptop dan bukunya, mengurungkan niat Tory.
Laki-laki itu memilih pergi tanpa pamit. Pikirnya, Nola pasti tahu ke mana ia akan mencari apabila perlu.
Nola melanjutkan tugas para perempuan tadi dengan air mata yang bersimbah. Tugas teman-teman sekelas, bahkan tugasnya sendiri belum tersentuh satu pun.
Otaknya mati-matian bekerja. Belum lagi harus berperang dengan batin yang terus-menerus merutuk sifatnya. Terpaksa di beberapa soal, ada yang harus diisi sesuai dengan imajinasi. Sebab waktu tidak mengizinkannya untuk menjelajah buku maupun internet.
Satu jam lewat sepuluh menit sudah terlewat, Nola bergegas menuju kelas. Kavi yang sedang mengabsen, memberi isyarat agar gadis itu menunggu di ambang pintu.
"Papa?" tanya Kavi pelan nyaris berbisik.
Dosen itu berdiri sangat dekat, hingga membuat Nola terpaksa mundur selangkah.
"Bukan," jawab Nola juga dengan pelan.
Bibirnya yang mungil seperti tidak terbuka saat mengatakannya. Ia tunduk memandang tujuh buku yang berada dalam dekapan. Dan rupanya salah satu buku tersebut menarik perhatian Kavi.
Dosen itu langsung balik badan menagih tugas untuk hari ini kepada mahasiswa di kelas. Sontak seluruh mahasiswa pun berseru menolak. Mereka minta tambahan waktu sedikit lagi.
Namun, bukan Kavi namanya kalau tidak mencipta kekesalan. Ia berjalan cepat, menarik satu per satu kertas folio bergaris yang masih digores tinta oleh mahasiswa.
Masing-masing menuliskannya berdasar tulisan yang berasal dari gawai. Hingga Kavi mengambil beberapa gawai untuk memastikan.
Di antara sepuluh gawai yang berhasil direbut, ada empat gawai yang belum sempat dihapus isi chat-nya. Dan semua chat itu berasal dari Nola.
Nola yang masih berdiri menanggung beban tas yang penuh buku, begitu juga dalam dekapannya, berjalan ke meja mendekati Kavi ketika dipanggil.
Tanpa bersuara, Kavi menjejerkan empat gawai yang menerima pesan dari kontak yang bertuliskan namanya, Nola. Berikut dengan isi chat yang merupakan jawaban untuk tugas hari ini.
Jantung Nola berdegup kencang, darahnya mengalir bebas hingga dengkul tidak lagi bisa terasa. Bahkan telapak kakinya pun terasa melayang, anehnya beban semakin terasa.
"Letakkan bukumu di sini," perintah Kavi.
Tidak ingin ketahuan, Nola memeluk erat buku dalam dekapan sambil menggeleng. Ketika Kavi hendak mengambil, gadis itu mundur selangkah.
Kavi semakin curiga. Diambil paksanya buku tersebut dan diletakkan ke atas meja. Terlihat tujuh buku untuk mahasiswa semester empat.
Nola menunduk pasrah.
***
Setelah hanya menjadi penonton di kelas, dengan duduk di meja Kavi menyaksikan teman-temannya menjalani tes dadakan, Nola mengekor Kavi menuju ruangannya tanpa sepatah kata.
Sepertinya kosa kata Nola mendadak mengering, sekering rongga mulutnya. Berkali-kali menyiapkan hati akan hukuman, tetapi selalu gagal ketika teringat keinginan papa.
Tidak disangka di dalam ruang dosen sudah berkumpul para perempuan yang ternyata kakak tingkat. Awalnya mereka bahagia mendapat pesan dari kating yang memberitahu bahwa Kavi ingin menemui mereka di ruang dosen. Namun, setelah melihat Nola di belakang Kavi, sorot mata itu mendadak lebih mengeringkan dari seekor singa jantan yang tengah kelaparan.
Tanpa basa-basi, Kavi menggunakan meja rapat di tengah ruangan untuk menyampaikan suaranya. Nola tidak sanggup mengangkat wajah, sebab tatapan mereka seperti laser senjata otomatis.
Di tengah-tengah ucapan Kavi, Nola menyela dengan meremas pergelangan tangan dosen itu tanpa suara. Hanya sorot matanya yang berbicara. Ya, mata yang memerah melindungi hati yang sedang kacau.
"Kesempatan!" Terdengar satu kata yang berembus sekelebat.
Nola menarik tangannya, juga bangku yang sengaja diletakkan Kavi sangat dekat dengan bangkunya.
"Ada apa dengan Nola? Dan kenapa harus Nola?" tanya Kavi yang sontak membuat Nola menoleh ke arahnya.
"Saya yang bersedia," jawab Nola cepat.
"Bersedia? Apa itu tangis kebahagiaan karena mendapat setumpuk tugas?" tanya Kavi yang rupanya memerhatikan tangisan dalam diam Nola.
Atau dosen itu sejeli itu memerhatikan mata Nola yang sembab?
Ada jeda sejenak sebelum Nola membenarkan sekaligus mengutarakan argumen dibalik persetujuannya, "Sebab dengan banyaknya tugas, saya bisa belajar lebih banyak dan itu membuat saya untung. Yaitu nilai yang nyaris sempurna."
Kavi terlihat lelah untuk melanjutkan suaranya. Ia mengakhiri setelah mengancam mahasiswi semester empat itu agar berhenti meminta Nola mengerjakan tugas mereka. Meski tidak ada perjanjian di atas materai, Kavi sangat berharap mereka bisa dipercaya.
Sebelum meninggalkan ruangan, dua orang di antaranya meletakkan bunga dan cokelat di atas meja. Sorot mata mereka tampak genit dan centil. Kavi sampai bergidik, meski melempar senyum yang kecut.
Nola ikut berdiri paling terakhir, tetapi tangannya ditarik. Kavi meminta untuk duduk sebab ternyata urusannya dengan Nola belum selesai.
"Saya harap ini yang terakhir. Benar-benar terakhir."
"Bisa. Seandainya kamu gak dekat-dekat saya lagi," sahut Nola mantap.
Kavi menggeser bangkunya mendekat, sangat dekat hingga tidak menyisakan jarak. Matanya menatap Nola dengan tidak santai.
"Siapa yang dekat-dekat kamu?" tanyanya dengan mencondongkan tubuh ke arah Nola.
Gadis itu pun memberi banyak ruang agar tidak sedekat itu dengan Kavi. Bisa-bisa jantungnya memompa dengan kecepatan di luar batas.
Hampir saja Nola keceplosan mengenai surat kaleng, untungnya ia masih sempat menutup mulut dengan cepat. Menggantikan dengan mengutarakan kata maaf.
Tidak ingin berlama-lama, Nola menyetujui permintaan Kavi dengan mengangguk-angguk. Setelah itu bergegas keluar ruangan ketika dipersilakan.
Berlari di sepanjang koridor menuju Tory.
Langit membiru perkasa sebab gadis pelanginya sedang datang untuk menemui, aroma hujan tercium melalui hamparan rumput yang menyembunyikan airnya. Rumput yang masih basah, membuat mahasiswa lebih nyaman duduk di bangku panjang yang tersebar di sekeliling taman. Termasuk Tory.
"Maaf," ucap Nola yang langsung duduk di sebelah Tory.
Napasnya masih tersengal. Diletakkannya tas ransel ke pangkuan dan meneguk air mineral dari botol minuman.
"Surat itu hanya satu dari sebagian yang aku pungut dari teras rumahku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]
Teen FictionBlurb: Kata Tory, Nola, sahabatnya si paling "gak enakkan" itu memiliki "dosa" di kampus Garuda Nusantara. Benarkah itu? Apa sebenarnya yang Nola rasakan akan kehadiran "si dosa"? ========================= Dimulai: 1 September 2022 Tamat: 30 Novemb...