Bab 82

63 2 0
                                    

Genap tiga minggu Yara jadi rajin ke kampus Garuda Nusantara. Selain ingin melihat-lihat suasana kampus yang masuk dalam daftar sekolah impian untuk pertengahan tahun ini, gadis yang lebih muda hampir empat tahun dari Nola itu juga senang karena mendapat teman baru. Apalagi, Yara sudah menganggap Nola sebagai kakak iparnya.

Ia tidak pernah datang dengan tangan kosong. Entah, donat, pisang keju, molen, onde-onde, bahkan durian pun pernah dibawanya untuk dinikmati di taman bersama Nola, dan tentu saja kakak tercintanya jika sedang tidak sibuk. Kakak laki-laki yang tidak pernah luput menyematkan kata i love you di setiap mengakhiri telepon.

Sebuah teriakan membuat Nola dan Yara menghentikan tawa. Mereka yang sedang bernaung di bawah pohon itu, menatap lekat sosok laki-laki yang berlari mendekat.

"Tory?" sambut Nola yang langsung memeluk.

Melepas rindu. Rindu yang sebenar-benarnya. Sebab keakraban mereka harus terhalang kesibukan masing-masing sejak semester lima. Pelukan kian mengerat ketika masing-masing jiwa mengakui rindu yang sama.

Lalu melepas peluk dan duduk menemani Yara yang sejak tadi tidak berhenti mengunyah donat. Tory mencomot donat tanpa permisi. Yara memaklumi, tetapi tidak bisa mengusir rasa penasaran. Pertemuan pertama di kafe, membuat Yara kesulitan mengingat nama Tory.

"Aku Tory," ucap Tory yang seakan mendengar pertanyaan Yara dalam hati.

"Oh, iya, iya! Aku ingat! Pacarnya Mira, kan?"

Nola dan Tory bertukar tatap, Mira siapa? Dalam sekejap berdua sahabat ber-oh ria sekaligus memperbaiki sebutan untuk nama Moira.

Setelah itu Nola jadi mendelik. Ikut menunggu jawaban Tory. Tidak bisa dipungkiri, selama hampir satu tahun lebih tidak pernah bertukar cerita, gadis itu menyimpan rasa penasaran yang tinggi akan hubungan Tory dan Moira yang terlihat sangat dekat.

Awalnya dugaan itu bisa ditepis saat Nola mengira Moira dan Kavi balikan. Namun, setelah mendengar pengakuan Kavi, dugaan gadis itu menjadi berubah haluan.

"Teman. Moira sama Nola itu teman. Kecuali kamu," jawab Tory seraya berdehem dan memperbaiki letak kerah jaket denimnya.

Nola dan Yara sama-sama bergidik dan melepas tawa. Terlebih Yara, yang mengatai Tory om-om.

"Hiiihh, om-om," timpal Nola yang tak kalah nyaring tertawa.

Tiba-tiba kehadiran Kavi membuat senyap. Dosen itu datang membawa kabar untuk Nola. Sidang seminar hasil akan diadakan dua minggu lagi.

Sebagai mahasiswi bimbingan yang sering berselisih pendapat, Nola menolak. Ia ingin mencari jadwal sidang sendiri. Bukan dicarikan seperti yang terjadi pada sidang proposal tiga minggu yang lalu. Juga, ia ingin seperti mahasiswa lainnya yang dengan leluasa menentukan jadwal sendiri.

Namun, ucapan Tory yang mendukung Kavi seribu persen, membuat Nola kembali melunak. Laki-laki itu mengaku dianak tirikan oleh dosen pembimbing. Tidak pernah diperhatikan sebagaimana perlakuan Kavi kepada Nola. Bahkan untuk bimbingan pun, Tory mengalami kesulitan untuk menemuinya. Buktinya, sampai sekarang laki-laki itu belum maju seminar proposal.

"Tapi gak kaya gini juga. Aku tu kaya diburu tahu gak! Aku perlu jeda, istirahat." Akhirnya keluhan itu meluncur juga dari bibir Nola.

Air di sudut mata Nola buru-buru dilap oleh Yara yang memang membawa tisu di dalam tas. Adik kandung Kavi itu memprotes keegoisan kakaknya. Tidak tanggung-tanggung, ia berjanji akan mengadukan ke papi jika Kavi masih kerap memaksa kehendaknya pada Nola.

"Kamu enggak ngerti apa-apa, Bi!"

"Apa yang aku gak ngerti! Hah! Bangka tu keterlaluan! Sadar gak sih! Kasihan kakak iparku!"

"Diam kamu! Kamu enggak ngerti!"

Mendengar kata Bi dan kakak ipar, membuat Tory langsung menyela perdebatan antar adik dan kakak itu, "Woi! Sebentar! Ada yang bisa jelasin gak, Bi itu siapa dan siapa yang kakak ipar?"

"Aku. Aku Bi. Namaku Ayara Binar, tapi Bangka senang panggil aku Bi. Kayak panggil asisten rumah tangga, bibik, bi, bi, gitu. Kalau kakak ipar, ya Nola, siapa lagi? Tiap malam tanpa libur, Bangka selalu curhat ke sana ke mari tentang cewek yang namanya No -"

Kavi membekap mulut Yara, membuat adiknya itu bersusah payah melepaskan diri. Terjadi pergulatan yang membuat Tory mengajak Nola untuk menjauh. Membiarkan dan memberikan ruang untuk Kavi dan Yara.

***

"Semangat! Nola pasti bisa! Papa selalu doakan yang terbaik."

Kalimat papa sebelum Nola berangkat ke kampus, terputar secara terus menerus tanpa diminta. Gadis itu mengatur napas sebelum memasuki ruang sidang seminar hasil.

Mengangguk mantap ke arah Kavi yang mempertanyakan kesiapan. Melangkah bersama memasuki ruangan. Sama seperti seminar proposal, mula-mula Kavi memperkenalkan diri dan memperkenalkan Nola kepada tiga orang dosen penguji.

Pemaparan bab empat dan lima mengalir layaknya air yang jatuh ke lautan. Namun, bukan berarti tanpa hambatan. Gelombang yang siap menghempaskan juga banyak menghiasi di sepanjang pertanyaan dari dosen-dosen penguji.

Mereka tidak segan-segan untuk bertanya di luar konteks skripsi yang sedang di presentasikan. Materi dari semester satu sampai dengan terakhir, menjadi bahan empuk yang dilempar oleh para penguji.

Nola hampir menangis. Bukannya tidak tahu akan timbulnya pertanyaan itu pada seminar hasil, tetapi otaknya mendadak melupakan semua materi yang sudah dijejalkan selama dua minggu.

Kampus Ganas memang punya cara tersendiri untuk menempa mahasiswanya. Komprehensif yang digabung pada seminar hasil bukanlah ide yang bijak. Justru banyak mahasiswa yang terjatuh dan enggan untuk bangkit secepat mungkin.

Kavi mengancing blazer sebelum berdiri. Menyelamatkan diri Nola dengan membantu menenangkan gadis itu. Memberi sebotol air mineral dan mencoba membuka jalan pikiran dengan sedikit obrolan ringan yang menjurus kepada pertanyaan.

Air mata mulai menetes. Nola memilih sudut ruangan untuk mempertontonkan tetesan demi tetesan itu. Usapan Kavi yang lembut di punggung, sedikit menenangkan. Napas yang terisak perlahan melemah seperti sedia kala. Menyeka air mata dengan punggung tangan. Berbalik, mengucapkan terima kasih pada Kavi.

Melihat Nola yang sudah tenang, Kavi kembali duduk. Sementara Nola mencoba menjawab satu per satu pertanyaan yang sempat terjeda selama tiga menit.

Seminar hasil pun ditutup dalam waktu ke seratus dua puluh menit. Nola dan Kavi keluar ruangan. Kali ini langkah gadis itu terasa berat. Tidak menyangka jika harus menangis di dalam ruangan. Berdiri sebentar di pagar tembok pembatas koridor. Menatap taman dengan tatapan yang kabur, karena air mata.

Kavi merangkul, membawanya ke dalam pelukan. Jauh di dasar hati dosen itu, sudah merasa bersalah. Meminta maaf dengan suara yang berat. Mengusap punggung Nola yang tengah berguncang hebat.

Gadis itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya menangis dalam dekapan. Aroma parfum yang sudah akrab di indra penciuman itu, mendadak menyimpan memori baru dalam ingatan yang terdalam.

Sedang beberapa perjuangan yang telah berlalu, menderap memaksa keluar. Mulai dari susahnya mencari judul skripsi, menghadapi ujian praktik yang menyita emosi, sampai pada permasalahan mental ketika harus menghadapi Kavi sebagai dosen pembimbing.

"Nola, kamu dapat nilai bagus. Harus semangat. Sisa satu langkah lagi." Ucapan Kavi mengingatkan Nola akan satu anak tangga lagi untuk mencapai puncak.

Pendadaran.







Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang