Bab 18

162 26 0
                                    

Baru saja kemarin Nola dan Tory diajak makan Kavi, tetapi kabar langsung beredar lebih cepat dari kecepatan cahaya. Mengundang lebih banyak mahasiswi untuk penasaran dengan Nola. Dan parahnya, menjadikan rumah Tory sebagai kantor pos.

Carport yang hanya berukuran 4 x 5 itu mendadak menjadi ladang surat kaleng. Untungnya sejak kejadian surat kaleng yang pertama, sebagai anak TI, Tory langsung memasang kamera CCTV. Prasangkanya mengatakan pengirim surat kaleng itu telah salah alamat.

Dan benar saja ketika dibuktikan dengan kamera CCTV. Yang melempar semua surat kaleng tersebut adalah mahasiswi kampus. Tory semakin penasaran, kenapa harus melalui rumahnya jika semua surat itu untuk Nola?

Dengan minta tolong temannya yang memiliki pacar, akhirnya Tory mendapatkan jawaban.

"Semua surat ini dari fans Kavi. Fans garis keras. Termasuk pacarnya temenku. Eh, maksudku mantan, soalnya pas tahu si pacar demen banget sama Kavi, langsung diputusin."

"Ha? Seaneh itu?" sembur Nola.

Tory mengangguk, tangannya tidak berhenti membakar semua surat dalam kaleng bekas. Sementara Nola jadi terdiam dengan banyak surat dalam genggaman tangan. Dinginnya malam terhalang bara api yang sedang asyik menyiksa surat menjadi abu. Nola berkhayal seandainya bisa semua yang terpahit dalam hidup musnah menjadi abu.

"Terus, kenapa ke rumahmu?" lanjut Nola penasaran.

"Salah alamat," jawab Tory seraya tertawa puas.

Nola mengernyit, masih belum paham arti tawa Tory. Menarik-narik kaos oblong Tory sambil mengerucutkan bibir, meminta penjelasan lebih jauh pada laki-laki yang malam ini amat senang, sebab bundanya sudah pulang dinas.

"Kata temenku yang baru mutusin pacarnya si fans garis keras Kavi, ada satu orang yang ikutin kita waktu itu. Kebetulan kita pulangnya ke rumahku. Jadilah dipikirnya itu rumahmu."

Kali ini tawa Nola yang meledak. Meski mengagumi bertubi-tubi, nyatanya fans Kavi super militan dalam diam.

Fans garis keras Kavi kok rada bego sih?

Puas tertawa, Nola kembali membuat abu dari satu surat yang tersisa di tangan. Sebab yang lainnya sudah dilaksanakan Tory.

"Dasar dosen absurd."

"Dosa," sahut Tory terkekeh.

"Dosa? Dia tuh yang dosa ke aku!" tampik Nola.

"Dosa. Dosen absurd."

***

Usai sarapan yang buru-buru, Nola bergegas berlari ke perpustakaan usai pamit pada Tory. Bagi sebagian orang, perpustakaan adalah tempat hening yang paling pas saat sedang menumpuk tugas, tetapi bagi Nola tidak. Karena ia tidak pernah sengaja menumpuk tugas. Tugasnya saja yang datang selalu bagaikan hujan.

Saking buru-burunya, ia jadi lupa membayar makan siang. Untung ada Tory yang mengabari lewat chat, mana bisa sahabatnya itu membiarkan Nola berhutang ke penjual makanan walau hanya dua puluh ribu. Dan untungnya Tory membawa uang, sebab ia baru bangun tidur ketika Nola minta tolong diantarkan ke kampus.

Laki-laki yang masih mengenakan kaos oblong, celana pendek, kaos kaki beda sebelah dan sepatu kets itu langsung menuju rumah begitu selesai sarapan dan ditinggal Nola. Ia tidak mau menyia-nyiakan jam kosong yang bisa dipakai buat tidur.

Di perpustakaan, saat tengah asyik berkutat dengan tugas, gawai Nola bergetar. Menampilkan sebuah chat baru dari kating. Kali ini yang datang adalah tugas dari Kavi. Si dosa yang sudah dua hari tidak memberikan tugas kini kembali beraksi.

Nola membuka lampiran chat, genap sepuluh halaman berisikan soal pilihan ganda enam lembar dan sisanya soal esai. Dengan kedatangan tugas dari Kavi, maka semakin memperlambat gerak Nola untuk minta izin sebab harus menemani papa cuci darah untuk pertama kalinya.

Baru saja gawai diletakkan ke atas meja, getaran tiada henti langsung memberondong. Nola yang sudah hafal mati dengan aneka rupa alasan teman-teman, membaca isi chat hanya dengan melihat nama pengirimnya.

Seperti biasa, Nola memulainya dari pesan paling bawah. Mengerjakan dan mengirim jawabannya secara urut mulai dari pengirim pertama. Sedangkan tugas mata kuliah bahasa inggris profesi, pengetahuan tata letak dapur, dan supervisi tata boga dikesampingkannya terlebih dahulu.

Waktu terasa terlalu tergesa-gesa ketika disibukkan dengan sederet tugas. Nola pun tidak bisa meminta tambahan waktu. Ia membereskan barang, lalu menuju kelas. Untuk masing-masing mata kuliah, kecuali mata kuliah yang diampu Kavi, tersisa satu soal yang belum terisi. Dan ternyata, begitu mata kuliah berakhir, hal itu mengundang keheranan bagi dosen-dosen. Yang mana dinding ruangan di ruang dosen pun layaknya manusia, memiliki mata, mulut, dan telinga. Hingga kabar itu sampai ke telinga Kavi.

Sayangnya ketika Kavi masuk kelas untuk mengajar, Nola tidak berada di tempat. Gadis itu sudah keburu izin. Tanpa sadar Kavi memarahi kating yang dinilai terlalu gampang memberikan izin. Dan itu mengundang keheranan mahasiswa di kelas. Tidak biasanya dosen itu mempermasalahkan perihal izin.

Desas-desus kembali menguar serupa aroma bunga mekar di pagi hari.


Dibalik meja, Kavi memeriksa tugas yang dikumpulkan, lagi-lagi 70% jawaban satu kelas sama. Ia melepas kacamata, mengurut pangkal hidung. Dengan satu tangan yang mengepal di atas meja.

"Nola!" jeritnya dalam hati.

Di rumah sakit, kepala Nola berdenyut tidak karuan. Jantungnya berdegup kencang seakan mengiringi rasa mulas. Ia terus melangkah bolak balik di depan papa yang sedang duduk menunggu giliran.

Berkali-kali papa memintanya untuk duduk, tetapi hanya bertahan tiga detik. Setelah itu ia kembali mondar-mandir. Akhirnya papa hanya menyaksikan, layaknya sedang menonton sepak bola, tatapan yang serius tidak bisa diganggu.

Tidak lama, datang seorang perawat yang membawa tablet. Ia memastikan papa sekali lagi sebelum meminta untuk mengikutinya ke ruangan hemodialisa. Mendadak tubuh Nola seperti tersiram angin AC. Dingin, membeku.

Nola mengiringi langkah mereka, tetapi hanya sampai depan pintu ruang hemodialisa, memeluk erat papa dengan diiringi isak tangis yang bersembunyi dalam senyum.

"Papa pasti sembuh," ucap Nola setengah mati, dengan lidah yang kelu.

Sejujurnya, gadis itu belum pernah memeluk papanya sebelum kehilangan mama. Dulu, mama satu-satunya tempat bersandar. Nola bisa bebas berekspresi di depan mama. Namun, setelah takdir memaksa, Nola mulai mengubah diri. Membiasakan diri mencurahkan kasih sayang kepada papa.

Setelah berbalas lambaian tangan, Nola duduk di ruang tunggu. Lagi-lagi ia kembali mondar-mandir. Teguran salah seorang keluarga pasien membuat Nola langsung duduk. Itupun kakinya tidak bisa berhenti bergoyang, sedang jemari tangan saling meremas.

Lama kelamaan, tubuhnya menggigil terkena AC. Bibirnya yang dipoles lip tint nude, berubah menjadi pucat. Nola merasa nasibnya kian anjlok selepas kepergian mama. Dan tidak pernah mengerti bagaimana harus menjalani hari dengan perasaan yang baik-baik saja di saat semuanya sedang tidak baik-baik saja.

Dua jam terlewati, perasaan kacau yang melanda perlahan memudar berganti dengan rasa bosan. Masih ada dua jam lagi. Gadis itu memilih untuk ke supermarket yang masih berada di wilayah rumah sakit. Membeli segelas kopi kemasan dan beberapa camilan.

"Lebih baik minum air putih."





Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang