Bab 78

63 2 0
                                    

Sunyinya sekitar membuat Nola bisa berpuas-puas mengelana pikirannya sendiri. Sebuah buku yang terbuka di hadapan, menyaksikan kusutnya isi kepala gadis itu. Sesekali menengadah, sesekali menelungkupkan wajah.

Surat peringatan ketiga yang diterima hari ini mengantarkan Nola ke ambang ke putus asaan. Ancaman mengulang semester tepat di depan mata. Tujuh laporan harian yang diminta revisi, belum satu pun yang selesai. Belum lagi cadangan judul skripsi yang juga harus segera di pikirkan demi pengajuan proposal.

Getaran gawai di atas meja membuat perasaan Nola menjadi hangat seketika. Apalagi ketika membaca nama Benny yang tertera pada layar notifikasi.

Tanpa membiarkan jarum detik bergerak, tangan Nola sudah meraih gawai itu. Membaca sebaris chat sambil tersenyum. Tidak ada yang istimewa dari kalimat aku tahu kamu sekarang lagi senyum, tapi jangan lama-lama, nanti bunga di taman jadi minder.

Nola sendiri pun tahu, itu hanya gombalan receh yang serupa dalam podcast humor yang sering didengarkan. Namun, biarpun begitu, gadis itu tetap tersenyum lebar. Ditambah debaran di dada yang tidak bisa dikondisikan.

Tidak tahu hendak membalas apa, Nola kembali menelungkupkan gawai. Dalam sekejap, benda pipih yang layarnya masih saja retak itu, bergetar lagi. Kali ini Benny melakukan panggilan video.

Begitu menggeser ikon biru, suara Benny yang menyapa terdengar nyaring. Buru-buru Nola memasang earphone seraya meminta maaf pada orang-orang yang berhasil menangkap basahnya. Lalu berpindah ke bilik pojok yang masih sepi pengunjung.

Mereka hanya bertukar tatap dan senyum. Karena memang tidak ada kata yang ingin di dengar, meski berebut ingin diucap. Dengan saling menatap, rindu yang sering dinyatakan Benny itu telah berlabuh.

Meletakkan gawai dengan layar yang menghadap wajah, semangat Nola mendadak penuh. Dengan lancar memperbaiki laporan harian. Sesekali, Benny di seberang sana menyanyikan sebuah lagu yang diiringi petikan gitar.

Lagu dari Naif yang berjudul Jauh, menjadi pilihan Benny. Dari asing hingga asyik, Nola mulai menikmati irama lagu khas band tersebut. Mengikuti dengan senandung karena belum hafal lirik.

Namun, karena penasaran, gadis itu mulai mencari di mesin pencari pada laptop. Membaca lirik tanpa bernyanyi. Lalu memandang ke arah Benny yang tengah tersenyum sambil bernyanyi.

Kasihku jauh dari hatiku


Kasihku... jauh sekali


Bilamana kugapai hatimu


Kau tak pernah peduli denganku


Kuingin kau tahu, cintaku hatiku

Sepenggal lirik yang membuat Nola mematikan panggilan video. Menutup laptop, juga buku yang berada di hadapan. Menelungkupkan wajah ke atas meja.

Ingat laporan, Nola! Ingat proposal!

Batin berusaha mengetuk kesadaran. Bangkit dan langsung membuka buku. Sayangnya pikiran akan lirik itu tidak mau beralih. Malah semakin menjadi dengan kilasan-kilasan memori tentang Benny yang telah mewarnai enam bulan ke belakang.


Sekalipun bersahabat dengan Tory, Nola tidak pernah melepas perasaannya seperti ini. Sesuatu yang beda bila bersebelahan dengan Benny. Menghabiskan waktu ketika akhir pekan sungguh mujarab bagi Nola yang sebelumnya tidak pernah mau melakukannya.

Bahkan setiap pulang dari KKN, mereka pasti menyempatkan diri untuk melepas penat dengan duduk-duduk di tepian. Meski pemandangan yang disuguhkan bukan kapal pesiar, melainkan kapal tongkang, tetap saja sungai memberi keringanan untuk setiap beban yang ditanggung, bagi siapa pun yang menatapnya.

Atau mereka hanya berkeliling kota tanpa tujuan. Dari jembatan kembar, sampai fly over, dan sebaliknya. Yang jelas, sebelum tiba di rumah Nola, Benny selalu membelikan es krim.


Suara buku yang terjatuh berhasil menarik Nola dari lamunan. Meski penat, tetapi ia senang pikirannya mulai normal. Memikirkan laporan harian dan proposal.

Waktu terus berjalan, tidak pernah mau menunggu bagi siapa pun yang mengulur. Tidak terasa, empat jam sudah Nola di perpustakaan. Masih tersisa tiga laporan yang belum tersentuh.

Kepala yang berdenyut, meminta asupan karbohidrat dan gizi lainnya. Mengabari Benny melalui chat, meminta laki-laki itu menunggu di basemen. Karena hari sabtu, kantin ikut tutup sebagaimana tidak ada kegiatan kuliah di hari itu.

Baru saja selesai membereskan buku dan laptop ke dalam ransel, Kavi berdiri di hadapan. Tatapan dosen itu sedang tidak santai. Ia mematung, melipat tangan di dada tanpa mau memberikan Nola jalan untuk lewat.

"Apa kamu mau ngulang semester depan?" Hantaman pertanyaan itu membuat pikiran Nola otomatis memikirkan papa.

Nola menggeleng. Kini ia menunduk, tidak lagi meminta dosen itu untuk menyingkir.

"Berapa laporan lagi?" tanya Kavi masih dengan nada datar, tetapi tercium ledakan jauh di dasar hati.

"Tiga," jawab Nola yang tercekat.

Tanpa babibu, dosen itu langsung duduk. Mau tidak mau Nola juga ikut duduk. Memberikan kertas laporan kepada Kavi yang sudah menengadahkan tangan.

Kavi memasang kacamata yang diambil dari saku blazer, mulai membaca dengan saksama dan memberikan banyak catatan. Tulisan tangan Nola di atas kertas itu pun berhiaskan coretan Kavi.

Gadis itu hanya bisa meneguk saliva. Betapa waktu malamnya terpakai hanya untuk menulis laporan yang kini sudah tamat riwayatnya di tangan Kavi.

"Laporan harian, dikerjakan setiap hari. Ada yang salah? Cepat-cepat direvisi, diserahkan lagi ke dosen penanggung jawab untuk ditandatangani. Kalau suka menunda, begini jadinya."

Nola kembali tertunduk. Meremas jemari. Ia tahu salah. Namun, teringat kata-kata Benny kamu berhak menikmati hidupmu sendiri. Untung saja kalimat mendebat sedang enggan tersulut.

Setelah menyimpan kacamata, Kavi meraih tangan Nola. Menggandengnya menuju basemen lantai tiga, di mana mobilnya di parkir. Nola berusaha menolak, tetapi percuma. Telinga dosen itu tidak mau lagi mendengarkan seribu alasan.

"Bohong. Kamu mau ketemu Benny, kan? Nola, kamu itu semester akhir. Senin lusa sidang laporan KKN, lanjut sidang proposal. Tapi sampai hari ini laporan harian aja belum selesai," sahut Kavi saat mereka sudah di dalam mobil.

Nola menjadi terdiam, alasan demi alasan yang tadi mengucur begitu saja mendadak tidak bernyawa. Seperti rusa yang berhasil dimakan buaya. Gadis itu memasang seat belt sembari memohon dalam hati agar tidak bertemu Benny.

Mobil melaju perlahan, menuruni dua kali tanjakan menuju pintu keluar. Tepat di lantai satu, sebelum mencapai pintu keluar, Nola melihat Benny yang tengah duduk di motor. Takut terlihat, Nola segera merosotkan tubuh ke bawah kursi, berharap tidak terlihat dari luar. Padahal kaca mobil Kavi cukup gelap untuk bisa diterawang dari luar.

Sayangnya, dosen itu malah menghentikan mobil. Membunyikan klakson dengan sekali tekan hingga membuat Benny menoleh.

"Kamu pulang aja. Nola ada urusan sama saya." Sontak mendengar kalimat itu, Nola memperbaiki duduk.

Mampus! Dasar Kaviiiiiii! Hiiih!

Melempar senyum kecut pada Benny, yang hanya terlihat dari jendela. Laki-laki itu perlu menundukkan kepala untuk bisa melihatnya.


Tidak mau menunggu respons Benny, Kavi menginjak pedal gas meninggalkan kampus.





Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang