Bab 11

215 30 0
                                    

Seperti tidak mendengar ucapan Nola, Kavi malah mengulangi kalimat terakhirnya, "Besok temui saya di kampus." Kemudian dosen muda itu melesat dengan motornya membelah angin malam.

Gadis yang mengenakan kaos merah muda itu berteriak sepuasnya dalam hati. Kedua kakinya bergantian menginjak-injak keramik putih teras kafe. Sedang tangannya mengepal dan meninju udara.

"Woy, ngapain?" Sapaan Tory menghentikan gerakan Nola.

Ia menunjuk bekas bayangan Kavi berakhir, "Itu ada dosen aneh! Dasar aneh! Benci! Benci! Benci!"

Tory yang baru datang, melangkahkan kaki di tangga, langsung menoleh ke arah telunjuk Nola. Ia tidak melihat sosok Kavi. Langsung membawa Nola masuk kafe, khawatir sahabatnya sawan karena terlalu sering dizalimi Kavi.

Ditemani segelas choco hazelnut dan seporsi risoles mayo, Tory mendengarkan curhatan sahabatnya. Ia tahu betapa pelik pikiran Nola, tetapi sebenarnya justru pikiran tersebutlah yang menyesatkan Nola.

"La, coba deh kamu anggap ini bukan masalah. Tugas Kavi, itu jalanmu untuk jadi pintar. Buktinya, dengan banyaknya tugas yang kamu kerjakan, nilaimu hampir sempurna semuanya. Dan Kavi, anggap aja dia kakak. Perhatian apa salahnya sih?"

Nola menolak keras begitu mendengar saran dari Tory, apalagi menganggap Kavi sebagai kakak. Oh, tidak bisa! Dia adalah orang aneh dengan sederet tugas anehnya!

Malam semakin lelah, bulan yang sejak tadi menjadi idola kaum romantis tampak tidak sabar ingin memamerkan sinarnya pada belahan bumi yang lain.

Tory asyik bermain gim daring di ponsel bersama teman-teman yang selalu hadir setiap malam di kafe. Sementara Nola sibuk di dapur. Sebenarnya ingin saja papa ke kafe seperti biasa. Namun, Nola melarang. Ia ingin papa fokus pada kesehatan.

Tepat pukul sebelas, saat pengunjung sudah tidak ada yang datang lagi, Nola membalik tulisan pada papan acrylic yang menempel di pintu kaca menjadi 'Tutup'.

Tersisa pengunjung di meja sepuluh, yang mana mereka semua adalah anggota Tory. Seperti biasa, Nola mengumumkan kafe akan segera tutup dengan suara nyaring yang kemudian mendapat sorakan kekecewaan. Sebab permainan mereka masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk selesai.

Tidak jarang beberapa orang dari mereka membantu merapikan meja dan kursi ketika melihat hanya Nola yang tersisa, karena dua orang karyawan sudah pasti diminta Nola pulang sebelum pukul sebelas lewat tiga puluh.

***

Nola mematut dirinya di depan cermin. Blouse biru muda lengan panjang dengan kerah V neck dan rok biru dongker di bawah lutut dipilihnya untuk dipadukan bersama sepatu kets putih kesayangan, yang merupakan hadiah terakhir dari mendiang sang mama. Yang dipakainya hingga saat ini. Kuliah, jalan-jalan, bahkan di kafe, sepatu itu selalu menghiasi kakinya.

Setelah sarapan dan pamit pada papa, Nola menunggu Tory di teras rumah. Jarak rumah mereka sebenarnya hanya sekitar lima menit. Namun, Tory harus mengantar bunda terlebih dahulu ke kantor. Mengharuskan Nola menunggu lima belas menit bahkan lebih.

Sejujurnya, Nola tidak ingin merepotkan Tory. Ia bersikeras hendak membawa motor sendiri. Namun, papa merasa akan aman bila bersama Tory. Apalagi jika mengingat keakraban keduanya.

"Cewek, nunggu jemputan, ya?"


Dengan helm tanpa kacanya, karena sudah mengenakan kaca mata hitam, Tory tersenyum dari atas motor. Nola pun bergegas naik ke jok belakang.

Jalanan Kota Tepian memang tidak semacet Jakarta, tetapi padatnya kendaraan yang merayap di jalan terkadang bisa juga menunda jam kedatangan seseorang. Seperti Nola dan Tory pagi ini.

Begitu tiba di basemen, Nola langsung berlari meninggalkan Tory yang sudah terlambat dari tiga puluh menit yang lalu, tetapi masih santai.

Nola menekan angka empat pada papan tombol lift dan langsung menuju ruang dosen. Sebelum membuka pintu, ia menyempatkan untuk mengatur napas terlebih dahulu. Merapikan rambut yang diikat sebagian serta baju.

Pintu dibuka, terlihat Kavi sudah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja panjang di tengah ruangan. Karena kursi menghadap pintu, maka Kavi langsung berdiri dan menarik Nola menuju ruang Praktik. Saat itu juga Moira melintas hendak menuju kelas. Matanya tertuju pada genggaman tangan Kavi dan Nola.

Berbeda dengan Nola yang menyipitkan kedua matanya ketika melihat Moira, Kavi justru terang-terangan menganggap Moira tak kasat mata. Mereka tetap melangkah tidak peduli dengan panggilan Moira. Sebenarnya ingin Nola menghentikan langkah atau sekadar melepaskan tangannya dari genggaman Kavi, tetapi genggaman terlalu kuat.

Tiba di ruang praktik, Nola diminta mengenakan kelengkapan seragam praktik. Gadis itu pun terkejut, sebab tidak membawa dan tidak menyangka jika ia harus praktik hari ini. Sebab uang praktikum belum dibayar.

Kavi duduk dengan kaki kiri menumpu kaki kanan. Melihat Nola yang mematung tanpa sepatah kata, lantas ia mulai berhitung. Jika sampai hitungan ketiga Nola tidak bergerak, maka secara otomatis nilai E di depan mata.

Tanpa kelengkapan seragam, Nola bergegas menuju meja untuk membuka selembar kertas yang berisikan menu yang harus dibuat. Alisnya mengernyit begitu membaca.

Vanila latte dan potatoes wedges.

"Waktumu hanya dua puluh menit."


Sontak membuat Nola tidak mau berpikir lebih jauh. Ia langsung mengambil semua bahan dalam lemari. Mengolahnya dengan cekatan. Tidak menghiraukan Kavi yang memilih menontonnya secara dekat.

Di menit ke sembilan belas, dua menu sudah tersaji. Rapi dengan tatanan yang sederhana, tetapi estetik. Kavi menggeser posisi Nola di balik meja praktik. Mengambil piring dan gelas untuk dituangkannya potatoes wedges yang tersisa dalam wajan dan menuangkan vanila latte yang tersisa dalam blender.

Dengan isyarat mata, Nola langsung membawa seporsi menuju meja yang berada persis seperti ruang makan. Sedangkan Kavi juga membawa satu porsi. Tidak sampai di situ, Kavi meminta Nola duduk di hadapannya untuk menyantap masakan bersama-sama.

Belum saja Nola menyentuh makanannya, gawainya menjerit minta diangkat. Nola membedakan nada dering darurat dan tidak, sehingga tanpa persetujuan Kavi, ia langsung berlari ke salah satu kursi tempatnya meletakkan tas.

Dan jelas, nada dering itu adalah panggilan untuk nomor yang tidak disimpan. Begitu menerimanya, Nola langsung berlari keluar ruangan. Lagi-lagi Kavi hanya mampu terdiam.

"Kenapa sih itu anak? Dikit-dikit kabur," gumamnya.

Nola berlari menuruni anak tangga karena lift sedang menanti seseorang yang seperti melangkah lambat di lantai dasar.

"Wah, wah, wah! Ada siapa nih!" Suara itu memaksa Nola untuk berhenti di anak tangga.

Dengan langkah pasti, Moira menaiki dua anak tangga hingga berdiri berhadapan dengan Nola. Sayangnya Nola tidak punya banyak waktu. Tanpa ragu ia mendorong keras kakak tingkat itu hingga jatuh terguling.

Nola sempat terkejut, tetapi pikirannya kembali ke papa yang berada di salah satu supermarket.

"Maaf!" teriak Nola seraya kembali melesat, setelah memastikan Moira tidak apa-apa.





Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang