Bab 13

206 28 0
                                    

Angin sore kota Tepian menyapa lembut. Namun, tidak selembut para pengendara yang seperti berlomba siapa yang mencapai rumah lebih dulu.

Masing-masing memacu kecepatan sekaligus adrenalin. Di setiap lampu lalu lintas didominasi roda dua, sedangkan roda empat sibuk menekan klakson takut tidak kebagian lampu hijau.

Tepian Mahakam memang punya daya pikat tersendiri. Berlian hitam yang dibawa kapal tongkang bagaikan hiasan yang tidak pernah tidur. Setiap melewati tepian, tanpa sadar mata pasti akan memandang sungai yang airnya tidak lagi sejernih tahun delapan puluhan.

Nola yang duduk dibonceng, tatapannya mengiringi laju kapal tongkang hingga tertinggal jauh di belakang, sebab beban mereka jauh lebih berat daripada hanya sekadar beban seorang mahasiswa baru.

Tidak lama, tibalah mereka di depan rumah Tory. Laki-laki itu baru mengatakannya sekarang, jika bunda mengirimi pesan memintanya untuk segera pulang.

"Oh, yaudah santai aja. Aku gak apa-apa," ucap Nola seraya turun dari motor dan membuka pagar.

Seperti rumah sendiri, Nola langsung duduk di ruang tamu yang terletak di teras. Hanya berdinding batu bata ekspos dan beratapkan kanopi transparan yang menyatu dengan carport. Sementara Tory masuk ke rumah, menemui bunda.

Rasa lelah tidak bisa ditoleransi apalagi ditepis. Sejak pagi sampai sekarang hampir magrib, Nola belum pulang ke rumah. Dan itu membuatnya setiap saat selalu menelepon papa hanya untuk mengecek kondisi. Beruntung papa termasuk pria yang mandiri. Entah karena terpaksa atau memang sudah mandiri sejak lama.

Tubuh Nola kian lama kian melorot di sofa hijau daun. Hingga akhirnya ia mengambil posisi baring, tanpa sadar matanya terpejam untuk waktu yang lama. Hingga bunda dan Tory keluar bersama-sama.

"Nola," sapa bunda halus.

Tangannya mengusap dahi Nola. Salah satu hal yang sangat Nola rindukan dari mamanya. Ia pun mengerjap beberapa kali, kemudian langsung duduk mengucek mata.

"Maaf, ya, kamu harus ikut ke sini. Printernya rewel pas bunda ada kerjaan. Bunda enggak tahu harus diapakan, makanya minta tolong Tory."

"Kamu pulang sekarang, La? Ayo aku antar," ucap Tory yang sudah berjalan menuju motor.

"Hus! Kamu ini, sudah enggak bilang ada Nola di depan, malah mau diajak pulang. Belum dikasih minum ini. Nola, kita makan dulu, ya?" tawar bunda hangat.

Kedua perempuan itu bergandeng tangan masuk ke rumah. Menuju ruang makan yang terlihat dari ruang keluarga. Di meja makan sudah tersaji sayur asam kutai dan asam manis ikan asin. Biasanya menu ini dimasak mama setiap kali Nola menolak makan. Lagi-lagi rasa rindu kembali merusak suasana.

Buru-buru bunda mengambilkan segelas air untuk Nola yang meneteskan air mata ketika tengah menyuap sesendok makanannya. Ia meneguk, tetapi nasi dalam mulut terasa seperti tumpukan batu, nyaris susah ditelan meski sudah dipaksa.


Dadanya begitu sesak. Makanan yang dimakan rupanya tidak bisa dipisahkan dengan kenangan yang terpatri selama belasan tahun.

Bunda mengambil segenggam nasi untuk dikepal-kepal, lalu meminta Nola untuk menelan nasi kepal tersebut tanpa dikunyah terlebih dahulu. Tangannya tidak berhenti menepuk-nepuk punggung Nola.

"Bukan ketulangan, Bun," bisik Tory yang segera bangkit dari duduknya.

Mendekap sahabatnya itu dari belakang, penuh kehangatan.


Persahabatan yang terjalin sejak lama itu, membuktikan ikatan batinnya yang semakin sempurna. Dengan isyarat mata, Tory memberitahu bunda. Bunda pun kembali duduk tanpa melanjutkan makan.

Dengan elusan di pucuk kepala, Nola merasa sedikit lebih tenang. Rindunya perlahan terbang berganti rasa sabar.

Setelah tangisan benar-benar mereda, Tory mengajak Nola untuk menghabiskan santapannya. Berbeda dengan tadi, sekarang ia terlihat sangat lahap. Bunda hanya melongo melihatnya.

***

Tory membuka lebar pintu perpustakaan yang selalu menutup diri untuk menyembunyikan orang-orang yang sedang menjelajah dunia dan mempelajari kehidupan dengan cara memblokir kebisingan dari luar.

Tidak ada pilihan lain, setelah mencari-cari ke sekeliling kampus, perpustakaan adalah satu-satunya yang harus di cek. Dan tidak ada jalan lain selain meneriakkan nama Nola dari ambang pintu. Sebab Tory harus menggunakan sepeda jika ingin berkeliling mencari Nola.

Gadis yang siang ini terlihat sangat kusut itu langsung cepat keluar dari biliknya. Begitu melihat, Tory langsung berlari. Tidak peduli dengan teguran penghuni perpustakaan yang merasa keberatan dengan bising yang ia ciptakan.

"Ikut aku," tarik Tory cepat.

Nola menolak, ia kembali duduk di balik tumpukan buku. Merasa curiga, Tory menarik kursi dan duduk di samping Nola.

Gadis itu masih membisu, tangan, mata serta pikirannya fokus ke layar laptop dan sesekali membuka lembaran buku di atas meja.


Satu meja panjang yang biasa ditempati enam orang itu mendadak menjadi sempit, padahal hanya Nola yang menempatinya. Tumpukan buku dan yang berserakan benar-benar tampak kacau.

Tory mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya, membuat Nola menegurnya dengan serius. Biasanya jika sudah seperti itu, pertanda bahwa gadis itu sedang tidak ingin diganggu.

Laki-laki itu pun mengalah, sebelum keluar, ia meminta Nola menemuinya di taman. Sebab ada surat kaleng yang harus dibaca Nola.

Mendengar kata surat kaleng, Nola langsung menghentikan aktivitasnya. Mendesak Tory untuk mengeluarkan surat kaleng tersebut. Sayangnya sahabatnya itu hanya terdiam. Ada kekhawatiran di sorot matanya. Sebuah kertas yang digenggamnya dalam kantong jaket berhasil direbut Nola.

"La, please, kertasnya kembalikan."

Nola yang terlanjur penasaran, memilih untuk membuka lipatan kertas dan membaca isinya begitu berhasil menjauh dari Tory.

"CEWEK GILA, KEGATELAN! JAUHI KAVI ATAU KAMU BAKAL TAHU AKIBATNYA!"

Sorot mata Nola melebar, ada perasaan menusuk yang rasa sakitnya tidak bisa diutarakan. Rasanya seperti mendadak menjadi manusia paling kucil dari semua yang pernah dikucilkan. Ingin menyendiri di pojok, entah pojok belahan bumi yang mana.

Dadanya bergemuruh hebat, deru napas terdengar oleh Tory yang menggenggam kedua pergelangan tangannya. Perlahan-lahan pandangan mulai kabur sebab genangan air mata tercipta begitu saja. Bibirnya bergetar menahan sebisa mungkin agar tidak ada sumpah serapah yang tumpah.

Walau tidak tahu siapa penulisnya, tetapi batin Nola meyakini bahwa Moira lah pelakunya. Ia terduduk di salah satu kursi kosong. Menyembunyikan wajah dibalik kedua tangan yang terlipat di atas meja.

Meloloskan tangis tanpa suara. Bahunya berguncang hebat, Tory mengelus tanpa yakin bisa menenangkan. Namun, ia begitu sabar hingga Nola mengangkat wajah. Warna kulit wajah yang kuning langsat berubah menjadi merah. Air mata masih mengalir melalui mata kecil yang membengkak.

Tanpa Nola sadari, kesedihannya terbang dan hinggap ke batin Tory. Laki-laki itu memeluk erat. Berharap rasa sedih bisa terkuras dengan semakin eratnya pelukan. Nola menyambut pelukan seiring dengan pecahnya tangisan tanpa suara.

"Woi! Enteng bener peluk-pelukan, kaya gak ada tempat lain aja! Tugas kami sudah belum?"




Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang