Beberapa bulan sudah terlewati, pasang surut emosi dihadapi Nola dengan tangisan. Sebuah tangis yang hanya berani dipertontonkan ke seisi kamar.
Di semester ganjil kali ini, bukan hanya Kavi yang kerap memberi banyak tugas, melainkan hampir semua mata kuliah. Lelah yang bersarang terkadang hanya bisa diusir dengan pertemuan dokter dan istirahat selama sehari penuh.
Sebenarnya tidak ingin membuat papa semakin khawatir. Sebab bila Nola tidak ke kafe, papa yang menggantikannya. Pelan-pelan gadis itu membujuk papa untuk mencari dua orang karyawan tambahan. Namun, belum ada yang bisa menetap seperti karyawan yang ada. Rata-rata mengeluh lelah dan gaji yang kurang banyak.
Tidak bisa disangkal, rasa syukur kadang terasa kerontang hanya karena rupiah yang sedikit. Papa dan Nola belajar untuk memahami kondisi orang lain. Meski sangat memerlukan tenaga tambahan di saat seperti ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu kamar. Nola bangkit dari ranjang, segera membukanya. Rupanya Tory, ia datang bersama Moira. Satu keranjang buah-buahan diletakkan Tory di atas meja rias.
"Aku minta kalian cuma datang, gak perlu bawa buah-buahan," ucap Nola.
"Ih, pede banget! Buah ini untuk kami, mau ngerujak. Nih sambelnya," tukas Moira seraya memamerkan sambal rujak dalam kemasan botol.
"Kamu kenapa lagi, La? Masih belum sembuh juga? Bed rest aja lagi, sampai sembuh total," kata Tory yang menerima lemparan satu biji buah anggur hijau dari Moira.
Baru saja Nola hendak membuka mulut, ingin menjawab, tetapi Moira dengan cepat menyela. Perempuan itu menyinggung tugas yang berderet panjang bak gerbong kereta api.
Alhasil, Nola hanya tersenyum kecut, meski yang sedang makan jeruk adalah Moira. Tanpa diminta tolong, Moira berkata akan membantu. Namun, sebelumnya ia membujuk Tory agar mau ngerujak bareng di teras rumah Nola.
Nola yang masih harus menenggak obat itu terpaksa hanya menelan saliva, melihat dua orang di hadapannya asyik menikmati rasa masam, manis yang dibalut pedas.
Ekspresi keduanya ketika mencecap rasa rujak begitu menggugah selera. Namun, apa daya Nola hanya bisa duduk di kursi, sementara Tory dan Moira asyik lesehan.
"Nyantap," kata Tory menyuapkan sepotong jambu biji yang sudah dicocol ke sambal rujak.
Liur pahitnya Nola seketika memudar. Ia menginginkan lagi, tetapi Moira mengingatkan akan jadwal minum obat. Nola pun kecewa dibuatnya. Sementara Tory hanya angkat tangan, tidak berani menyalahkan perkataan Moira.
Daripada tersiksa karena tidak bisa ikut menikmati, Nola melangkah ke kamar. Mencoba membuka laptop meski rasa malas terlalu erat mendekap diri. Sambil menunggu bantuan dari Moira, ia mulai membaca tugas dari Kavi.
Astaga! Banyaknya! Baru sehari gak masuk!
***
Usai makan malam, Nola tidak lupa minum obat. Lima strip obat dari dokter yang sudah habis setengah itu diletakkan kembali ke wadah yang berada di atas meja makan. Papa yang menjadi teriris.
Tidaklah ada orang tua yang sanggup melihat anaknya sakit. Hampir semua orang tua jika melihat anaknya sakit, selalu berharap sakit di anaknya itu dipindahkan ke dirinya saja. Termasuk papa. Tidak peduli dengan penyakit gagal ginjal yang diderita, diam-diam hatinya berdoa agar penyakit Nola bisa dihibahkan ke dirinya saja.
Segera memeluk anak gadisnya dari belakang. Mengecup pucuk kepala dan tidak lupa mengucapkan kata maaf. Membiarkan hatinya menangis dengan puas. Lalu membungkus air mata agar tidak luruh melalui mata.
"Maaf untuk apa, Pa?" Sesungguhnya tidak ada kesalahan sedikit pun yang telah papa perbuat.
Jika ia meminta maaf atas kematian sang mama, maka itu tidaklah benar. Jika ia meminta maaf untuk keadaan, itu juga tidaklah benar. Namun, rasa bersalah tidak bisa ditepis. Dekapan semakin erat, berharap seluruh rasa yang menghambat bisa rontok dengan mudah.
"Gimana kuliahmu, Nola?" tanya papa kemudian.
Ia kembali duduk di kursinya semula. Baru kali ini Nola memerhatikan kerutan di wajah papa yang kian kentara. Betapa kesibukan sukses merenggut perhatian-perhatian kecil yang seharusnya bisa di tumpahkan. Seketika Nola menjadi paham bagaimana rasanya menjadi papa yang dulu. Mungkin untuk itulah permintaan maaf papa.
"Kuliah? Lancar. Tugas? Jangan ditanya," jawab Nola seraya tersenyum, dan turut mengundang senyum papa.
Obrolan mereka pun semakin larut bersama waktu. Berpindah tempat ke depan televisi sambil makan keripik singkong. Nola jadi tidak bisa berhenti untuk melihat kerutan papa ketika papa sedang berbicara. Sebanyak itukah usia papa? Seberat itukah beban papa?
Ia jadi teringat akan niatnya membahagiakan sang papa dengan lulus kuliah melalui percepatan. Seketika, kobaran api semangat menyala kembali.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pagar. Papa segera beranjak. Tidak berselang lama, masuk kembali, kali ini ada Kavi yang membuntuti. Dosen itu sengaja mampir sepulang dari kafe. Ia membawakan terang bulan keju dan ketan hitam. Tidak lupa satu rantang berisi sup yang berisi ayam, jamur, dan jagung diletakkannya juga ke meja.
Papa menyilakan Kavi duduk di sofa depan televisi. Satu sofa bersama Nola. Sementara papa yang tidak mau dibantah itu, pergi ke dapur untuk membuat teh hangat.
Karena tidak mau dibantah, Nola terpaksa mengatakan kalau Kavi sedang tidak haus. Sambil menginjak jempol kaki dosen itu. Mata Kavi sempat membulat, mengatup bibir kuat-kuat.
"Haus, saya haus, Pak. Teh hangat juga gak apa-apa," ucap Kavi yang menahan sakit.
Mata Nola memelotot seketika, ia segera berdiri hendak membuatkan teh hangat. Namun, lagi-lagi papa tidak mengizinkan. Dan mata yang kecil itu kembali memelotot. Kavi malah tersenyum, lalu membandingkan lebar mata Nola yang sedang memelotot dengan matanya yang tidak memelotot; sama.
Bibir Nola pun mengerucut, ia duduk memunggungi Kavi. Bantal kecil tidak lepas dari pangkuan. Obrolan Kavi enggan ditanggapinya. Bahkan tidak menoleh sedikit pun ketika Kavi membuka kotak terang bulan dan rantang sup.
Aroma keju dan sup memanggil-memanggil tanpa jeda. Padahal perut Nola sudah terisi ayam rica-rica buatan papa. Satu menit, Nola berhasil menahan godaan. Dua, tiga, sampai lima menit, runtuh sudah benteng pertahanan.
Nola mencomot sepotong terang bulan. Mengunyah sambil menikmati keju yang tidak bisa tertolak di mulut. Tanpa meledek, Kavi justru menyuruh Nola untuk makan yang banyak.
"Makan yang banyak, biar kuat ngadapin tugas," ucap Kavi yang lagi-lagi mendapat pelototan mata Nola.
Seandainya papa tidak datang dengan secangkir teh hangat, tawa Kavi pastilah sudah lepas tak terkendali. Akhirnya ia hanya mampu menahan tawa dengan kepalan tangan. Lalu pura-pura berdehem sebelum menerima cangkir dari papa.
Nola asyik menikmati semangkuk sup setelah menghabiskan dua potong terang bulan. Tidak peduli dengan obrolan dua laki-laki di samping. Sesekali Nola melirik dari ekor mata, papa tertawa renyah tanpa beban. Perasaan gadis itu pun menjadi hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]
Teen FictionBlurb: Kata Tory, Nola, sahabatnya si paling "gak enakkan" itu memiliki "dosa" di kampus Garuda Nusantara. Benarkah itu? Apa sebenarnya yang Nola rasakan akan kehadiran "si dosa"? ========================= Dimulai: 1 September 2022 Tamat: 30 Novemb...