Bab 31

102 4 0
                                    

"Kamu pacaran sama dosen itu?"

Nola tersedak nasi dan sepotong ayam laos yang tengah dilumat. Dengan cepat papa memberikan segelas air yang langsung dihabiskan setengah isinya oleh Nola.

Suasana makan malam yang sempat ceria, mendadak menjadi sepi. Sunyi. Hampir sama seperti kondisi kompleks jika magrib telah menyerang. Tidak ada lagi anak kecil yang berlarian dikejar orang tua hanya untuk disuruh mandi lalu pergi mengaji. Mereka semua kini telah beranjak dewasa. Namun, hanya Nola yang masih menetap di kompleks. Sedang yang lain, memilih untuk memakan bangku kuliah di luar pulau.

Gadis itu dengan cepat menggeleng sembari menepuk-nepuk dada. Butiran nasi jatuhnya lebih lambat, hingga menyusahkan untuk berbicara. Terpaksa ia menuang lagi segelas air dan menandaskan hingga habis.

"Apa maksud papa itu Kavi? Nola gak pacaran sama Kavi, Pa," ucapnya pada akhirnya.

Tatapan papa yang masih jatuh di manik mata Nola, membuat gadis itu setengah ketakutan. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. Tidak mau menunda, ia langsung bercerita mengenai apa yang sebenarnya terjadi tadi siang.

Setiap kalimat yang diucapkan Nola, disimak papa dengan tatapan terpaku ke piring yang ada di hadapan. Hingga kalimat itu berakhir, papa masih berdiam diri. Meski tampak kuyu, tetapi rahangnya mengeras.

Sebelum bangkit dari duduknya, papa menepuk pundak Nola, berpesan agar tetap fokus kuliah. Nola mengiyakan dengan pasrah. Ingin mengelak, tetapi papa terlalu curiga. Siapa yang tidak curiga? Seorang dosen rela menemani orang tua dari mahasiswinya cuci darah, mana mungkin?

Seperti papa, Nola tidak melanjutkan makan. Ia mengangkut piring yang masih menyisakan separuh makanan. Mencucinya dan merapikan meja makan.

"Papa ini memang sakit. Tapi bukan berarti papa enggak bisa melakukan apa-apa sendiri. Apa lagi harus merepotkan orang lain yang jelas-jelas ada tanggung jawab di pekerjaannya." Ucapan papa membuat langkah Nola terhenti.

Dilihatnya papa tengah duduk di ruang keluarga yang hanya bermandikan cahaya dari lampu hias sudut-sudut plafon. Sebelum mendekat, Nola meneguk saliva terlebih dahulu. Sungguh ini di luar kehendaknya juga.

Namun, ketika tersisa dua langkah lagi untuk mendekat, papa berdiri dan berjalan menuju kamar dengan tatapan lurus. Nola mematung dari tempatnya berdiri. Air matanya luruh.

"Pa?" Disusulnya segera.

"Papa marah? Papa kecewa? Maafin Nola, Pa. Nola gak maksud apa-apa. Emang Kavinya aja tadi yang inisiatif, bukan Nola yang minta, Pa," ucapnya seraya mengetuk-ngetuk pintu kamar papa yang dikunci dari dalam.

Sayangnya tidak ada sahutan apa pun dari dalam. Lama Nola menunggu hingga terduduk di depan pintu. Lirih gadis itu meminta papa membukakan pintu.

Pa, maafin Nola. Please.

***

Satu minggu sudah berhasil Nola lewati dengan senyum semringah. Bagaimana tidak? Soal ujian akhir semester berhasil diselesaikannya dengan baik. Ia sangat yakin bisa mengantongi IPK lebih tinggi dari semester sebelumnya.

Meskipun awalnya berat untuk melanjutkan belajar, karena pikirannya harus terbagi dua dengan sikap papa yang sempat mogok bicara selama semalam. Namun, pada akhirnya papa jualah yang pertama kali meminta maaf.

Dan Nola mencoba memaklumi perasaan papa. Ia yang sempat merutuk Kavi, jadi memiliki keberanian untuk berterima kasih dengan janji mentraktir. Juga tidak lupa berjanji dengan papa agar tidak lagi melibatkan orang lain dalam urusan yang masih bisa diselesaikan sendiri.

Hari ini adalah hari yang paling ditunggu Nola, pembagian KHS. Bersama Tory, gadis itu menunggu dengan harap-harap cemas. Di atas bangku taman dan ditemani kicauan burung, tanpa sadar Nola mencengkeram lengan Tory hingga membuat laki-laki yang sibuk merokok itu mengaduh.

Nola meringis meminta maaf, tetapi kembali mengulanginya. Sebagai ganti, Tory menyerahkan ranselnya untuk dicengkeram. Nola menerima dengan mulut mengerucut.

Hampir seluruh mahasiswa yang saat ini sedang berada di kampus Garuda Nusantara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan kampus Ganas, sibuk menatap layar laptop atau ponsel masing-masing.

Tepat pukul sembilan, satu per satu KHS dikirimkan ke surel mahasiswa. Ada yang bersorak kegirangan, ada juga yang lesu tak berdaya setelah melihatnya. Teriakkan dan tawa mulai pecah di sekeliling kampus.

Nola dan Tory menerima surel berbeda sepuluh detik. Tory yang menerima lebih dulu, dengan cepat membuka dan membaca. IPK-nya semester ini ada peningkatan, 3.10.


Kini giliran Nola yang mengklik surat masuk. Matanya terpejam dengan bibir yang komat-kamit dan kedua tangan yang tiba-tiba saling menggenggam. Melihat itu, Tory yang juga penasaran segera mengambil alih laptop dalam pangkuan Nola.

"3.46." Teriakkan Tory membuat Nola membuka mata cepat-cepat.


Direbutnya laptop dan membaca dengan saksama isi dari KHS. Benar saja, IPK-nya sungguh memuaskan. Malah semakin membaik dari semester lalu.

Nola memekik senang. Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Niatnya untuk lulus dalam waktu cepat seperti tengah didukung semesta. Ia benar-benar bersyukur. Dan semakin yakin untuk bisa meraih keinginannya tersebut.

Jerit ponsel yang tergeletak di atas ransel membuat Nola cepat menyambarnya. Ternyata dari bunda. Seperti biasa, tanpa meminta persetujuan dari sang anak, Nola langsung menjawab telepon bunda. Mereka mengobrol ringan terlebih dahulu sebelum bunda menanyakan IPK anak semata wayangnya itu.

Mendengar ada peningkatan, bunda pun langsung meminta Nola untuk makan malam bersama mereka malam ini. Tentu saja ajakan itu diterima dengan senang hati. Sudah lama Nola tidak berkunjung ke rumah Tory. Sementara laki-laki yang sedang dibicarakan malah sibuk dengan game online-nya.

"Kamu kok gak kaya aku sih? Bahagia. Kamu gak seneng?" tanya Nola seraya menyikut pinggang Tory.

"Bukan gak seneng. Tapi gak bisa," jawab Tory singkat. Fokusnya ke game di ponsel.

Nola terpaksa mengaburkan senyum yang sedari tadi menghiasi bibirnya. Duduk bersandar seraya mencoba menerka apa yang terjadi pada Tory. Sesekali ia melirik wajah sahabatnya itu melalui ekor mata. Ia merasa ada sesuatu yang telah dilewatkan. Namun, apa?

Sambil menatap beberapa kendaraan yang lalu lalang di sisi pagar kampus, Nola mendapati satu ingatan tentang curahan hati Tory beberapa waktu lalu. Nola pun segera meminta maaf. Betapa egois dirinya yang malah sibuk memikirkan ujian.

Namun, segera ditepis Tory. Laki-laki itu meyakinkan bahwa tindakan Nola sudah tepat bukan telat. Sudah sewajarnya ujian berhak mendapat perhatian nomor satu dibanding masalah orang lain.

Dengan mendadak Tory melepas ponsel dengan emosi kemenangan jauh lebih bahagia daripada ketika melihat IPK-nya tadi. Nola yang terkejut, tetapi penasaran, buru-buru melihat layar ponsel yang tergeletak di atas bangku sebagai pengganti Tory yang kini sudah berdiri seraya merentangkan tangan tinggi-tinggi ke atas.

"Victory," gumam Nola tak mengerti. "Jadi, kamu sudah lihat ayahmu atau ketemu?" lanjutnya yang mulai menyelidik.








Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang