Bab 41

96 4 0
                                    

Di teras rumah, Nola mondar-mandir dengan tangan yang bersedekap dan sesekali cicitannya mengejutkan papa. Untung saja kopi yang sedang disesap tidak tumpah.

Setelah mengembalikan cangkir ke pangkuan pisin, papa bersandar pada punggung kursi. Masih memerhatikan anak gadisnya mondar-mandir.

"Sabar, macet kali?" ucap papa pada akhirnya sebelum masuk ke rumah.

Ia hendak menikmati Netflix dengan martabak dan sisa kopi dalam cangkir. Ditepuknya bahu Nola sebelum menutup pintu. Tepukan itu berhasil membuat Nola sadar akan rasa lelah kakinya, dan memilih untuk duduk.

Baru saja Nola hendak mengeluhkan soal nyamuk yang sejak tadi terlalu lincah untuk ditepuk, Tory datang. Dengan santai ia membunyikan klakson dan memamerkan bungkusan burjo nangka kesukaan Nola dari depan pagar.

Dengan langkah menderap Nola membuka pagar. Emosi sudah di ujung tanduk, pasalnya Tory benar-benar jam karet!

"Ah! Kamu!" Alih-alih meluapkan amarah, kalimat itu justru menggantikan.

Wajah yang sudah bersungut-sungut, mendadak berubah. Kepala tangan pun hanya bisa merenggut angin. Setelah membuang napas secara kasar, Nola mempersilakan sahabatnya yang tengah tersenyum lebar itu untuk masuk.

Papa yang sedang menikmati Netflix, buru-buru menekan tombol pause pada remote. Tanpa basa-basi, ia langsung mengajak Tory untuk menonton bersama.

Nola yang berada di dapur untuk mengambil piring kosong, langsung protes begitu Tory menyatakan ketersediaan. Piring yang diambil, diletakkan secara kasar ke atas meja. Begitu juga ketika mengambil minum dari dalam kulkas. Benda berpintu dua yang tidak bersalah itu, menjadi pelampiasan. Menutupnya dengan keras hingga membuat ia sendiri terkejut.

Sementara di ruang keluarga, Tory dan papa saling pandang. Dan segera laki-laki itu mendatangi Nola ke dapur.

"Sorry. Kamu mau ngomong apa sih?" Tory duduk di salah satu kursi meja makan.

"Kamu cerita apa aja sih ke Moira? Kok dia bisa tahu dosa?" Pertanyaan itu meluncur tanpa rem.

Tory mengatur napas sebelum menjawab. Bahkan ia minta izin untuk meneguk segelas air terlebih dahulu. Melepas jaket dan menggantungkannya ke sandaran kursi.

"Aku bilang, kalau kamu nyebut Kavi itu dosen aneh atau dosen absurd, alias dosa," jawabnya yang masih menggenggam gelas yang isinya sudah tandas.

Bibir Nola mengerucut. Tory sudah bisa menebak kalau Nola hendak menuduhnya berbohong. Namun, laki-laki itu kembali meyakinkan dengan kalimat pasti, karena memang seperti itu adanya.

Kobaran api di sekitar Nola padam seketika. Ia menarik kursi untuk duduk di sebelah Tory. Memerhatikan luka di wajah sahabatnya itu. Lantas Tory pun tersenyum seraya berkata jika lukanya sudah sembuh berkat perawatan dari Moira.

Siapa sangka, dibalik keganasannya di kampus, ternyata Moira berhati mulia. Betapa setiap hari ia tidak pernah absen untuk menjenguk Tory. Merawat lukanya dan tentu saja ia datang dengan makanan enak, buah-buahan serta camilan.

Bahkan ia meminjamkan PS miliknya untuk dimainkan selama Tory menginap di kos. Alih-alih merasa khawatir dimarah bunda yang kebetulan sejak satu minggu yang lalu sedang tugas luar kota, Tory malah merasa nyaman dan keterusan tinggal di kos. Sudah hampir dua minggu ia tidak pulang.

Mendengar cerita Tory, Nola segera menoyor kepala sahabatnya itu. Dan ditanggapi dengan sebuah tawa kecil, yang lebih mirip cengengesan.

Kini giliran Tory yang bertanya mengenai sejauh mana pertemanan Nola dan Moira. Mendengarnya, Nola kembali menuduh Tory yang sengaja mengatur siasat ini.

Dengan jari telunjuk dan tengah yang terangkat, Tory berkali-kali mengucap sumpah bahwa ia sama sekali tidak mengatur apa-apa. Memang sejauh ini Tory merasa Moira asyik diajak berteman. Namun, laki-laki itu setia, ia tidak akan mengkhianati Nola.

"Kenapa gak coba berteman aja sih? Moira itu anaknya asyik."

Nola terdiam memikirkan ucapan Tory. Bukan memilih teman, Nola hanya waspada, mengingat apa yang dulu pernah dilakukan Moira. Memang benar, memaafkan bukan berarti melupakan.

"Nola, kafe kebakaran!" seru papa menyambangi ke dapur.

Tory dan Nola langsung berdiri. Saking paniknya, kursi yang mereka duduki mendebam ke keramik.


Wajah laki-laki paruh baya itu memucat. Bahkan hampir terjatuh seandainya tidak ditangkap Nola dan Tory. Nola membiarkan air mata mengalir bebas, tidak sanggup hatinya untuk menahan.

Tidak ada jua bibir yang sanggup bertanya apakah berita yang disampaikan papa benar atau tidak. Tory dan Nola fokus pada papa yang menjadi lemas seketika.

Dengan dipapah, papa menuju kamar. Membiarkan beristirahat, meski Nola tahu papa tidak akan bisa memejamkan mata. Sebenarnya ia pun merasakan aliran darah kian melaju. Lutut yang lemas susah untuk melangkah, tetapi di depan papa, Nola pandai berakting.

Papa hanya sanggup mengangguk ketika mereka pamit. Sebelum benar-benar pergi, Nola memeluk erat papa yang sudah tidak bisa membendung tangis.

Dalam sekejap, Tory dan Nola melaju menuju kafe. Membelah padatnya jalanan. Satu yang memenuhi pikiran Nola saat ini; papa.

Mereka tiba di menit ke delapan, dari jarak tempuh yang biasanya memakan waktu lima belas sampai dua puluh menit. Nola dan Tory segera berlari menuju kerumunan. Seperti ingin membalap para petugas pemadam yang juga tengah berlari membawa selang.

Sampai di batas yang dijaga polisi, mereka berhenti. Dada Nola kembang kempis mengatur napas yang kian menderu. Penglihatannya kini sepenuhnya terhalang air mata. Hanya dengan satu kedipan, air mata luruh tak berarah.

Ia menyaksikan ruko kafe yang tengah disiram pemadam. Bisingnya sekitar benar-benar tidak bisa menembus pendengaran Nola.


Banyak yang lalu lalang menyelamatkan dagangannya, terutama tabung gas dan kompor. Sebab sudah tiga hari, Samarendah Food Festival (SFF) berlangsung di depan deretan ruko. Dengan kejadian ini, mungkin SFF akan dihentikan sebelum waktunya.

Nola terduduk di antara kerumunan yang sibuk siaran langsung di salah satu grup Facebook terbesar di Kota Tepian. Dari grup itu biasanya mengundang banyak relawan untuk turut serta membantu. Selain itu, warga Kota Tepian juga akan lebih cepat mengetahui informasi. Hanya saja, kekurangannya adalah menghalangi pekerjaan petugas pemadam.

Hanya gemercik suara api yang menggigit bangunan yang bisa hinggap di telinga Nola, meski terdengar ngilu. Kobarannya begitu membara, membuat peluh berlomba dengan air mata. Walau Nola tidak merasa kepanasan.

Ketika kerumunan berhasil dibubarkan relawan damkar, tersisa Nola yang tengah terduduk dengan pupil yang dipenuhi kobaran api. Meski begitu, tubuhnya justru menggigil menyaksikan satu-satunya jalan nafkah untuk keluarganya tengah berjuang agar tidak habis dilalap si jago merah.

Tangisan Nola terus meledak, Tory hanya bisa memeluk dan membawa ke teras ruko yang berada di seberangnya. Tepat saat Nola menyadarkan kepala ke dada Tory, ia melihat seseorang yang juga ikut menyaksikan dari kejauhan. Namun, begitu sadar sedang diperhatikan, seseorang itu lekas berlari menjauh.

Moira?



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang