Bab 58

67 5 0
                                    

Pagi ini Nola dijemput Moira, sebab mereka akan menempati kelas yang sama di mata kuliah jam pertama. Di bawah cuaca mendung, Moira sengaja memutar lagu sendu. Sebuah tembang dari Raisa yang berjudul Mantan Terindah melenggang di indra pendengaran.

Perempuan itu bernyanyi dengan keras, hingga Nola terbawa suasana. Tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut bernyanyi. Bahkan mereka menyanyi dengan suara satu dan dua. Ada unek-unek yang terlepas begitu saja kala menyanyi. Dan perasaan lega yang setara ketika sedang curhat.

Rinai hujan mulai luruh di kaca mobil. Beberapa sambaran kilat terlihat melintas di awan kelam. Seolah-olah antara hujan, petir, Raisa, Nola, dan Moira sedang beradu kekuatan suara.

Tiba di bagian reff, tanpa sengaja Nola melihat tidak hanya langit yang sedang menangis, Moira pun juga. Perempuan yang sadar Nola sedang menatap ke arahnya, masih lanjut bernyanyi. Senyum yang tercetak tidak bisa mengusir air mata.

"Moi?" ucap Nola seraya memegang pelan bahu Moira.

Tangis pun pecah seiring lebatnya hujan. Dengan sigap Nola memberikan beberapa lembar tisu dari kotak tisu yang tersedia. Moira melap air mata yang tidak berhenti mengalir. Sesekali Nola membantu menghapuskan ketika Moira harus melakukan perpindahan gigi mobilnya.

Nola hanya membiarkan Moira menguras air mata. Tidak mau menanyai penyebab tangisan tersebut. Walau kepo, tetapi ia bisa menguasainya, dengan mengembangkan rasa empati yang lebih mekar.

Mengusap-usap bahu tanpa sepatah kata. Lalu Raisa kembali mengulang bagian reff, seketika Nola mendapat jawaban atas tangisan Moira yang sudah tidak melanjutkan nyanyian.


Ban mobil terus berputar, memasuki gerbang kampus. Ratusan helai daun dari bambu cina menyapa setiap kedatangan. Berhubung hujan yang turun begitu lebat, tidak ada satpam yang ikut menyapa. Mereka berteduh di pos masing-masing.

Di tempat parkir, Moira menyuruh Nola untuk turun lebih dulu, tetapi gadis itu menolak. Dengan sabar menunggu Moira mengeringkan air mata dan merapikan riasan. Ternyata butuh waktu dua puluh menit bagi perempuan itu untuk benar-benar siap keluar dari mobil.

Berjalan beriringan menuju kelas setelah sebelumnya membeli roti bakar dan jus apel. Banyaknya tatapan sinis tidak lagi membuat Nola takut. Namun, bukan berarti dirinya berani. Hanya saja sudah terbiasa disuguhi tatapan seperti itu. Bagi Nola, layaknya disuntik bius, begitulah rasanya ditatap oleh orang yang tidak dikenal.

Di kelas yang masih kosong melompong, mereka dengan leluasa memilih dua kursi kosong. Dan pojokkan memang selalu punya sihir tersendiri untuk mengundang. Makan roti bakar sambil mengerjakan tugas bersama, adalah hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya bagi keduanya.

Sindiran demi sindiran yang datang satu per satu mereka anggap cabai di atas roti bakar. Tidak menghiraukan dan memedulikan. Mereka lanjut mengerjakan sisa tugas hingga selesai.

Tepat pukul sembilan, Kavi masuk ke kelas. Total mahasiswa yang sudah duduk hanya sepuluh orang, termasuk Moira dan Nola. Tentu saja dosen itu mempersiapkan tugas yang banyak untuk mahasiswa yang terlambat.

"Hujan bukan alasan." Kalimat pembuka Kavi pagi ini sedikit berbeda dari biasanya.

Sambil menunggu laptopnya terhubung ke layar proyektor, datang seorang dosen yang membisiki Kavi. Nola berusaha menangkap kalimat apa yang bisa membuat wajah Kavi mendadak menjadi pucat seperti itu.

Tanpa sepatah kata, Kavi mengekor dosen itu. Meninggalkan kelas tanpa satu pesan apa pun, membuat mahasiswa saling bertanya satu sama lain. Kecuali Nola dan Moira yang memilih untuk meneguk pertanyaan itu dalam-dalam.

Mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri. Nola memasang earphone, mendengarkan podcast humor. Sedangkan Moira lebih memilih membuka market place.

Satu per satu mahasiswa yang datang belakangan, langsung diberi kabar oleh mahasiswa yang datang lebih awal. Ada yang langsung mengelus dada, pertanda aman dari tugas. Namun, tidak sedikit yang kepo. Apalagi dari barisan fans garis keras Kavi. Ya, fans itu masih ada! Meski begitu, kini mereka sangat menguntungkan bagi Nola. Karena hampir setiap malam pasti datang ke kafe, katanya sih hanya untuk menyantap masakan calon imam.

Apa pun alasannya, Nola sangat senang. Kafenya tidak pernah sepi pengunjung. Walau harus mendorong pramusaji lain setiap kali harus melayani mereka. Sesuai dengan petuah Moira.

Menit demi menit telah habis sia-sia. Jam mata kuliah Kavi berakhir dengan gamang. Ada yang bersorak, ada yang mengeluh, sedang Nola malah menerka-nerka tugas apa yang akan diberikan sebagai pengganti ketidakhadiran. Fans garis keras dengan cekatan membawakan laptop, tas, dan beberapa buku serta map milik Kavi yang masih berada di atas meja. Sebagai alasan mengembalikan kepada si empunya, mereka tentu akan menggali informasi hingga ke akar di ruang dosen.

Banyak mahasiswa yang menunggu kabar dengan harap-harap cemas. Berbeda dengan Nola dan Moira yang lebih memilih untuk melenggang keluar kelas. Tidak ada satu pun dari mereka yang melempar pertanyaan.

***

Nola tiba ketika semua rekannya sudah selesai menyiapkan kafe. Meminta maaf, meski sudah mengabari bahwa ia harus mengantar papa cuci darah. Atas perhatian semua rekan, Nola bisa bernapas dengan lega. Bahkan semuanya menyemangati gadis itu, sekaligus mendoakan papa agar cepat sembuh.

Saat ke dapur, ia mendapati Kavi sedang duduk dengan secangkir kopi di atas meja. Tatapan dosen itu nyaris kosong, sebab tidak menggubris kedatangan Nola yang jelas di depan mata.

Perlahan gadis itu menarik kursi di hadapan, duduk dan melambaikan tangan persis di depan wajah Kavi. Namun, dosen itu tidak jua mengedipkan mata hingga terpaksa Nola menjentikkan jari.

"Melamun?" tanya Nola.

"Gak, lagi mikir."

"Mikirin apa?" tanya Nola langsung begitu saja.

"Kok jadi kepo?"

"Ya, ya aku bukan kepo. Tapi kan kamu kerja di sini sebagai juru masak. Kata kamu emosi itu mempengaruhi cita rasa masakan yang dimasak, kan?" setengah mati Nola membelokkan alasan agar tidak menimbulkan salah sangka.

Alih-alih menjawab, Kavi lantas tersenyum. Entah kenapa bagi Nola, senyuman Kavi kian lama kian manis. Apa karena pertemuan belakangan ini yang hampir delapan jam dalam sehari? Atau Kavi sebenarnya memang manis?

Ia melangkah meninggalkan Nola yang masih kesengsem dalam hati. Namun, pipi yang merona tidak bisa berbohong. Begitu ditegur salah satu karyawan yang sedang melintas, gadis itu langsung menutup pipi dan berdiri mengambil air minum.

"Makan dulu," ucap Kavi yang kembali membawa sepiring nasi ayam yakiniku.

Tidak menolak, Nola kembali duduk dan langsung menyantap dengan lahap. Sebab tadi uang di dompet hanya cukup untuk membelikan papa semangkuk soto ayam.

Bukannya bekerja, Kavi malah duduk di hadapan. Memandang Nola yang tengah lahap-lahapnya. Karena malu, terpaksa gadis itu mengangkat piring dan makan membelakangi Kavi.

"Santai aja, kamu lagi jatuh cinta, ya?" Ucapan Kavi sontak membuat Nola tersedak.






Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang