Bab 46

91 3 0
                                    

Napas Nola mulai menderu, sedang mata mulai memanas. Hingga akhirnya berani bertanya surat apakah itu seraya mengambilnya dengan tangan yang bergetar.

Papa meraih surat tersebut, membaca sebentar. Kemudian membenarkan isinya, bahwa papa dan Kavi telah sepakat di atas meterai. Dosen itu telah bersedia menjadi juru masak kafe selama waktu yang belum dipastikan. Karena normalnya pendapatan karyawan kafe adalah satu juta delapan ratus per bulan. Sementara biaya ganti rugi yang jika di seret ke ranah hukum, bisa mencapai ratusan juta.

Sekalipun semua ditanggung asuransi, tetapi menurut cerita papa, Kavi sendiri lah yang bersedia tanggung jawab.

Gejolak penolakan memenuhi tenggorokan Nola. Ia sempat terdiam sejenak. Sampai sentuhan tangan papa di bahu menyadarkannya.

"Iya, Nola setuju aja, Pa. Kalau menurut papa itu yang terbaik, Nola ikut aja."

Kalimat Nola mengakhiri perbincangan mereka. Gadis itu memilih untuk masuk ke kamar. Sementara papa kembali membereskan isi map dan menyimpannya ke dalam lemari.

Nola, apa yang kamu pikirkan!

Berkali-kali ia memukul bibir sendiri. Mondar-mandir di dalam kamar hanya karena tidak terima dosen itu akan bekerja di kafenya. Mengacak rambut dan berteriak dalam bekapkan bantal.

Pikiran gadis itu mulai tercemar. Betapa Kavi akan terus hadir dalam hari-harinya, baik pagi atau pun malam. Ia pun segera bergidik. Dan kembali tenang setelah pikirannya membawa pada senyuman papa yang mekar.

Jerit ponsel yang masih berada dalam ransel, membuat Nola cepat-cepat mencari benda pipih itu. Mengusap ikon hijau di atas layar yang sedikit retak.

Belum saja dua jam, Tory sudah menelepon. Menghamburkan kata rindu tanpa basa-basi. Nola yang sudah hafal, segera mendesak Tory bercerita agar rasa penasaran tidak tumbuh terlalu cepat.

"Aku cuma mau bilang, hormati keputusan papamu. Bersyukur masih punya papa. Lihat aku nih, kupikir anak yatim. Eh, ternyata papaku selingkuh," tutur Tory.

"Sabar, Tor."

"Oh, iya aku minta maaf. Beberapa kali kelihatannya marah sama kamu. Ingat gak waktu kamu ke kafe sama teman-temanmu dan pulangnya di antar Kavi, padahal harusnya aku yang jemput? Itu sorry banget kalau kamu kira aku marah sama kamu, sebenarnya gak. Aku marah karena papa, La."

Cerita pun berderai. Sesekali suara Tory tersendat. Kekecewaan memang tidak bisa ditangkis. Apalagi bagi Tory, bunda adalah segalanya.

Rupanya laki-laki itu sudah berkali-kali mengintai sang papa. Membuntuti begitu mendapat info yang entah dari mana. Dan benar saja, apa yang diceritakan bunda, adalah yang sebenarnya.

Habis sudah foto-foto pernikahan bunda yang selalu mejeng di dinding kamar, menghiasi nakas dan bufet-bufet dalam rumah. Foto itu dibakar habis oleh api, juga amarah.


Laki-laki itu merutuk diri sendiri yang dianggap bodoh karena sudah merindukan orang yang salah. Pantas saja selama rindu itu memeluk, kian terasa menjerat. Menyakitkan, memilukan.

Selama di kos Moira, rupanya Tory memendam kecewa juga pada bunda. Yang membiarkannya melihat berlama-lama foto sang papa. Bahkan waktu kecil, ia senang tidur sambil mendekap bingkai foto pernikahan bunda dan papa.

Namun, ia sungguh tidak mampu untuk berperasaan seperti itu terus-menerus. Memaafkan perbuatan bunda, tetapi tidak bisa memaafkan perbuatan papa seperti bunda.

Setelah hampir empat jam, Tory yang merasa sudah cukup lengang oleh unek-unek yang selama ini menyesaki kepala, mengakhiri telepon. Segera Nola mengisi daya ponsel dan kembali merebahkan diri di kasur, mengingat betapa beruntung dirinya ketimbang Tory.

***

Sebelum mata kuliah yang pertama dimulai, Nola dan Tory memutuskan untuk sarapan di kantin. Kalau Tory memang berencana sarapan di luar karena bunda ada rapat, jadi tidak sempat memasak. Sedangkan Nola, ia kesiangan.

"Kesiangan aja masih sempat makan di kantin," ledek Tory.

"Kesiangannya aku itu karena kamu jemput. Coba kalau aku naik ojek, masih bisa sarapan di rumah."

Tory mendengkus, tidak berminat melanjutkan topik pembicaraan yang ini. Sepertinya nyawa Nola belum sepenuhnya terkumpul.

Begitu pesanan makanan datang, mereka langsung menyantap nikmatnya roti bakar selai cokelat dan segelas susu cokelat hangat. Juga beberapa potong buah yang ikut dipesan, hanya karena tempat mereka duduk bersebelahan dengan kios penjualnya.

Setelah tersisa setengah susu cokelat dalam gelas, Nola mulai berdehem. Ia berniat untuk bercerita mengenai Kavi dan papa. Tory sudah memasang posisi siap, dengan kedua tangan berlipat di atas meja.

"Pagi," seru Moira yang langsung mengambil tempat duduk di samping Nola.

Nola menggeser kursi sedikit menjauh. Moira mendelik, ia tidak marah atau menggerutu. Hanya menyuruh Nola menarik kursi lebih jauh lagi. Tak lupa disela-sela kalimat, Moira mencecerkan tawanya. Hingga mengundang tawa Tory juga.

Sedang yang ditertawakan hanya bisa menatap mereka bergantian. Dan menyuruh Moira untuk menempati meja lain yang masih kosong. Tentu saja hal itu ditolak, sebab Moira memang sengaja ingin duduk bersama.

Bahkan pelayan kantin pun mengantarkan pesanan Moira ke meja. Tak mungkin bagi Nola untuk mengusirnya di saat ia tengah menikmati santapan.

Tory yang sejak tadi sudah duduk rapi, mendesak Nola untuk bercerita. Padahal gadis itu berharap agar Tory bisa bersabar. Sebab ia hanya ingin cerita itu cukup di dengar sahabatnya saja.

"Cerita apa?" serobot Moira setelah menyeruput kuah dari mi instannya yang beraroma ayam bawang.

Tanpa memerhatikan mata Nola yang memelotot tajam, Tory menjawabnya tanpa beban. Mendengarnya, Moira jadi mempercepat kunyahan dan ikut melipat tangan di atas meja. Bahkan ia juga menyimpan rambut di belakang telinga. Agar tidak ada yang bisa menghalangi suara Nola.

Nola menyimpan wajah dalam tangkup tangan yang bertumpu di meja. Lalu mencubit habis lengan Tory. Alih-alih membantu, Moira malah menyemangati Nola untuk mencubit lebih banyak dan lebih keras. Membuat gadis itu kembali kalem.

"Kamu kepo banget, ya," kata Nola tak habis pikir.

"Ya, gimana, ya? Namanya juga gosip. Gosip itu kaya asupan gitu. Kamu tahu gak kalau ada orang yang rela gak makan daripada gak ngegosip?"

"Kamu kan itu, Moi," celetuk Tory seraya tertawa keras.

Moira ikut tertawa meski ia tidak mengaku. Nola hanya melihat tawa itu tanpa bisa ikut tertawa. Setelah di desak Tory untuk ke sekian kali, akhirnya Nola mulai menarik napas.


Menceritakan tentang Kavi yang akan bekerja di kafenya, menggantikan papa. Sebagai bentuk tanggung jawab, dosen itu rela tidak di gaji. Selama kecerobohannya tidak diseret ke ranah hukum.

Serentak dua orang manusia yang sedang mendengarkan dengan saksama itu terkejut. Mereka tidak menyangka Kavi rela bekerja tidak digaji.

"Padahal dulu, Kavi itu selalu berpatokan sama uang. Gak bakal mau kerja, kalau gak ada uangnya." Ucapan Moira mengundang rasa penasaran.








Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang