Bab 19

153 26 0
                                    

Tory menyodorkan sebotol air mineral dan merebut gelas kopi yang sudah menyentuh bibir Nola. Tidak sanggup menolak, Nola mengambil dan menenggak setengah air mineral.

Tory memandangi Nola, ia tahu persis seribu masalah yang sedang dihadapi sahabatnya itu. Tidak sanggup jika harus menambahnya dengan mengatakan kalau surat kaleng kembali berdatangan.

Lambaian tangan Nola tepat di depan wajah, membuat Tory mengedipkan mata yang entah sudah berapa detik tidak berkedip. Alih-alih menceritakan tentang surat kaleng, laki-laki itu lebih memilih untuk tersenyum seraya memuji kecantikan Nola.

Tanpa tersipu, Nola langsung bersandar di bahu Tory. Bahu yang selama ini selalu berhasil menenangkan. Tory mengusap lembut bahu sahabatnya. Meski tanpa kata, tetapi jiwa mereka saling memahami. Memeluk tidak harus bersuara, menenangkan tidak selamanya dengan nasihat. Pelukan yang menenangkan adalah pelukan yang lama, yang hanya dilakukan tubuh tanpa bibir, tanpa bising.

Dua jam berlalu, papa yang sudah selesai cuci darah, keluar ruangan bersama seorang perawat yang mendorong kursi rodanya. Karena baru pertama kali, maka tubuh papa harus beradaptasi sedikit lebih lama dari pasien yang sudah terbiasa.

Nola dan Tory yang baru tiba di depan ruangan hemodialisa langsung menggantikan perawat untuk mendorong kursi roda. Mereka berjalan menuju apotek.

"Papa tunggu di sini, Nola pesan ojek dulu." Gadis itu berjalan sendiri ke area parkir. Sementara Tory menemani papa mengantre obat yang baru saja diresepkan dokter.

Di area parkir, Nola berpikir keras. Uang di tangan tidak cukup untuk membayar ojek mobil atau pun ojek motor. Hatinya sangat teriris dengan situasi ini.

Nola! Kenapa pakai acara jajan kopi segala sih!

Tidak sanggup lagi mondar-mandir, ia hanya terduduk di salah satu kursi kayu yang sudah lapuk. Dan semakin lapuk terkena air mata.

Akhirnya, ia meminta Tory mengantar papa dengan alasan jika dirinya harus kembali ke kampus karena ada yang tertinggal. Sebenarnya Tory tidak percaya. Bahkan sebelum jalan, Tory berbisik jika ia akan kembali untuk menjemput. Nola hanya perlu menunggu di rumah sakit.

Awalnya, Nola sempat percaya apa kata Tory. Namun, setelah satu jam berlalu, Tory belum juga nongol dan membuat Nola membulatkan tekad untuk pulang berjalan kaki.

Jika memakai sepeda motor, jarak tempuh dari rumah sakit ke rumah adalah dua puluh menit, maka bisa dihitung berapa jaraknya jika ditempuh dengan berjalan kaki.

Terlihat matahari sudah bersiap untuk menyelam. Nola masih melangkah menuju rumah melalui bahu jalan. Tepat saat di pertigaan lampu merah, terdengar klakson dari mobil yang terus mendera telinga. Klakson itu mendapat balasan dari kendaraan lainnya yang juga merasa tersiksa akan bunyinya. Nola acuh, ia asyik menyeret langkah yang kian terasa berat.

"Nola? Nola?" Sebuah mobil hitam dengan kaca jendela yang terbuka, menyeimbangi langkah Nola.

Gadis itu menoleh.

Kavi!

"Masuk," sambung laki-laki itu dari balik kemudi.

Nola berdiri mematung. Ingin, tetapi tidak ingin. Merasa terburu sebab menghalangi jalan kendaraan lain akibat berhenti sembarangan, Kavi turun dan dengan cepat menarik Nola untuk masuk ke mobil.

"Mau ke mana? Saya antar."

"Pulang," jawab Nola pelan nyaris berbisik.

Sampai-sampai Kavi harus mendekatkan telinga agar mendengar ucapan Nola yang keempat kalinya.

Sebelum tiba di rumah, Kavi membelikan Nola sebotol air dan sebungkus roti. Sebab gadis itu menolak ketika diajak makan. Hanya sekejap, air dan roti sudah berjejal di dalam lambung Nola. Sehingga membuatnya menyembunyikan sendawa di balik tangan.

Setibanya di rumah, Tory yang sejak tadi mengobrol dengan papa, menstater motornya bersiap pulang, sebab azan isya telah selesai berkumandang. Ia langsung memberondong Nola dengan pertanyaan. Sayangnya gadis itu hanya melanjutkan langkah masuk. Ingin saja Tory menanyai dosen yang masih berdiri di depan pagar itu, tetapi urung ketika ia bergegas pamit pulang.

"Pacaran apa gimana sih? Kok pulang bareng?" gumam Tory seraya melajukan motor.

***

Di sepanjang langkah, lirikan dan cibiran seperti kelopak mawar yang dihambur saat ada pengantin melintas menuju pelaminan. Selangkah, dua langkah, telinga Nola masih bisa menahan. Namun, semakin memasuki kampus, aneka verbal menyakitkan itu tidak tertampung lagi di daun telinga. Hingga meluap sampai ke hati.

Nola berlari, entah ke mana. Tory yang berada di belakang segera menyusul dengan terbirit-birit. Deraian air mata di pipi jatuh membasahi kerah kemeja polos yang secerah pagi ini.

Ketika sedang berlari, Kavi yang kebetulan juga sedang melintas dari arah berlawanan di koridor, dengan cepat menarik tangan Nola. Sebab terlihat Tory yang mengejar jauh di belakang. Untung saja gadis itu tidak terjatuh.

"La, berhenti," ucap Tory tersengal di belakang.

Sayangnya usaha Kavi gagal. Gadis itu berhasil lepas dan lanjut berlari. Berharap bisa menjauh dari semua orang yang menyakitkan.

"Kenapa?" tanya Kavi pada Tory yang tersandar di tembok koridor.

"Lah? Gara-gara kamu, yang kemarin lusa ajak kita makan, terus kemarin pas kalian satu mobil. Nola jadi di bully. Lain kali gak usah ajak makan atau antar pulang deh, mentahnya aja," cerocos Tory sambil mengatur napas.

"Kemarin? Kemarin itu karena saya lihat dia jalan kaki, mukanya pucat, jadi saya tawarkan tumpangan."


Mendengar ucapan Kavi, Tory langsung menepuk jidat, mengumpat dirinya sendiri. Betapa penyakit pikunnya tidak bisa ditinggal barang sehari pun.

Berbeda dengan Tory yang sibuk menyesal dan mencoba menghubungi Nola, Kavi langsung melesat mencari Nola ke seluruh ruangan di lantai empat. Napasnya mulai tersengal dari satu pintu ke pintu lainnya.

Tersisa satu ruang kosong yang belum dimasuki. Kavi mengatur napas sebelum membuka pintu. Terlihat Nola sedang menelungkupkan wajah di atas meja paling belakang. Bahunya berguncang. Dengan berjalan perlahan, Kavi mendekat. Menyentuh lembut bahu gadis itu.

"Saya minta maaf," ucap Kavi pelan.

"Atas?" Suara dari belakang mengejutkan dosen muda itu.

Ternyata Moira, ia berdiri di ambang pintu. Kavi melihat Nola dan Moira bergantian sebelum akhirnya memutuskan melangkah mendatangi Moira. Dengan balas menatap tajam, Moira yang hari ini mengeriting gantung rambut sebahunya itu mendesak jawaban dengan isyarat dagu dan tangan bersedekap di dada. Kavi menarik Moira untuk keluar ruangan.

Entah untuk yang ke berapa kalinya Kavi menegaskan bahwa apa yang pernah terjadi di antara mereka sudah selesai. Juga meminta Moira untuk berhenti melukai perasaan Nola dengan sikap tidak pantasnya tersebut.

Rahang Moira mengeras, kedua tangan mengepal di sisi paha. Bibir yang terkatup tidak mampu bersuara. Ada air mata yang menetes dari sudut mata. Biar bagaimanapun, cinta yang pernah singgah, tidak bisa diusir. Sekalipun kadar sudah mulai berkurang, tetapi kenangan yang terlanjur terukir siapa yang bisa menghapus seperti sedia kala?

"Tega, ya kamu. Setelah semua yang kulakukan buatmu, kaya gini balasan kamu?"







Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang