Bab 5

277 41 0
                                    

Tory langsung menyambar jemari Nola yang sudah mengambang diudara siap menerima diska lepas yang disodorkan Moira. Ia terpaksa menyeret sahabatnya yang sepenuh hati ingin membantu Moira.

"Lepas, Tor!" geram Nola yang tidak dihiraukan.

Keluar pintu selatan, terus berjalan melewati area basemen hingga tiba di pintu utama.

"Gak lagi, La! Cukup!" bentak Tory akhirnya melepas genggaman.

"Please, La. Jangan lagi ngerjain tugas orang, apalagi cewek sinting yang tadi. Oke! Kamu baik hati, rajin menolong, gak pelit, tapi! Tapi lihat-lihat dulu lah," ucap Tory serius. "kamu bukan perawat, bukan dokter yang harus selalu membantu orang yang terluka. Kamu itu cuma bantu mereka makin bodoh," lanjutnya lagi.

Nola memperbaiki posisi tasnya yang melorot dari bahu. Kalimat Tory membuat perasaannya semakin kacau. Bagi Nola, menolak berarti siap menghadapi risiko.

Tanpa menatap Tory, ia melangkah ke dalam. Dengan langkah yang lemah, tetapi pasti, Nola tidak menghiraukan panggilan sahabatnya.

Yang tadinya meminta Nola untuk berhenti, mendadak berubah, "Nanti malam aku ke kafe. Aku ke kelas dulu!"

Tory pun langsung melesat menuju kelas melalui pintu timur, karena ia menerima pemberitahuan melalui WA grup kelasnya.

Nola hanya menangkap kalimat terakhir. Sedangkan janji akan ke kafe, itu mustahil terjadi. Kecuali jika Tory memang sedang melewati kafenya.

Karena tidak tahu hendak ke mana, langkah Nola berhenti di depan lift. Di kanan dan kiri, lorong yang dipenuhi pintu-pintu wewenang masyarakat kampus. Perpustakaan kampus, auditorium satu dan dua, sarana olahraga, koperasi yang satu-satunya menjual jasa fotokopi, ruang kesehatan, ruang konseling, ruang training, ruang pengembangan minat dan bakat, terakhir ruang rektor, dekan, dan ruangan-ruangan administrasi.

Di lantai dua khusus untuk jurusan ekonomi. Sedangkan apabila naik ke lantai tiga, ranahnya anak-anak jurusan TI dan di lantai empat, adalah kekuasaannya Kavi, ya, jurusan Manajemen Kuliner. Di mana di setiap ujung, ruangan yang terdekat dengan lift, adalah ruangan masing-masing ketua jurusan dan dosennya.

Telunjuk Nola mengarah ke angka empat pada papan angka di dinding samping lift.

Eh, ngapain aku ke atas? Gak ada kelas juga.

"Heh! Di sini rupanya," kelakar Moira dari arah pintu utama.

Nola berbalik. Kabur pun percuma, hanya bisa mengumpat dalam hati. Tubuhnya mulai gemetar. Otaknya memikirkan bagaimana cara mengatakan jika ia mau mengerjakan tugas Moira.

Dalam sekejap, entakkan high heels itu berhenti di hadapan Nola. Sorot mata yang tidak disukai Nola itu tidak bergeser sedikit pun. Moira semakin mendekatkan wajahnya, mengamati wajah mungil Nola. Bahkan ia memegang dagu gadis yang kini semakin gemetar. Menggerakkannya ke kiri dan kanan.

"Sok kecantikan!" ucapnya seraya menghempas kasar dagu Nola.

Membuat Nola mundur setengah langkah.

Tiba-tiba lift berbunyi, di balik pintu yang baru terbuka setengah, baik Nola maupun Moira dan rombongannya sudah bisa melihat Kavi.

Diam-diam Nola berharap pertolongan. Namun, tidak mungkin langsung memeluk Kavi atau berteriak minta tolong. Pada akhirnya, hanya mampu memundurkan langkah agar Kavi bisa lewat. Sebuah senyuman saling bersambut.

Perhatian Moira teralihkan. Ia mengekor Kavi tanpa ragu. Benar-benar seperti ekor, karena laki-laki yang menenteng buku di tangan kanannya itu berjalan dengan tatapan lurus tanpa suara.

Nola yang masih terpaku di depan lift, mendengar teriakan Moira yang berada di ambang pintu utama.

"Kita belum putus!"

***

"Eh, si Moira itu cantik juga, ya? Matanya itu loh, beeehhh nyalang! Pemberani tuh biasanya," tutur Tory di belakang Nola.

Nola berhenti memotong jamur kancing. Dengan tatapan masih tertuju pada pisaunya yang mengkilap, ia paham kenapa malam ini Tory tidak lupa dengan janjinya tadi siang, mampir ke kafe.

"Awas aja, kamu!" ancam Nola bercanda, sambil menodongkan pisaunya ke leher Tory.

Papa yang melihat, langsung mengamankan benda tajam tersebut. Nola hanya tertawa melihat kegugupan laki-laki yang tidak terasa sudah hampir tujuh tahun menemaninya itu.

Sontak membuat papa menggeleng sekaligus mengingatkan jangan bermain-main dengan benda tajam. Kalau kata orang tua, bahaya kalau ada setan lewat.

Dengan satu teguran papa yang mengingatkan untuk kembali fokus berlatih menu restoran yang akan diuji saat praktik besok, Nola pun berhenti main-main. Sementara Tory pamit hendak membantu dua karyawan yang sedang membersihkan meja, karena kafe sudah tutup.

Makanan berbahan dasar daging sapi itu sudah hampir jadi. Giliran Nola yang memasukkan irisan jamur kancing ke dalam teflon mendidih yang sudah terisi daging yang ditumis dengan bawang bombai dan bertaburkan bawang putih cincang. Setelah beberapa detik, ia lanjut memasukkan dua sendok tepung terigu, kaldu sapi dan susu cair. Agar semakin lezat, papa menambahkan merica, garam, dan peterseli. Masakan pun sudah jadi.

Nola melompat memeluk papa karena berhasil membuat masakan yang tadinya sempat dikira susah. Untungnya ada papa yang bersedia membantu disela kelelahannya.

"A'la carte beef stroganoff, sudah siap," pamer Nola sambil membawa sepiring ke depan Tory.

Kelelahan membantu dua karyawan yang sudah pulang bukanlah suatu penyesalan bagi Tory. Sebab ia bisa menikmati beef stroganoff, ditambah bersama Nola dan papanya.

Selera humor papa belum pudar, masih terasa begitu muda meski usianya bukan lagi tujuh belas. Itu juga yang menjadikan Tory betah bila bertemu dengannya.

"Kamu lagi naksir cewek, ya?" tanya papa tiba-tiba.

"Kok tahu? Om cenayang, ya?"

"Aku denger tadi kamu sebut nama Moira. Tuh, kan, namanya aja aku inget loh. Pasti cantik," goda papa.

"Can -"

"Gak! Gak ada, gak ada! Gak cantik! Gak ada cantik-cantiknya!" sela Nola cepat sambil mengunyah sepotong daging.

"Kamu cemburu, La?" bisik Tory.

Nola memelotot, menggeleng setelah minum seteguk akibat tersedak.

"Mana ada!" tegasnya.

"Kalau iya, juga gak apa-apa," sahut Tory seraya tertawa.

Papa yang hanya senyum-senyum melihatnya, angkat suara setelah Tory memadamkan tawanya yang lebar, "Ya, buat Om jadi apa-apa lah."

Nola menoleh ke arah papa dengan gelas yang masih menempel di bibir. Begitu juga dengan Tory, menoleh dengan garpu berisi daging yang sudah berada di ambang mulutnya.

"Ya, kamu kan belum kerja," ucap papa kemudian yang langsung bisa meredakan keterkejutan Tory.

Namun, tidak untuk Nola yang melanjutkan meneguk habis air putihnya.

Tory melanjutkan kisah mengenai Moira yang baru dua kali dijumpainya, tetapi sudah bisa menggambarkan persis seperti gadis galak tersebut. Nola yang malas mendengarkannya, berdiri dan melangkah ke dapur dengan alasan hendak mengambil air minum.

Ketika menunggu air memenuhi gelasnya melalui keran dispenser, tanpa sengaja Nola membaca notifikasi di gawai papanya yang tergeletak di meja samping dispenser.

"Yang terhormat Bapak Nugianto Nahdan, harap segera lunasi hutang anda sebesar 20 juta rupiah."









Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang