Bab 69

65 4 0
                                    

Satu tahun kemudian.

"Tolong dong, Bu," dengan tatapan mengiba Nola terus memohon.

"Enggak bisa. Ini sudah peraturan di kelas saya."

Menghela napas, menatap teman-teman sekelas yang mengacuhkan. Akhirnya Nola menyeret langkah gontai keluar kelas. Menutup pintu dengan kesedihan. Ia harus meninggalkan satu kelas lagi hari ini karena terlambat tiga puluh lima menit.

Selama satu tahun, jalanan yang macet dan menyuapi papa menjadi satu-satunya alasan yang terus Nola katakan ketika terlambat. Ada beberapa dosen yang mengerti, tetapi tidak sedikit yang menolak alasan tersebut. Sepertinya para dosen sudah terlalu sering menerima kebohongan-kebohongan mahasiswa, jadi untuk mendapat kepercayaan bagi orang yang jujur sangatlah susah.

Meski sudah melepaskan dan merelakan percepatan semester, Nola tetap berusaha menjalani kuliah demi terwujudnya keinginan papa. Di saat hatinya sedang butuh dikuatkan, saat itu juga ia harus meyakinkan papa.

Sejak seminggu yang lalu, total ada lima kelas yang harus ditinggalkan. Padahal tahun ini adalah tahun yang rawan. Di mana sebentar lagi Nola akan menjajaki masa KKN. Untuk tempatnya sendiri belum ditentukan. Namun, ia sudah bisa membayangkan kesibukannya.

Nola yang tidak punya tujuan itu, berdiri di depan kelas. Menatap pintu sambil bersandar di pagar tembok koridor. Memasang earphone, memutar lagu secara acak. Di luar dugaan, ternyata bumi lebih cepat dari biasanya untuk menarik air mata.

Gadis itu tergugu menatap masa depan di balik pintu. Sejak dua semester yang lalu, kesibukannya hanyalah memohon-mohon kepada dosen agar bisa mengejar nilai yang mana kelas dari dosen-dosen tersebut secara tidak sengaja tidak diikuti.

Ia juga sudah menanggalkan seragam apron di kafe. Semua dipercayakan sepenuhnya kepada Kavi yang masih menjalankan tanggung jawab. Nola rela tidak tidur hanya untuk mengerjakan tugas dari banyak kelas yang tertinggal materinya.

Layaknya bunga, ada saatnya mekar, ada saatnya layu. Pertama ketika tidak disiram, kedua ketika tidak mendapat cahaya matahari yang cukup. Sama seperti Nola, ia melayu kalau tidak ada siraman kehadiran dari Tory dan Moira yang juga sama-sama sibuk.

Sendiri di koridor tanpa ada yang peduli tangisan gadis itu. Membuatnya semakin merindukan kehadiran Tory. Orang yang selalu untuknya. Nola mengusap air mata. Mengubah posisi menjadi menghadap taman. Dengan ujung jempol yang masih basah karena air mata, ia menggulir kontak mencari nomor Tory.

Telunjuk mengetuk-ngetuk sisi gawai, seolah menunggu perintah untuk menekan tombol hubungi. Namun, urung. Nola hanya mengetikkan pesan. Dan setelah itu langsung mengunci layar gawai. Menunggu dengan harap-harap cemas.

Satu, dua, tiga, sepuluh menit berlalu. Nola memberanikan diri membuka kolom chat. Hanya centang dua tanpa warna biru.

Oh, Nola, Tory kan lagi di kelas. Jelas dia fokus sama materi!

Dalam sekejap gadis itu langsung melangkah. Membawa perasaan kesal dan kecewa. Ia menuju taman. Duduk di bangku yang biasa ia dan Tory duduki.

Beragam kenangan hadir satu per satu. Tory yang kaus kakinya beda warna, Tory yang suka baring di hamparan rumput, Tory yang belain waktu Nola diserang fans garis keras Kavi, Tory yang selalu membiarkan Nola menghabiskan air mata dalam dekapannya, Tory yang selalu menyediakan bahu sebagai tempat satu-satunya untuk bersandar, Tory, Tory yang selalu ada.

Masih sambil mendengarkan lagu, Nola membekap mulut, menahan rintihan yang menyesakkan dada. Wajahnya pun basah.

"Hei."

Nola mengangkat wajah. Meski penglihatannya masih kabur karena air mata, ia segera berlari menghambur peluk.

"Kenapa nangis?" tanya Moira yang menyambut pelukan hangat.

Mereka duduk di bangku taman. Hal yang sudah lama tidak pernah menghiasi kehidupan mereka lagi sejak satu tahun terakhir.

Sambil melap air mata dari tisu pemberian Moira, Nola menumpahkan kerinduannya. Ucapan gadis itu tidak terputus bak aliran air terjun.

Dengan mata berkaca-kaca, Moira ikut mengaku bahwa ia juga rindu. Tadinya ia berpikir kenapa harus merindukan Tory dan Nola yang bersahabat? Siapa dirinya dalam persahabatan itu?

"Eh, udahan dong nangisnya. Aku mau minta tolong nih," ucap Moira seraya menghapus air mata di balik senyum.

Nola ikut menghapus air mata, memasang telinga dengan saksama. Ternyata Moira mengajaknya untuk mempersiapkan wisuda yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat.

Sontak Nola memekik senang. Memberikan selamat sekaligus pelukan. Perasaan bangga dan bahagia itu menjalar ke hatinya.

***

Mereka mulai dari toko kain. Sebuah toko besar yang terletak di pinggir jalan besar menjadi pilihan. Aneka kain menghiasi mata begitu masuk ke toko. Semakin dalam melangkah, kain-kain yang dipamerkan sungguh menawan.

Moira jatuh hati ketika melihat kain brokat berwarna merah menyala yang dipajang di dinding. Nola segera membenarkan, matanya ikut berbinar-binar melihat kain menyala itu.

Seorang karyawan toko menurunkan brokat tile yang dimaksud. Nola dan Moira menyentuh kainnya yang lembut. Tanpa berlama-lama, Moira langsung meminta karyawan toko menyiapkan enam meter.

"Ini premium, Mbak," ucap karyawan toko yang masih bergeming.

"Iya, saya mau," kata Moira, matanya masih berbinar.

"Harga permeternya dua ratus lima puluh," ucap karyawan toko itu lagi.

"Iya, tolong dibungkus enam meter," kali ini Nola yang menyahut.

Moira yang baru paham maksud pembicaraan si karyawan, segera tertawa. Tidak hanya karyawan itu yang heran, Nola pun heran. Perempuan itu segera memamerkan isi dompet yang penuh dengan kartu debit. Juga berlembar-lembar uang berwarna merah.

Seketika itu juga karyawan toko langsung menggunting enam meter dan menyuruh mereka membayar di kasir dengan memberikan satu lembar kertas yang berisikan nomor. Yang mana nomor tersebut akan ditebus dengan kain yang sudah lebih dulu di bawa karyawan ke meja kasir. Sebelum beranjak, Moira memberi selembar uang berwarna merah kepada karyawan. Nola mengernyit.

"Mumpung aku lagi bahagia." Derai kalimat Moira mengantarkan ke sebuah penjelasan atas kebingungan Nola.

Mereka lanjut mencari kain batik. Berkeliling lorong untuk menemukan corak sederhana seperti keinginan Moira. Ada satu yang cantik menurut Nola, dan Moira juga setuju. Namun, kain itu tidak menjadi pilihan. Seperti ada suatu pertimbangan yang memberatkan Moira.

Hingga hampir satu jam kemudian, Moira menemukan sebuah gulungan kain batik bercorak sederhana dengan warna cokelat muda khas batik. Nola yang sudah lelah, segera mengiyakan.

Di perjalanan pulang, Moira meminta Nola untuk lanjut menemaninya. Gadis itu mengiyakan saja karena sudah disogok selusin donat dan es cokelat.

Mobil Moira memasuki area kompleks yang sudah lama tidak dikunjungi Nola. Hingga mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sangat Nola rindukan.


Dalam sekejap, Nola merasa kejanggalan bermeter-meter kain yang dibeli Moira seperti hendak terjawab.

"Moira, kamu beli kain sebanyak itu untuk? Jangan bilang kalian -"






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang