Bab 77

63 2 0
                                    

Masing-masing telinga menyorot suara gemercik air hujan yang turun tipis-tipis. Pergerakan sedikit pun akan mengundang suara sofa yang terdengar seperti menjerit-jerit.

Sambil berusaha menyembunyikan deru napas, tatapan Nola tidak beralih dari jemari yang saling meremas. Duduk di tengah-tengah Benny dan Kavi benar-benar membuat gadis itu mati kutu.

Sejak tadi memang tidak ada perdebatan yang terdengar, mungkin belum. Kedua laki-laki itu masih beradu tatap, padahal sudah lewat lima belas menit. Kavi tidak menerima Benny sebagai tamu di rumahnya, tetapi Benny yang keras kepala itu memaksa untuk ikut begitu mendengar alasan Nola untuk ke rumah Kavi.

"Lagian, kalau cuma berduaan di rumah, yang ketiganya itu setan," ucap Benny memecah hening. "hei, aku bukan setan. Tapi malaikat. Malaikat pelindung Nola," sambungnya seraya menderai sedikit senyum dan melirik Nola.

Kavi berdiri, ia mengajak kedua mahasiswa itu ke dapur. Meminta mereka membuat sop daging dari sedikit bahan yang sudah tersedia. Nola dan Benny dibuat menjadi lawan. Masing-masing diberi waktu satu setengah jam.

Tanpa bersuara, apalagi menolak, Nola langsung menggulung tinggi rambut. Membuka blazer dan memberikan dengan ragu kepada Kavi yang sudah menengadahkan tangan, siap menyambut.

Dengan cekatan Nola mengolah semua bahan, tidak lupa mengatur waktu secara tepat. Berbeda dengan Benny yang terlihat santai. Bahkan ia tidak memasukkan beberapa bahan ke dalam panci berisi dagingnya.

"Aku suka sop daging polosan. Tanpa pala, cengkih, kayu manis," bisiknya pada Nola yang tidak mendapat tanggapan apa pun.

Pengatur waktu milik Kavi berbunyi. Artinya satu setengah jam sudah terlewati. Sementara Benny yang sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu, masih saja betah memandangi Nola dengan dagu yang bertumpu tangan.

Gadis itu tidak punya waktu untuk salah tingkah. Padahal, tatapan Benny benar-benar mengganggu. Apalagi, ia memandangnya dari jarak dekat.

Kavi yang sedari tadi hanya menyaksikan sambil menulis sesuatu di atas kertas, berdiri dan mulai mencicipi masakan Benny. Mengamati mangkuk, menghidu aroma, lalu mulai menyendok-nyendok isi mangkuk.

Usai menyuap, alis Kavi terangkat. Bibirnya melengkung ke bawah. Tanpa mau berkomentar, ia beralih ke mangkuk Nola. Sama seperti yang dilakukannya sebelumnya, mengamati, menghidu dan menyendok-nyendok.

Berbeda dengan Benny yang santai mengurai senyum. Bibir Nola justru mengatup rapat. Mengatur napas dengan harap-harap cemas. Hingga Kavi memberikan catatan kepada mereka berdua.

Nola membaca dengan saksama. Beberapa koreksi tertera di sana. Sesuai perintah Kavi, kertas itu segera di simpan sebagai bahan pembelajaran nanti.

Merasa lapar, Benny meminta izin pada Kavi agar bisa menetap lebih lama. Ia ingin menikmati semangkuk sop daging olahannya, ketika Kavi menyuruh Nola untuk membuka laptop, untuk mengerjakan laporan harian.

Tanpa berpikir, Kavi langsung menyuruh Benny membawa semangkuk sop itu untuk pulang, "Ambil aja semangkuk-mangkuknya."

Sayangnya laki-laki itu tidak mau pulang. Ia ingin menikmati di rumah Kavi. Duduk di sisi Nola yang sudah menghadapi laptop. Saat melihat Kavi memijat batang hidung, Benny menertawakannya. Sebuah tawa yang disembunyikan di balik punggung Nola.

Belum saja Nola mulai mengetik sesuatu, mangkuk Benny sudah kosong tak bersisa. Lalu menandaskan segelas jeruk hangat yang sudah tidak hangat lagi. Minuman itu buatan Kavi untuk menyambut kedatangan mereka saat magrib tadi.

Suara sendawa mengejutkan Nola dan Kavi. Tanpa merasa bersalah, Benny mempertanyakan arti tatapan mereka berdua tanpa mengeluarkan pertanyaan. Tidak ada yang mau menyahut, keduanya kompak membuang tatapan seraya menggeleng.

"Sendawa itu bukan jorok. Sama kaya kentut," kelakar Benny yang baru menyadari.

"Tapi kan harus lihat situasi," sahut Kavi memulai perdebatan.

Meski sudah menutup telinga, nyatanya suara mereka berdua masih saja bisa menembus pendengaran Nola. Terpaksa gadis itu menyudahi dengan sedikit berteriak, "Stop! Bisa gak sih gak usah debatin hal sepele?"

Buru-buru memasukkan laptop ke dalam ransel, mengambil blazer dan melangkah ke pintu. Nola pamit, ia akan mengerjakan laporan di rumah saja. Lebih bisa konsentrasi, lebih tenang, dan lebih baik.

***

Nola melempar gawai ke dalam ransel usai membaca chat Benny. Gadis yang ingin menikmati waktu istirahat di rumah itu, memijat batang hidung sebentar.

Berganti baju di ruang loker, menaruh seragam dan bib apron di ruang laundry. Salah satu karyawan laundry memperbolehkan Nola untuk mandi jika menginginkan. Ini memang bukan pertama kalinya gadis itu mendapat tawaran mandi. Namun, tetap saja mandi di rumah lebih nyaman.

Baru saja Nola membuka pintu dapur, ia dikejutkan oleh Benny yang tengah bersandar di dinding sisi pintu. Rupanya laki-laki itu sudah menunggu dari tadi.

"Ben, aku mau -"

"Mau apa? Es krim? Belanja baju? Belanja parfum? Nonton bioskop? Cari camilan? Cari gantungan kunci?" potong Benny cepat.

Nola menggeleng seraya tersenyum. Semua yang dikatakan Benny jelas tidak ada dalam daftar keinginannya. Setengah memaksa, Benny kembali merayu. Sayangnya Nola tidak mudah termakan bujukan itu.

Gadis itu pulang diantar Benny. Meski sebelum ke rumah, mereka sempat memutari Kota Tepian. Melewati jembatan kembar yang menyala-nyala menghiasi malam.


Selain fly over, jembatan kembar yang baru dibangun juga memiliki tinggi yang cukup menakutkan bagi seseorang yang takut ketinggian. Apalagi untuk pengendara motor yang melewati sisi jembatan yang langsung berbatasan dengan pagar pembatas.

Sensasinya seperti uji adrenalin, karena ketika menoleh, akan mendapati Sungai Mahakam di depan mata. Untung saja malam ini angin sedang tertidur, jika tidak adrenalin akan meningkat.

Karena merasa hampa jika pulang tidak membawa apa-apa, Benny berinisiatif membeli tahu tek-tek. Makanan yang terdiri dari potongan tahu yang dicampur dengan potongan lontong, tempe, serta diberi sentuhan akhir berupa siraman kuah petis, toge, telur dadar, dan kerupuk warna-warni.

Mengingat lokasinya yang berada di tengah kota dan antrean yang tidak pernah sepi, membuat Nola cepat-cepat menolaknya. Namun, apa daya jika Benny yang membawa motor?

Sesuai janji, Benny memacu cepat motornya hingga membuat Nola di sepanjang jalan hanya memejamkan mata sekaligus berpegangan pada pinggangnya. Tepat pukul sepuluh malam mereka sudah tiba di rumah gadis itu.

Nola masuk dengan hati-hati. Takut menimbulkan bunyi yang bisa membuat papa terbangun. Baru saja mengunci pintu, papa keluar dari kamar. Seperti tengah menunggu kedatangan putrinya.

Mereka langsung duduk di sofa depan televisi. Nola membuka bungkusan, memberikan sebungkus untuk papa. Sambil terbatuk-batuk papa menerimanya.

"Pa, papa gak apa-apa?" Dengan panik Nola meletakkan tahu tek-tek yang hendak disuapnya.

Cepat-cepat mengambil segelas air dan memberikan pada papa. Usai meneguk, papa hanya menggeleng dan tersenyum, "Kuliah kamu gimana? KKN-nya lancar?"

Nola mengangguk, berusaha meyakinkan dengan rangkaian kisah yang tak sepenuhnya benar. Ada beberapa revisi dari laporan harian yang belum diselesaikan. Bahkan, ia sudah mendapat peringatan pertama dari dosen penanggung jawab KKN.











Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang