Bab 80

70 2 0
                                    

Bayangan perempuan semalam tidak mau pergi, meski sudah diusir berkali-kali. Siapa dia? Sayang? Dia manggil Kavi dengan sebutan sayang. Pacar? Istri? Argh!

Karena kehilangan semangat, hampir saja Nola terlambat. Ketukan pintu dari papa berhasil membubuhi sedikit semangat. Dan lebih banyak semangat ketika papa mengantarkan ke kampus.

Pria paruh baya itu bersedia menunggu. Kebetulan setelah sidang, tidak ada kegiatan lainnya. Papa mengantar sampai di pintu lift. Nola mencium punggung tangannya takzim sebelum menaiki lift.

Berdiri menghadap pintu ruangan sidang. Semilir angin mulai menyapa lembut. Koridor dipenuhi mahasiswa yang mengantre. Menunggu giliran dibantai di dalam sana.

Peserta sidang yang mengenakan pakaian atasan putih dan bawahan hitam, memudahkan untuk membedakan mana yang diberi semangat dan mana yang memberi semangat. Hampir semua yang mengantre di kelilingi sahabat. Sahabat yang baik, yang berusaha mentransfer ledakan semangat. Meski bisa dilihat, warna mereka pun tidak terlalu merah.

Nola segera berbalik, menghadap taman. Memandang langit yang berwarna kelabu, sekelam suasana hati.

Tanpa latihan di depan cermin, tanpa persiapan yang matang, kali ini Nola berserah sepenuhnya. Sebab bayangan perempuan semalam memaksa, mengikuti bila Nola ingin mempelajari ulang apa yang diberi Kavi semalam.

Gadis itu hanya meyakinkan hati, bahwa sidang hasil KKN bukanlah sebuah pilihan. Melainkan sebuah langkah untuk bisa menuju ke proses selanjutnya.

Begitu suara pintu menderit terbuka, seorang mahasiswa keluar dari ruangan, Nola berbalik. Mulai mengatur napas sebelum menggantikan posisinya di dalam.


Mengetuk dan mengucapkan salam, dengan langkah mengambang gadis itu masuk ruangan. Menghadapi dosen pembimbing lapangan yang sudah bersedia mendengar presentasinya.

Menyerahkan diska lepas kepada operator yang duduk mesra dipojokkan bersama sebuah laptop. Kemudian berdiri tegap di tengah-tengah. Mulai memaparkan hasil laporan yang terdiri dari laporan harian selama kurang lebih dua bulan.

Meski suara dan jemari tidak bisa berhenti bergetar, Nola tetap berusaha memaparkan sejelas mungkin. Sesekali perlu jeda beberapa detik untuk memancing suara agar timbul nyaring.

Tiba di sesi pertanyaan, gadis itu sempat mematung. Bahkan pemaparannya sendiri mendadak terbang menjauhi isi kepala. Hingga kesulitan untuk mencari jawaban.

Untungnya dosen pembimbing lapangan itu mengerti, mempersilakan Nola untuk minum terlebih dahulu. Kesempatan gadis itu untuk duduk mengatur napas. Menegak habis sebotol air mineral dengan harapan bisa melancarkan peredaran materi di dalam otak.

Merasa sudah siap, Nola kembali berdiri dan mencoba untuk menjawab satu demi satu pertanyaan yang terlempar. Dan meminta maaf pada hati yang tersakiti ketika harus menggali ingatan tentang bocoran yang diberi Kavi semalam.

Ternyata bukan hanya sekadar bocoran. Melainkan layaknya kunci jawaban. Hingga dosen pembimbing lapangan itu merasa cukup akan presentasi yang Nola bawakan.


Berbeda dengan mahasiswa lainnya yang hanya perlu waktu selama empat puluh lima menit. Nola membutuhkan dua puluh menit waktu tambahan ekstra. Namun, berhasil mengantongi nilai A.

Tidak ada yang menyambut ketika keluar dari ruangan. Senyum yang tercetak harus segera disembunyikan. Begitu juga dengan perasaan bahagia, yang mana tidak ada yang bersedia menyambutnya di balik pintu.

Nola berjalan menyusuri koridor yang kali ini benar-benar sesak. Suara-suara itu terpaksa dibungkam ketika seorang dosen meminta untuk menyembunyikan keramaian yang terjadi.

Berlanjut ke ruang dosen, Nola berencana menemui dosen pembimbing. Membawa hasil sidang sebagai salah satu bukti bahwa ia siap meneruskan perjuangan selanjutnya, yaitu skripsi.

Dua judul alternatif pun sudah dituliskan di secarik kertas. Lengkap beserta latar belakangnya. Nola duduk sendiri di ruang dosen. Menunggu dosen pembimbing yang biasanya mudah ditemukan di ruangannya.

Pintu dibuka, gadis itu segera menoleh. Sayangnya bukan orang yang diharapkan. Melainkan orang yang tidak diharapkan. Ketika Kavi masuk, ia segera bangkit hendak keluar. Namun, tangan Kavi lebih cepat mencengkeram. Nola kembali duduk, kali ini harus menghadapi Kavi.

Berusaha menyembunyikan tatapan ke bawah. Memandang jemari yang saling meremas lebih baik daripada menatap mata dosen itu.

"Pulang sama siapa semalam?"


Nola diam seribu bahasa. "Kamu kenapa? Cemburu?" lanjut Kavi masih dengan tatapan tajam.

Sontak gadis itu mengangkat wajah dan menggeleng kuat, "Aku pulang sama Benny. Ketemu Benny di depan blokmu. Kenapa? Cemburu?"

Bak sama-sama tertembak mati, Kavi yang sempat terdiam itu akhirnya mengangguk perlahan. Tatapannya yang tajam membuat Nola gelisah karena pertanyaannya sendiri.

"Apa hasil sidang?" tanya Kavi kemudian yang bisa membuat Nola bernapas lega.

Nola baru menganggukkan kepala hendak menjawab, tetapi Kavi lebih dulu memotong. Memberitahu bahwa dosen pembimbingnya sedang sakit dan mengambil jatah cuti sakit. Alhasil, Kavi yang menggantikannya.

"Gak bisa!" tolak Nola cepat seraya berdiri.

"Keputusan bersama. Bukan mau saya," sahut Kavi tenang.

Gadis itu mengusap wajah kasar. Demi apa Kavi jadi dosen pembimbing! Bagi Nola, lebih baik mengerjakan laporan harian KKN selama enam bulan, daripada harus jadi mahasiswa bimbingan Kavi.

Berlari keluar dengan pikiran yang kusut. Mendatangi papa yang duduk di bangku taman. Dari kejauhan, Nola bisa menangkap wajah papa yang cerah.

Dan benar saja, begitu mendekat, papa langsung bertanya hasil sidang, yang mana terselip keyakinan bahwa anaknya akan mendapat nilai yang sempurna.

Nola memeluk erat papa seraya memberitahu hasil sidang. Ayah dan anak itu mengurai rasa bahagia dengan senyum yang mengembang. Namun, semua itu hanya sekejap. Karena kedatangan Kavi membuyarkan segalanya.

Tidak tanggung-tanggung, dosen yang tengah duduk bersisian dengan papa itu langsung memberitakan bahwa ia adalah dosen pembimbing Nola.

Mendengarnya, papa menjadi senang. Karena ia sudah tahu kinerja Kavi selama di kafe. Orang yang bertanggung jawab dan sebelas dua belas dengan dirinya.

Sementara Nola yang berdiri di belakang papa hanya bisa bersungut-sungut. Memelototi Kavi tiada henti. Apalagi ketika dosen itu bersedia untuk membimbing Nola mulai malam ini.

"Syukurlah kalau kamu, saya agak tenang. Karena kalian kan sudah dekat sejak di kafe. Jadi tek toknya nanti selama bimbingan juga sepertinya akan lancar. Wah, enggak sabar papa pengen foto wisuda sama anak papa."

Nola tersenyum kecut ketika papa menoleh ke arahnya. Namun, ketika papa kembali menghadap Kavi, gadis itu memelototi Kavi lagi. Lengkap dengan bibir yang mengerucut dan tangan mengepal yang seolah-olah siap melayang.

Rintik hujan turun perlahan. Mereka bergegas berlari ke basemen. Dengan ramah Kavi menawarkan tumpangan. Berbeda dengan Nola yang menolak karena memikirkan nasib motor di basemen kalau mereka ikut Kavi, papa justru langsung melangkah bersama dosen itu menuju lantai tiga.

Begitu masuk ke mobil, Nola langsung disuguhi sebuah foto yang sebelumnya tidak terpajang di mobil Kavi. Sama seperti Nola, papa juga tengah menatap foto itu. Mereka berdua tampak terdiam.

"Namanya Ayara Binar. Dipanggil Yara."




Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang