Bab 60

69 3 0
                                    

"Gak, gak, gak mungkin. Pasti salah info nih. Gak mungkin Kavi jadi ketua jurusan. Kavi itu dipanggil kajur karena banyak dosen yang protes. Dia sering telat masuk kelas, ngajarnya gak se-responsif dulu lagi, bahkan nih, ya, dia kadang cuma ngasih tugas aja, tanpa masuk kelas. Dosen lain protes dong, kenapa Kavi gak ditegur," terang Moira begitu mendengar penjelasan Nola yang sambil bersungut-sungut itu.

Nola yang sejak tadi mondar-mandir demi bisa menjatuhkan rasa kesal, langsung berhenti di depan Moira. Menyangkal penuturan dan tuduhan perempuan itu yang mengatakan kalau sumber informasinya pasti salah. Bagaimana bisa salah, kalau yang ditanya Nola adalah orang yang bersangkutannya langsung?

Keduanya terdiam. Hanya Tory yang bersuara, melanjutkan kata-kata kasar yang mewakili kekalahannya dalam gim online di gawai.

Demi menghapus rasa bersalah sekaligus rasa penasaran, Nola segera beranjak menuju ruang dosen. Ia ingin menanyakan sekali lagi. Sebab selama kelas yang dimasukinya, Kavi tidak pernah terlambat, tidak pernah tidak mengajar, tidak pernah berubah.

Sebelum pintu lift menutup, terlihat Moira yang berlari dari pintu utama, meminta Nola untuk menekan tombol, agar pintu lift tidak menutup dulu sampai ia tiba.

"Mau ke mana?" tanya Nola sebelum menekan papan angka.

Tanpa menjawab, Moira menekannya sendiri. Angka yang sama dengan tujuan Nola.

"Aku temenin," ucap Moira yang seperti mendengar pertanyaan dalam hati Nola.

Tanpa berkata-kata, begitu pintu lift terbuka, Nola melangkah dengan Moira di sisinya. Yang sebenarnya ingin sekali menolak bantuan perempuan itu. Namun, kecepatan kalimat yang harusnya sudah tersampaikan itu kalah dengan kaki yang terus melangkah.

Di depan ruangan dosen, mereka sama-sama mematung. Tidak ada yang berani mengetuk lebih dulu. Nola mulai mengayunkan tangan, tetapi hanya mengantungnya di udara. Lalu tangan itu kembali ke sisi paha, dengan telunjuk yang mengetuk-ngetuk.

Melirik Moira yang memandang pintu dengan tatapan emosi. Rahangnya tampak mengeras, kakinya seperti tengah mengambil ancang-ancang. Bahkan kedua tangan mengepal kuat.

"Kita mau nanya Kavi, bukan nagih hutang," bisik Nola yang membuat Moira melemaskan tubuh.

Tanpa sepatah kata, Moira pergi begitu saja. Langkah yang lebar cepat sekali membawanya menghilang dari koridor.

Kenapa terlalu banyak pertanyaan dalam kepalaku!

Dalam sekali tarikan napas, Nola mengetuk dan membuka pintu ruang dosen. Ia disambut banyak dosen yang sedang duduk mengelilingi meja. Ketua jurusan duduk di bagian ujung meja, ia terlihat sedang memijat batang hidung. Sementara Kavi yang duduk di sisinya, hanya tertunduk.

Semua argumen tumpah seperti air bah. Tidak ada yang bisa menyela. Saking derasnya, bahkan Nola tidak bisa menangkap barang satu kata pun. Atmosfer kemarahan tidak bisa dihindari. Seketika juga kaki Nola terasa berat untuk melangkah, hanya mampu menyeretnya mundur, sambil meremas kuat tali ransel dan menutup pintu kembali.

***

Pukul delapan malam, kafe sedang ramai-ramainya. Sedang karyawan tambahan belum juga ada. Harusnya gaji adalah bonus, tetapi papa tidak tahu kondisi keuangan mereka yang pernah melamar atau bahkan yang pernah bekerja di kafe, walau satu dua hari.

Satu juta delapan ratus untuk waktu kerja enam sampai delapan jam, dinilai tidak bisa menghidupi kehidupan di kota yang terkenal kaya raya ini. Sementara untuk gaji UMK dua juta delapan ratus, tentulah papa tidak bisa menerapkannya.

Untuk itu Nola berusaha mengambil jalan tengah, ia meminta papa untuk menaikkan gaji karyawan menjadi dua ratus ribu. Menjadi genap dua juta. Sejauh ini semakin banyak yang melamar, tetapi belum juga masuk kerja.

Nola membawa satu nampan berisi piring kotor, meletakkan ke dapur bagian cuci piring. Ternyata ada Kavi. Dosen itu membantu karyawan pencuci piring. Memang harusnya ia berdua, satu mencuci, satu yang mengeringkan. Namun, sudah berbulan-bulan menunggu karyawan baru, belum juga ada.

"Kok di sini? Yang masak siapa?" tanya Nola begitu meletakkan nampan ke bak cucian.

"Semua pesanan sudah beres, sisa bikin minuman. Kalau minuman, asisten saya juga bisa. Kasihan yang cuci piring, sendirian," jawab Kavi sambil sibuk membilas piring-piring.

Hati gadis itu terenyuh. Namun, tidak ingin menghentikan aktivitas Kavi. Biarlah dosen itu tahu rasa, anggap saja sedang banyak tugas.

Sebelum pergi, Nola mengingatkan Kavi agar tidak meninggalkan kewajibannya di kafe. Dosen itu meng-oke-kan seraya mengedipkan mata.

Buru-buru Nola menuju depan, khawatir jantungnya melompat keluar. Lanjut melayani pengunjung yang baru tiba. Seperti biasa, pramusaji di kafe ini akan menanyakan kabar terlebih dahulu, sebelum bertanya mau pesan apa.

Tak jarang, ada pengunjung yang harus menuntaskan air matanya terlebih dahulu sebelum memesan. Pesanan mereka pun jarang hanya satu menu atau satu porsi untuk satu orang. Rata-rata memesan dua sampai tiga menu dan porsi untuk satu orang.

Makanya untuk satu pengunjung, pramusaji bisa menghabiskan waktu paling sedikit lima menit, hanya untuk mencatat pesanan mereka.


Anehnya, semua mengalir begitu saja. Menanyakan kabar kepada pengunjung bukanlah SOP yang wajib dilaksanakan. Namun, semua karyawan melakukan dengan sendirinya.

Tiba di pukul dua belas lewat empat puluh menit, semua karyawan bersiap meninggalkan kafe yang sudah kosong dan rapi. Usai Nola mengunci gembok pintu ruko, satu per satu karyawan pamit. Sementara Kavi, masih setia menunggu seperti malam-malam sebelumnya.

Dosen itu terlihat menguap lebar, padahal Nola masih ingin menyuruhnya menyapu teras yang sebenarnya sudah bersih. Gadis itu mengurungkan niatnya. Memasukkan kunci gembok ke pouch dalam ransel, kemudian berjalan mengekor Kavi menuju mobil.

Bibir Nola berusaha menahan pertanyaan yang sudah disiapkan dalam kepala. Berusaha tidak mau mencampuri masalah orang lain. Mengalihkan dengan memandang hitamnya langit.

Jalanan yang lengang tanpa lampu lintas yang memamerkan warna hijaunya, mobil Kavi melesat bagaikan pesawat yang lepas landas. Berulang kali Nola menolak untuk diantar, sebab rumah Kavi hanya di perumahan sebelah ruko kafe. Sedangkan jarak kafe ke rumah Nola, butuh waktu dua puluh menit. Namun, dosen berulang kali juga dosen itu menepis.

Meski begitu, Tory tidak pernah absen dari kafe 0A. Ia masih menjadi pelanggan yang paling setia, hanya saja jam pulangnya tidak selarut dahulu sebelum ada Kavi.

"Kamu beneran jadi ketua jurusan?" Akhirnya pertanyaan itu lolos juga.


Kavi yang tengah menguap, langsung menutup mulut. Tersenyum sebentar lalu terdiam. Tidak ada suara apa pun, radio pun sudah tidak siaran selarut ini.

Nola masih memandang jemari yang saling meremas. Matanya menutup, kalau bisa menutup telinga, Nola sangat ingin melakukannya. Tidak siap dengan jawaban Kavi, meski rasa penasaranlah yang mendorong pertanyaan itu keluar.

"Belum. Masih ada yang harus dilakukan. Urusannya panjang."

"Dosen lain protes?" entah keberanian dari mana Nola mempertanyakan hal itu.

Kavi menoleh sebentar, memperbaiki duduk menjadi tegak, "Dosen yang mana yang protes?"

Nola pun akhirnya mengaku jika ia ada saat para dosen beradu argumen. Kavi berusaha mengingat-ingat kejadian yang baru terjadi siang tadi. Sontak dosen itu melepaskan tawa.





Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang