Bab 72

61 3 0
                                    

Tidak bisa dipungkiri, kesehatan papa kian merosot. Tubuhnya semakin kering, mata ikutan ceking. Meski begitu, ia tidak pernah kehilangan senyuman. Sebuah senyum yang hangat yang selalu bisa menjadi penenang untuk anak semata wayangnya.

Pelan-pelan berusaha mengajari Nola tentang cara mengurus kafe secara keseluruhan. Seperti Nola, Kavi dan pak Thomas melarang papa untuk bicara lebih banyak.

Namun, pria paruh baya itu bersikeras. Nola tidak bisa lagi menahan air mata yang menggeriak sejak tadi. Gadis itu tergugu. Menggeleng kuat, meminta papa untuk menghentikan penjelasannya yang sebenarnya hanya terdiri dari puluhan kata yang tersusun acak.

"Cukup, Pa. Cukup. Papa gak perlu jelaskan semuanya. Kita urus kafe sama-sama, ya?" pinta Nola yang menggenggam erat tangan kiri papa.

Menempelkannya ke dagu. Membasahi dengan air mata. Kavi ikut iba. Ia mengusap-usap pundak Nola. Sedang pak Thomas setia berdiri di sisi kanan papa yang terbaring lemah di atas ranjang pasien.

Air mata papa ikut luruh. Apalagi ketika dipeluk Nola, keduanya terdengar seperti sedang lomba menangis. Mata Kavi memerah melihatnya. Ia tidak mau memecah peluk. Membiarkan ayah dan anak itu menumpahkan rasa takut melalui air mata.

Sedang pak Thomas, karena ada yang harus diselesaikan, ia pun pamit. Terpaksa mengganggu tangisan Nola dan papa yang masih deras.

"Terima kasih, Pak," ucap Nola yang mengantarkan ke pintu UGD. "maaf merepotkan," sambungnya.

"Tidak merepotkan sama sekali. Saya pamit dulu. Semoga papamu cepat sembuh," katanya seraya meninggalkan seutas senyum.

Masih di ambang pintu, Nola meminta Kavi untuk tidak memberitahukan orang-orang yang masih di kafe. Ia tidak mau menghancurkan pesta kelulusan Moira. Bahkan gadis itu meminta Kavi untuk segera kembali ke kafe.

Sempat berpikir sejenak, akhirnya ia menuruti perkataan Nola. Kembali ke kafe tanpa memberitahu mereka yang masih merayakan kelulusan.


Setelah mendapat penanganan sejak kedatangan ke UGD, papa tertidur. Kesempatan Nola mengurus administrasi. Sebab dokter yang memeriksa mengatakan papa harus dirawat inap kembali.

Sembari menunggu ruangan rawat inap, Nola kembali duduk di sisi papa. Memandangi wajah yang sedang tertidur pulas.

Sebenarnya Nola ngeri membayangkan jadwal cuci darah papa yang seminggu dua kali selama dua hingga lima jam setiap sesinya. Belum lagi sebelum jadwal tersebut, harus dilakukan persiapan terlebih dahulu.

Air mata kembali jatuh. Disertai denyutan pada kepala. Nola memijat batang hidung. Bayangan hidup tanpa papa mulai berkelebat.

Gak! Gak! Nola apaan sih! Papa pasti sembuh!

***

"Nola! Nola!"

Nola yang sedang duduk di bangku taman memangku laptop itu segera mengangkat wajah. Memandang sekeliling mencari seseorang yang meneriaki namanya.

"Om Rusmanto?" tebak Nola begitu melihat sosok yang tengah berlari ke arahnya.

Dan benar saja, sahabat papa itu langsung duduk di sisi. Napasnya terengah-engah. Nola heran dengan kedatangan om Rus ke kampus.

"Papa kamu ke mana aja toh? Tak cariin lo! Dia itu dapat panggilan interview. Ini, jam sepuluh ini. Nah, lihat ini satu jam lagi. Tak telepon dari kemarin juga gak diangkat-angkat. Coba kamu telepon. Tak tunggu," cerocos om Rus begitu napasnya sudah normal.

"Interview?" tanya Nola pelan.

Om Rus membenarkan. Ia bahkan menunjukkan tangkap layar yang dikirim papa kepadanya. Nola melihatnya, sebuah surel papa yang memang benar mengirimkan surat lamaran kepada perusahaan Kalimantan Batu Bara, tempat om Rus bekerja.

Sontak gadis itu meletakkan laptop ke bangku, dan langsung berdiri. Wajahnya yang mungil merah padam dalam seketika. Sebelum ia sempat menyemprot om Rus dengan emosi, Tory dari arah belakang meneriaki.


Langsung menarik mundur Nola. Mendudukkan gadis itu di bangku yang berbeda. Dan mencoba menyapa om Rus. Sebenarnya Tory tidak ingat jika mereka pernah bertemu saat renovasi kafe, yang ia khawatirkan adalah kenapa ada orang asing yang bisa masuk kampus, apalagi orang itu berbicara pada sahabatnya. Karena luwesnya komunikasi Tory, akhirnya mereka menjadi saling kenal.

"Kebetulan pak Yoni iku temenku. Tahu kan pak Yoni? Bagian akademik dia. Nah, dari dia iku aku dapat informasi Nola. Tapi yo sempat putus asa juga. Soalnya jurusannya si Nola belum masuk kelas ternyata. Eh, ternyata memang ada jalannya. Pas aku mau pulang, tak lihat kok iku koyone Nola? Tak panggil-panggil. Pas dia lihat aku, yo bener Nola."

Obrolan mereka terus mengalir. Nola yang duduk di bangku yang lain, berusaha memasang telinga. Sayangnya suara daun yang ditiup angin terlalu deras. Menutupi pendengaran.

Berusaha mengalihkan perhatian dengan menengadahkan kepala. Memejamkan mata, membiarkan angin ikut membelai lembut wajah.


Tidak lama, seseorang duduk di sisi. Nola membuka mata, melihat Tory yang tengah menatap lurus. Gadis itu bangkit, celingukan mencari om Rus yang ternyata sudah pulang.

Tory menceritakan tentang papa pada om Rus. Om Rus sungguh menyesal. Ia bahkan berencana untuk menengok papa di rumah sakit. Menurutnya, papa ingin bekerja di batu bara karena khawatir tabungan untuk pendidikan, serta masa depan Nola kurang.

Lima puluh persen pendapatan kafe digunakan papa untuk membayar cicilan kepada rekan-rekan. Meski sebenarnya mereka semua tidak keberatan dibayar lewat japo, bahkan tidak sedikit yang mengikhlaskan.


Nola kembali terduduk. Memegang dada yang terasa nyeri setelah mendengarnya. Ia bisa memahami kondisi papa, tetapi ia tidak bisa menerima kabar ini dari orang lain.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik, La. Kamu kuliah, bantu-bantu di kafe, rawat papa. Bahkan merelakan percepatan semester. Sekarang, kamu juga mati-matian kerjain tugas dari kelas-kelas yang tertinggal. Kamu hebat." Tory langsung meraup Nola ke dalam pelukan.

Tepukan pada punggung mengusir air mata menjauh. Nola tidak bisa berkata-kata. Wajah Tory di hadapan seperti minyak yang bisa menyulut kobaran.

***

Sepulang kuliah hari ini, Nola langsung ke kafe bersama Tory. Karena sejak tadi tidak ada aroma-aroma Kavi di kampus. Ia juga malas untuk mencari.

Setelah sekian lama, akhirnya dua sahabat itu kembali berboncengan. Mereka menebar tawa di sepanjang jalan. Tory memang pandai merendam kesedihan Nola. Wajah yang murung sejak papa dirawat inap itu, sore ini hanya didominasi tawa dan canda.

Di kafe, gadis itu langsung membantu beberapa karyawan yang sudah datang. Merapikan kafe sebelum dibuka. Tory turut membantu, walau mendapat omelan dari Nola, ia tetap cuek meneruskan pekerjaan.


Tepat lima belas menit setelah kedatangan Nola, Moira datang dengan kemeja berwarna hitam. Rambutnya diikat tinggi, ia juga mengenakan bando putih agar terbebas dari poni serta anak rambut.

Nola terdiam beberapa saat, lalu mendatangi Moira yang langsung menuju dapur. Dilihatnya, perempuan itu sudah mengenakan apron bib. Hanya ada dua apron bib di kafe ini. Yang pertama sudah dipakai oleh asisten Kavi.

"Kamu kok pakai apronnya Kavi?" Pertanyaan Nola membuat Moira yang tengah mengikat tali apron di pinggang itu terkejut.

Perempuan itu sempat mengatur degup jantungnya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Nola, "Kavi gak kerja di sini lagi, kan?"










Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang