Bab 83

78 5 0
                                    

Puluhan kata yang sudah diketik, harus ditarik kembali dengan tombol backspace. Memulai dari awal, memikirkan kata yang tepat untuk memulai lembar pertama.

Waktu tersisa satu minggu. Sedang satu minggu sebelumnya sudah habis dinikmati bersama air mata dan ratapan. Betapa hati menolak untuk melanjutkan, tetapi melihat semangat papa yang ingin sekali menghadiri wisuda, hati Nola pun perlahan-lahan luluh. Mengesampingkan lelah dan beban.

Berusaha berdamai, memeluk derita revisi yang berduri. Mereguk kesulitan seorang diri tanpa bisa membaginya. Bicara dengan dosen pembimbing pun percuma, yang laki-laki itu mau hanya lulus dengan predikat tertinggi. Juga, wisuda pada gelombang pertama. Yang akan diselenggarakan satu bulan lagi.

Mengetik, menghapus, begitu terus selama satu jam. Nola mengacak rambut, berteriak dalam hati. Kertas revisi yang penuh coretan tersebar ke seluruh penjuru kamar. Printer di ujung ruangan mendadak berubah fungsi menjadi meja makan. Piring dan gelas bekas sejak dua malam yang lalu menumpuk di atasnya. Belum lagi pakaian kotor yang belum diantar ke laundry blok sebelah.

Saat menyembunyikan wajah dalam dekapan paha, terdengar suara papa mengetuk pintu. Pria paruh baya itu memberitahukan jika ada yang berkunjung. Nola segera keluar kamar. Berjalan bersama papa menuju ruang tamu.

"Kavi? Yara?"

Hening sesaat. Kemudian Yara mempersilakan Nola dan papa untuk duduk. Seakan-akan adik Kavi itu adalah tuan rumahnya.

"Maafin Bangka, ya, Kak. Bangka sudah keterlaluan. Aku mau kok bantuin Kakak revisi, aku bisa ngetik," ucap Yara yang mendapat tatapan tajam dari Kavi.

Nola hanya tersenyum, tetapi secepat kilat Yara menarik Nola menuju kamar. Kebetulan di pintu kamar Nola bertuliskan nama. Memudahkan gadis SMA itu untuk memasuki tanpa harus kebingungan.

"Maaf berantakan," ucap Nola yang buru-buru merapikan apa saja di hadapannya.

Yara maklum, bahkan ia meminta Nola untuk duduk saja. Dirinya mulai mengambil peralatan makan yang sudah berhari-hari mengendap dalam kamar. Membawanya ke dapur dengan didampingi Nola. Berlanjut membereskan kertas dan buku-buku yang berserakan.

Sedang untuk pakaian kotor, Nola melakukannya sendiri. Memasukkan ke dalam kantong plastik dan meletakkan di belakang pintu. Rencananya sore ini akan diantar ke laundry.

Kamar sudah rapi. Selain membereskan yang berserakan, Yara juga menyapu dan mengganti seprai. Nola sampai kebingungan dibuatnya. Namun, tidak bisa menolak, karena Yara begitu cekatan. Dan yang lebih lagi, adik Kavi itu tidak bisa dibantah.

Alih-alih membantu Nola melanjutkan revisi, Yara malah membuka lemari pakaian Nola dengan permisi. Memilih pakaian dan segera menyuruh mandi.

Meski heran, Nola tetap melangkah ke kamar mandi. Merasakan aliran air yang menyapa kulit, setelah berhari-hari tidak merasakannya. Mencuci wajah sebanyak empat kali, karena masih terasa berminyak. Begitu juga dengan rambut, menuang sampo satu telapak tangan penuh sebanyak dua kali, demi mendapat busa yang banyak pada rambut lepek berminyaknya.

Selesai bersiap, Yara mengajak Nola ke ruang tamu. Di mana masih ada Kavi dan papa yang mengobrol. Yara berbisik pada kakaknya, ingin meminjam mobil. Namun, Kavi tidak mengizinkan.

Sebagai jalan tengah, Yara meminta Kavi mengantarkan mereka ke salah satu mall. Belum saja Kavi menolak atau menerima, Yara sudah lebih dulu pamit kepada papa.

"Om ikut juga, yuk," ajak Yara seraya menggandeng tangan papa. Bergelayut di lengan seperti kebiasaannya pada Kavi dan papi.

Papa menolak, karena harus banyak istirahat. Namun, rengekan Yara berhasil mengetuk hati papa. Mereka semua duduk sebentar untuk menunggu papa yang tengah bersiap.

Tidak ada yang bersuara selama menunggu, kecuali Yara yang sibuk bernyanyi. Sesekali ia menyandarkan kepala ke bahu Kavi. Mencolek dagu kakaknya itu seraya meledek, "Cie ada yang gugup, mau jalan-jalan bareng calon mertua."

Dengan cepat Kavi membekap mulut adiknya, menimbulkan persilatan kecil di antara mereka. Nola hanya menontonnya, sambil sesekali tersenyum.

"Ayo berangkat." Kalimat papa berhasil melerai keduanya.

Di dalam mobil, papa menggenggam tangan Nola. Sudah lama mereka tidak pernah jalan-jalan. Melepas semua beban, Nola menyandarkan kepala di bahu papa. Bahu yang sisa tulang itu tetap terasa nyaman bagi Nola.

Menatap tangan keriput papa yang tampak lebih gelap dari kulitnya sebelumnya. Ingin bersedih, ingin mengeluarkan air mata, tetapi Nola ingat dua orang di depan. Kavi dan Yara. Mereka tampak bersemangat. Bernyanyi dan tertawa.

Sesuai harapan, kebahagiaan itu menulari anak dan ayah yang duduk di bangku belakang. Mereka juga ikut bernyanyi di sepanjang jalan.

Setibanya di mall, atas usul Yara, mereka semua menuju tempat permainan. Nola menikmati beragam jenis permainan bersama papa. Mulai dari balap motor, balap mobil, dance, pacman smash, basket, hingga permainan-permainan yang bisa menghasilkan tiket.

Tidak tanggung-tanggung, Nola dan papa berhasil mengumpulkan banyak tiket dan menukarkannya dengan sebuah boneka beruang berukuran besar. Aura kebahagiaan terpancar dari keduanya. Mereka melompat girang dan menyudahinya dengan berpelukan.

Sebelum keluar dari wahana permainan, Yara mengajak mereka untuk menaiki bom-bom car. Mereka berempat berada dalam mobil kecil yang berbeda. Saling menabrak, seolah-olah dengan satu tabrakan yang terjadi, semua derita ikut terlepas bersama tawa.

Lalu beranjak ke twister atau ayunan raksasa. Ketika ayunan itu mulai naik ke ketinggian maksimal dan mulai berputar, Nola meraih uluran tangan papa. Berpegangan dan saling menatap. Sekali lagi, air mata gadis itu hendak keluar menyusul senyum yang terus terukir. Namun, sekuat tenaga, Nola menahannya. Membiarkan rona bahagia memancar sesuka hati.

Terakhir, sebelum benar-benar meninggalkan wahana permainan, papa mencoba mesin pencapit. Sepanjang usaha papa yang mengendalikan tuas ke kiri, kanan, maju, dan mundur, Yara berusaha mematahkan keyakinan papa, "Gak dapat, gak dapat, gak dapat."

"Dapat, dapat, dapat," balas Nola yang tak kalah antusias menunggu papa menekan tombol hijau.

Begitu tombol ditekan, sebuah boneka putri duyung berambut ungu berhasil di capit dan jatuh ke dekapan Nola. Gadis itu melompat girang, memeluk papa.

Yara mengerucutkan bibir, merengek pada Kavi. Dengan malas, dosen itu maju dan mencoba mesin pencapit yang sama. Sayangnya, tidak berhasil.

"Ih, masa gitu aja gak bisa!"

"Cobain, kalau kamu bisa," sahut Kavi.

Demi melerai keduanya, papa mencoba kembali. Mengatur arah sesuai boneka yang diinginkan gadis itu. Boneka putri duyung berambut merah muda pun berhasil ditangkap papa. Tak kalah senangnya, Yara juga memeluk papa. Mengucapkan ratusan kali ucapan terima kasih.

Sejak keluar dari wahana permainan, Yara bergelayut di lengan papa. Membiarkan Kavi berjalan seorang diri di belakang, membawa boneka beruang besar. Namun, ketika melihat sebuah salon, Yara cepat-cepat menarik Nola.

"Kami mau nyalon dulu, ya. Jemput malam aja, bye," ucap Yara mengajak Nola berlari ke arah salon.



Dosa Nola di Kampus Ganas [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang