Bab 55

80 4 0
                                    

Belum saja ada pengunjung berikutnya, terdengar protes dari sepasang muda-mudi yang kepedasan. Mereka mengeluhkan pelayanan kepada pramusaji yang hanya berdiri tertunduk di sisi meja mereka sembari meminta maaf.

Nola berlari menyambangi, kehadirannya bak pahlawan. Mula-mula tanpa merasa bersalah, ia bertanya kepada sepasang muda-mudi yang tengah menenggak habis air di gelas kedua. Senyum yang lebar berhasil menutupi setitik rasa gugup yang membawa getaran ke anggota tubuh.

Alih-alih menjawab pertanyaan Nola, mereka berdiri dan lantas pergi meninggalkan kafe tanpa mau membayar sepeser pun.

"Kafe norak! Pelayanannya gak becus!"

Pramusaji bersikeras untuk mengganti makanan pedas tersebut, tetapi mereka tidak kalah keras menolaknya. Sampai ke ambang pintu, pramusaji tetap memohon. Namun, mereka tidak goyah sedikit pun.

Nola menatap langkah mereka tanpa bisa berkata-kata. Hanya seutas kata maaf yang baru keluar dari mulutnya. Pintu kayu itu berdebam sesudah keduanya keluar.

Sementara pramusaji yang tadi dibentak-bentak segera mendatangi Kavi di dapur. Terdengar perdebatan mereka yang alot. Lalu hening kemudian, rupanya mereka berdua melangkah menyambangi Nola yang masih mematung.

"Kak Nola, ini tulisan Kakak gak salah, kan?" tanya pramusaji itu membawakan secarik kertas pesanan yang berisi tulisan tangan Nola.

Mata Nola mulai mengabur akibat air mata yang menumpuk. Tanpa menoleh, Nola membuka apron, menghempasnya ke atas meja yang masih dipadati dua porsi nasi ayam popcorn BBQ bertabur bon cabe dan empat gelas kosong.

Berlari ke teras kafe, sempat menabrak satu pengunjung yang tengah berjalan masuk ke kafe. Untungnya tidak ada yang terjatuh, meski pengunjung tersebut mengeluh sakit pada bahunya. Nola hanya mampu menguraikan kata maaf.

Air mata sudah luruh. Tanpa tujuan, ia terus berlari menyisiri tepi jalan raya. Merogoh saku jin ketika berhenti di salah satu warung pinggir jalan yang biasanya buka selama dua puluh empat jam. Memesan ojek motor menuju ke rumah.

Puas-puas menumpahkan air mata selama di jalan. Tanpa bertanya, sang pengemudi hanya fokus ke jalan setelah melihat dari kaca spion.

Tiba-tiba gawai di dalam saku jin bergetar. Nama Kavi terpampang di layar. Tanpa menghapus air mata, Nola menjawab telepon dari dosen itu.

Suara Kavi tampak khawatir, tetapi Nola hanya mengatakan jika papa tidak boleh tahu apa yang sudah terjadi, dan meminta Kavi memberitahukan seluruh karyawan agar tutup mulut. Hanya itu, kemudian gadis itu mengakhiri panggilan sekaligus mematikan daya gawai. Padahal di seberang sana, Kavi masih penasaran.

Sukar bagi dosen yang jika malam hinggap, berprofesi sebagai juru masak itu mengusir rasa penasaran. Ia kembali menelepon nomor Nola yang ternyata sudah tidak aktif. Ingin saja menyusul, tetapi tidak mungkin meninggalkan kafe.

Setibanya di rumah, papa yang sedang duduk di teras bersama om Rus, segera bangkit menyambangi anak gadisnya.

"Gak apa-apa, Pa. Nola lupa kalau besok ada tugas. Jadi mau ngerjain tugas, maaf, ya, Pa pramusajinya kurang satu," ucap Nola yang diam-diam sambil berharap; semoga Kavi gak nelepon papa.

Papa dengan cepat mengerti. Mengantar Nola sampai ambang pintu lalu lanjut mengobrol dengan om Rus. Yang bahkan Nola pun lupa menyapanya.

Nola bodoh! Nola bodoh! Argh! Bego banget sih kamu Nola! Ini semua gara-gara Kavi!

Berbaring di atas kasur, merutuk tiada henti. Penyesalan memang tiada guna. Kini ia hanya berharap papa tidak akan tahu berita ini.

***

"Emang kamu gak mikir sejauh itu apa?" tanya Moira yang baru saja menerima curahan hati Nola.

Suasana hati yang sedang tidak menentu, membuat bibir Nola dengan ringannya berucap apa saja pada siapa saja. Termasuk kejadian semalam dan niat hati yang sesungguhnya. Meski setelah mendengar ucapan Moira barusan, Nola kembali menelan penyesalan.

"Kalau aku sih udah curiga bakal kaya gini. Tapi belum sempat ngomong sama kamu," timpal Tory.

Nola semakin merasa tersudut. Betapa kacau dirinya yang tidak memikirkan risiko sebesar itu. Sebab rasa antusias terlalu menguasai diri. Untung saja semalam Kavi tidak menebar berita itu ke papa.

Lelah duduk, Nola berbaring di hamparan rumput berbantalkan ransel. Kelima jemarinya yang terangkat menghalau seberkas mentari pagi dari wajah. Rasa penyesalan perlahan memudar. Mengajak diri untuk berjanji tidak mengulanginya.

Moira ikut berbaring di sisi. Berucap setengah berbisik. Ia ingin membantu Nola. Gadis itu menoleh cepat, seraya langsung duduk.

Perempuan yang masih berbaring itu mengingatkan jika mau mengerjai Kavi, jangan libatkan kafe. Sekali pun memang hanya di kafe bisa mengerjainya.

"Setuju!" timpal Tory dengan gawai melintang di tangan.

Kedua jempol laki-laki itu terlihat sibuk di atas layar. Namun, telinganya masih bisa mencuri dengar percakapan Moira dan Nola.

"Kamu kok bisa main game sambil dengerin orang ngobrol? Kavi gak bisa gitu loh. Aku juga liat di instagram, katanya laki-laki itu gak bisa multi tasking." Ucapan Moira seakan menghantam dada Nola.

Gadis itu merasa perasaan asing kembali mengerumuni hati. Ia jadi perlu mengatur napas di balik senyum lebarnya. Melihat Tory dan Moira berdebat semakin perasaan itu membawanya jauh menyeberangi kenyataan.

Hingga beberapa menit kemudian, usai perdebatan, Tory yang sudah menyelesaikan satu permainan, mulai bertanya pada Moira mengenai rencana apa yang sebaiknya dilaksanakan.

"Gak ada rencana apa-apa. Cuma kalau mau ngerjain, bikin aja sesuatu yang seakan-akan memang kesalahan si Kavi."

Tory dan Nola kompak mengernyit. Mereka saling pandang dan bertanya dalam tatapan mata.

"Aih, kalian ini! Misal nih, ya, Kavi kamu suruh cuci piring, atau angkat piring kotor. Atau apalah gitu. Tapi ingat, gak ada yang nyangkut pesanan karena bakal berakibat fatal ke kafe."

Kali ini Tory dan Nola ber-oh ria. Gadis itu paham iseng tidak harus disusun melalui rencana. Akhirnya ia hanya bergumam, "Awas kamu, Kavi!"

Dan ketiganya bubar ketika satu per satu dari mereka mendapat info dari grup kelas masing-masing.


Tory melesat lebih dulu, disusul Moira. Sedang Nola masih berjalan dengan santai. Ia tahu, jika dosen yang akan mengisi mata kuliah kali ini akan datang terlambat seperti biasanya.

Baru saja hendak menapakkan kaki di pintu utama, ada yang menarik dari belakang. Nola berhenti tanpa menoleh, sudah tahu siapa dari aroma parfum yang tercium. Setelah mengatur napas yang tiba-tiba amburadul, ia berpaling. Semakin gelisah begitu melihat wajah Kavi, berusaha kabur, tetapi ada sesuatu yang menahannya.

Kenapa harus takut sih?

Gadis itu menghadapi sorot mata Kavi dengan mata tidak berkedip. Bahkan untuk menelan saliva pun rasanya sangat sulit. Tatapan mereka seakan membawa aliran listrik yang kuat.

"Napas," perintah Kavi pelan, nyaris berbisik.

Jantung Nola seolah berhenti berdetak. Merinding dibuatnya. Mengedip-ngedipkan mata berulang kali sebelum bertanya ada apa.

"Kamu mau cerita masalah kemarin?" tanya Kavi pelan.



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang